Fifteen

254 30 0
                                    

Ronal merupakan mantan kekasih Vanny semasa kuliah. Ronal meninggalkan Vanny tepat saat Vanny dipecat dari pekerjaannya di salah satu cabang perusahaan milik sang ayah. Lumayan lama, akhirnya Vanny mengetahui, jika Ronal berselingkuh di belakangnya. Laki-laki itu menjalin hubungan dengan Jessy yang merupakan seorang model. Salah satu teman dekat Via di agensi yang sama. Itu yang Ivan ketahui setelah mendengar cerita dari Vanny malam tadi. Istrinya mencurahkan semuanya dengan air mata berlinang.

Kabar baiknya, Vanny telah kembali beraktivitas seperti biasa pasca kejadian di restoran semalam. Ivan yang melihatnya tentu merasa lega. Ia jadi tidak perlu khawatir berangkat ke kantor.

"Hari ini aku mau ke rumah Davina pulang dari kedai. Boleh?" Vanny menyodorkan sepiring nasi goreng ke arah Ivan.

"Bolehlah. Nggak ada alasan buat aku buat ngelarang kamu bertemu sama sahabat kamu sendiri." Sahutan dari Ivan barusan, membuat senyum Vanny merekah manis.

"Bi, habis ini temani saya ke rumah Bu Faisal, ya?"

Bi Isna yang baru saja kembali dari halaman belakang, mengangguk sopan.

"Ngapain ke rumah Pak Faisal?" Ivan bertanya setelah menelan suapan pertama.

"Oh, itu. Mau nganterin uang arisan."

Memicingkan mata, Ivan bertanya, "kamu ikut arisan?"

Kepala Vanny mengangguk dengan dahi mengernyit. "Bukannya aku udah izin sama kamu ya, waktu itu?"

Kening Ivan memunculkan lipatan-lipatan kecil. "Masa?"

Kepala Vanny mengangguk-angguk. "Kamu lupa?"

Mengedikkan bahu, Ivan kembali menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. "Maybe," jawabnya di tengah-tengah aktivitas mengunyah.

"Sekarang aku tanya lagi, deh. Aku boleh 'kan, ikut arisan ibu-ibu komplek?" Vanny memilih kembali bertanya, sekalipun ia merasa sudah pernah melakukannya.

"Selama berfaedah, why not?" Ivan menyahut dengan santai.

Senyum Vanny mengembang. Ia senang, karena Ivan bukan tipe suami pengekang yang selalu melarang istrinya melakukan ini itu. Selama itu hal baik, Ivan tidak akan mempermasalahkannya.

•••••

"Eh, Nyonya Muda Whitelaw." Celetukan dari seorang ibu-ibu yang Vanny lewati rumahnya, terdengar. Menghentikan langkah Vanny juga Bi Isna.

"Bu Lukas," sapa Vanny ramah. Meski sedikit tidak nyaman, dengan panggilan Bu Lukas terhadapnya. Terlalu berlebihan, menurut Vanny.

"Apa kabarnya? Lama nggak kelihatan," kata Bu Lukas yang tadinya menyiram tanaman, mengalihkan pekerjaan kepada pembantunya. Beralih menghampiri Vanny yang masih berdiri di depan gerbang rumahnya kemudian.

"Baik, alhamdulillah." Vanny masih setia menampilkan senyumnya. "Lagi sibuk di kedai belakangan ini, makanya sering nitip uang arisan sama Bi Isna."

Kepala Bu Lukas mengangguk-angguk denga netra yang bergerak liar. "Saya kagum lho, sama Nyonya Muda Whitelaw. Nampak banget, orangnya sederhana. Nggak suka glamour."

Entah apa maksud perkataan Bu Lukas barusan, Vanny berusaha menerima dengan pikiran yang positif.  "Terlalu berlebihan juga nggak baik 'kan, Bu?" sahut Vanny masih tetap menampilkan senyumannya.

"Iya. Eh, ngomong-ngomong Nyonya Muda Whitelaw udah isi belum, nih?" tanya Bu Lukas mencari topik pembahasan baru.

"Maaf, Bu. Panggil Vanny aja. Saya jadi nggak enak dipanggil 'Nyonya Muda Whitelaw' terus," kata Vanny berusaha sesopan mungkin.

"Ah, malah saya nanti yang jadi nggak enak."

"Nggak, kok. Panggil nama aja, jangan terlalu formal." Begitu kata Vanny yang kembali menyahut.

"Iya deh, terserah Vanny aja. Jadi, gimana? Udah ada tanda-tanda, belum?" Ternyata, Bu Lukas yang ternyata bukan sekadar basa-basi tadi. Buktinya, pertanyaan serupa kembali ditanyakan.

"Tanda-tanda apa, Bu?" tanya Vanny sambil terkekeh pelan. Berpura-pura tidak mengerti.

"Ah, Vanny pura-pura nggak tau, nih." Sebuah suara yang berbeda menyahat dari arah belakang.

"Eh, Bu Burhan." Bu Lukas menyapa ramah, diikuti Vanny yang melempar senyum sekilas.

"Maksudnya Bu Lukas itu, tanda-tanda kehamilan. Udah belum?"

"Iya. Udah mau setahun 'kan, ya? Masa sih, belum?"

Vanny tersenyum kikuk mendapat pertanyaan demikian dari ibu-ibu di depannya. Mulai menyesal, kenapa tidak meminta Bi Isna saja yang mengantarkan uang kepada Bu Faisal. Karena Vanny cukup malas meladeni ibu-ibu komplek yang rempong. "Doain aja, Bu." Hanya itu jawaban yang paling mudah Vanny lisankan. Di samping itu, ia harus menjaga nama baik sang suami dan dirinya sendiri tentu saja.

"Belum nih, jadinya?" Bu Burhan menatap Vanny penasaran.

"Udah coba diperiksa? Kali aja ada yang salah." Dengan mudahnya, Bu Lukas berbicara demikian. Tidak peduli, efek yang dirasakan lawan bicaranya sebesar apa.

"Maaf menyela." Bi Isna buka suara. "Jam delapan nanti, ibu ada janji temu sama klien." Bak seorang sekretaris, Bi Isna berujar.

"Ah, iya. Maaf ya … Bu Lukas, Bu Burhan, saya harus permisi sekarang. Mari …."

Dalam hati, Vanny berterima kasih banyak kepada Bi Isna yang telah menyelamatkannya dari jebakan macan betina barusan. Selama ini, Vanny memang jarang keluar rumah, jika tidak ada hal yang terlalu penting. Lebih sering meminta bantuan asisten rumah tangganya. Dan Bi Isna lah yang sering ia mintai bantuan. Vanny bersyukur, karena ART yang dipekerjakan Ivan lumayan loyal. Tidak usil seperti kebanyakan pembantu.

•••••

Jari Vanny lagi dan lagi menghapus ketikan yang baru saja ia ketik. Fokusnya terpecah. Ucapan yang lebih bisa dibilang cibiran tetangganya pagi tadi terus terngiang-ngiang. Benar-benar mengusik konsentrasi bekerjanya.

Sekalipun keputusan untuk tidak memiliki anak dalam waktu dekat merupakan kesepakatan bersama, tetap saja Vanny merasa terusik setiap pertanyaan serupa dilontarkan. Ia juga jadi merasa tidak enak dengan mertuanya yang turut sering bertanya perihal cucu kepada Vanny dan Ivan.

Vanny bukannya tidak mau, dia hanya belum siap, jika harus mengemban amanah berupa keturunan.

"Lo kenapa, sih? Perasaan dari tadi gue lihat, ngetik hapus mulu kerjaannya." Davina yang memang hari ini berkunjung ke kedai Vanny, berceletuk.

Menyandarkan punggung ke sandaran kursi, Vanny mengembuskan napas berat. Netranya menatap langit-langit ruangan. "Gue salah ya, kalau menunda kehamilan?" Dan pertanyaan itu, keluar begitu saja. Hatinya sungguh resah bercampur rasa bersalah.

Mendengar pertanyaan tersebut keluar dari bibir Vanny, Davina mendengus pelan. "Omongan orang, jangan dijadiin patokan hidup, Van." Davina yakin, tebakannya tentang Vanny yang tiba-tiba mempertanyakan keputusan awalnya untuk tidak memiliki anak terlebih dahulu, pasti ada hubungannya dengan cibiran tetangga. Apalagi, Vanny merupakan tipe yang selalu membebankan diri dengan penilaian orang lain yang sekalipun terkadang memang perlu diacuhkan, tapi bukan berarti wajib dijadikan patokan atas setiap keputusan. Karena yang menjalani hidup, ya diri sendiri. Bukan orang lain. Mereka yang dengan mudah meluncurkan kata-kata nyelekit, belum tentu merasakan apa yang diri rasakan. Mereka berkoar tanpa tahu fakta sebenarnya bagaimana, tanpa mau tahu permasalahan sebenarnya apa.

•••••~WhiteRose~•••••

Up Up Up

Hiks, Sorry buat yg kemarin nungguin Up. Kondisi Author belakangan sedang dalam mode tidak baik-baik saja😳

Salam hangat,
RosIta.

KalBar, 16 Nov 2020

White Rose (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang