Nine

256 28 0
                                    

Dengan telaten, Vanny menyuapi Shinta, ibu mertuanya. Padahal, wanita hampir setengah baya itu sudah melarang Vanny untuk menyuapinya. Menurut Shinta, ia masih bisa makan sendiri, tanpa bantuan orang lain. Namun, karena Vanny terus memaksa, beralibi ingin berbakti kepada mertua, akhirnya Shinta luluh juga dan membiarkan sang menantu menyuapinya.

Di dalam ruang rawat Shinta hanya ada Vanny dan Shinta sendiri. Grady belum pulang dari kantor, begitu juga Ivan. Beruntung semua pekerjaan Vanny bisa dikerjakan melalui laptop, jadi setidaknya ada yang menjaga Shinta.

 "Dokter bilang apa tadi?" tanya Shinta setelah menelan kunyahan dari suapan terakhir makan malamnya.

 "Kalau besok kondisi Mama semakin membaik, Mama boleh pulang." Vanny menjawab sambil menyodorkan gelas berisi air putih kepada Shinta. Setelahnya, meletakkan kembali wadah makanan ke tempat semula.

 "Mama maunya hari ini sudah pulang," kata Shinta dengan sedikit nada mengeluh terselip di dalamnya.

 "Dokter tahu mana yang baik buat setiap pasiennya. Lagian, kita juga maunya Mama pulang ke rumah dalam keadaan benar-benar sudah sehat," ujar Vanny dengan mata terfokus ke buah yang tengah ia kupas untuk dimakan Shinta nantinya.

"Tapi, Mama bosan di rumah sakit terus …."

Vanny terkekeh pelan sambil tangannya terus menggerakkan pisau kecil untuk memisahkan kulit dengan isi. "Nggak ada juga Ma yang betah berada di rumah sakit."

Shinta tidak menyahut. Wanita itu hanya menatap lekat sang menantu, sebelum kemudian berujar, "kamu jangan masukin hati omongan teman-teman Mama tadi, ya?"

Gerakan tangan Vanny terhenti beberapa saat. Perutnya mendadak mulas, saat mengingat cibiran ibu-ibu arisan tadi. Benar-benar tajam menusuk. Dengan amat telak melukai harga diri Vanny. Namun, ia bisa apa?

Sebisa mungkin Vanny menyunggingkan senyuman ke arah sang mertua. "Iya, Ma." Padahal, ada seuntai kalimat yang sudah ia persiapkan sebagai pembuktian bahwa ia baik-baik saja. Sayang, lidahnya terlampau kelu untuk sekadar mengucapkan kalimat tersebut. Alhasil, hanya dua kata yang berhasil lolos dari bibirnya.

 "Kamu tahu lah, bagaimana ibu-ibu kalau udah ngumpul sama ngomongin orang? Suka nggak kesaring omongannya," kata Shinta nampak masih berusaha membesarkan hati menantunya.

"Iya, Ma." Vanny meletakkan pisau yang tadi ia gunakan ke atas nakas. Lantas menyerahkan mangkuk kecil berisi potongan buah dengan garpu kecil menemani.

Shinta tersenyum. Binar matanya menunjukkan kebahagiaan. Bahagia karena memiliki menantu seperti Vanny. Sosok mandiri yang begitu tegar. Selalu berusaha untuk tetap berdiri tegak, sekalipun badai menerpa silih berganti. "Mama sayang Vanny," lirihnya dengan sorot terfokus pada sang menantu.

Mata Vanny berkaca-kaca. Sedetik kemudian, didekapnya Shinta sebelum tangis pecah 'tak tertahan. Begitu banyak cerita yang sudah cukup lama ia pendam sendiri. Dan kini, semuanya tercurahkan bak air mengalir. Sesak di ruang dadanya perlahan melega, usai bibir mencurahkan isi hati.

Shinta sama sekali tidak menyangka, kalau selama ini ternyata Vanny merasakan sebuah perasaan yang dulu sempat ia rasakan kala masih remaja. Insecure.

Dengan masih sesegukan, Vanny mengurai pelukan. Tangannya menghapus air mata yang sayangnya belum juga usai keluarkan isi. Nampaknya, luka hati Vanny cukup dalam.

"Sedikit banyaknya Mama ngerti, bagaimana tersiksanya diri saat merasa insecure. Tapi, kamu harus ingat. Setiap manusia tidak ada yang sempurna. Selalu ada kelebihan dan kekurangan. Dan di mata Mama, kamu itu adalah menantu idaman. Baik, sopan, pandai masak, sayang sama orangtua suami, itu semua yang terpenting terpenting." Shinta tersenyum memandang Vanny yang mulai bisa mengontrol isaknya. "Jadi, jangan pernah ngerasa kalau kamu kurang begini, kurang begitu. Karena pada umumnya, memang nggak ada manusia yang sempurna," lanjut Shinta.

Senyuman Vanny merekah di tengah tangis. Lagi, dipeluknya Shinta yang kemudian membalas sambil mengusap punggungnya. Vanny selalu merasa nyaman berada di dekat wanita itu. Ia merasa disayangi. Ia merasa dicintai. Dari sorot yang terpancar oleh manik mata Shinta, nampak jelas rasa sayangnya kepada Vanny. Bagi Vanny sendiri, Shinta bukan hanya sekadar mertua. Melainkan ibu kandungnya.

Entah kapan kali terakhir ia merasa amat disayangi seperti sekarang oleh sosok ibu. Yang jelas, sudah lumayan cukup lama. Mungkin, sejak sang ibu pulang ke pangukan Tuhan.

"Cintai diri kamu, jangan peduli apa yang orang lain katakan," bisik Shinta sebelum pelukan terurai karena pintu kamar rawatnya yang terbuka dari luar.

Ivan masuk dengan membawa makan malam untuk dirinya dan Vanny. Kening laki-laki itu mengernyit, saat merasakan aura berbeda di dalam ruangan tersebut. Belum lagi melihat ibu dan istrinya yang seperti baru selesai menumpahkan air mata. Ingin bertanya, tapi sepertinya ini bukan waktu yang tepat.

 "Tau aja kalau istri lagi laper," celetuk Vanny berusaha mencairkan suasana yang terasa sedikit canggung.

"Memangnya apa yang aku enggak tahu tentang kamu?" Ivan membalas sembari mengedipkan sebelah mata. Niat hati ingin menggoda Vanny. Istrinya itu, mungkin tengah tidak nyaman perasaannya. Entah apa yang terjadi sebelum ini, Ivan hanya berharap hubungan Vanny dan ibunya tidak merenggang. Ia sudah cukup senang, melihat keduanya akur. Apalagi, ibunya yang sering merasa kesepian karena tidak memiliki anak perempuan sangat bahagia bisa mendapatkan menantu seperti Vanny. Shinta seperti memiliki anak perempuan, sejak Ivan dan Vanny menikah. Setidaknya, sebagian dari angannya yang ingin melakukan ini itu bersama seorang anak perempuan bisa terwujud.

Mendelik, Vanny segera menyantap makanan yang dibawa oleh Ivan. Sejak tadi, perutnya memang sudah keroncongan. Ingin ke kantin atau rumah makan di sekitar rumah sakit, ia tidak sampai hati meninggalkan Shinta sendirian. Beruntung Ivan peka. Laki-laki itu memang kadang-kadang bisa menjadi sangat romantis dan perhatian. Membuat hati Vanny terkadang tidak siap dengan semua yang Ivan berikan. Belum lagi, dulu waktu mereka masih sekolah, Ivan tidak sehangat sekarang. Benar-benar jauh berbeda.

"Enak. Tapi ini kayaknya bukan makanan dari restoran yang biasa kamu beli, deh. Beli di mana?" tanya Vanny setelah menelan kunyahan pertama.

"Di dekat kantor. Punya Gavin," kata Ivan memberitahu.

"Gavin yang temen kamu itu, bukan?"

Kepala Ivan mengangguk. "Nggak tau, tuh anak kenapa tiba-tiba niat bangun restoran," ujar Ivan sambil merebahkan tubuh di atas sofa berbantalkan paha Vanny

"Tapi dia 'kan emang bakat masak. Ya, baguslah. Setidaknya enggak terbuang sia-sia bakatnya dia." Vanny membenarkan posisi duduknya sedikit agar lebih nyaman untuk mereka berdua. Satu hal lagi, Ivan bisa sangat mengejutkan, jika sedang dalam manja mode on. "Kamu nggak makan?" tanya Vanny yang dibalas gelengan.

"Bentar lagi. Aku masih capek," ucap Ivan sambil memejamkan kedua kelopak matanya.

•••••~WhiteRose~•••••

Up up up

Ada yang rindu pasangan Van, nggak?

Yang Rindu angkat kaki, dong!😂

Salam hangat,
RosIta

KalBar, 10 Nov 2020

White Rose (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang