Sixteen

224 29 0
                                    

"Via!"

Via yang baru sampai di anak tangga terakhir, menoleh ke atas dan mendapati sang ibu yang tengah berdiri di anak tangga paling atas. "Kenapa, Bun?" tanyanya.

"Bunda mau bicara sama kamu." Nina menuruni satu per satu anak tangga, kemudian menggiring sang anak menuju ruang keluarga.

"Bicara apa sih, Bun? Via ada janji sama temen ini." Via mendengus saat ibunya memaksa untuk duduk di samping wanita yang dari rahimnya lah Via terlahir ke dunia.

"Sebentar aja. Lagian, kamu sibuk banget belakangan ini. Bunda kesepian tau!" Nina memasang wajah kesal. Diliriknya sinis sang anak yang seperti hari-hari biasa, tampil nyaris sempurna. Baik di depan maupun belakang kamera.

"Bunda baperan, ah. 'Kan ada Vanny anak kesayangan Bunda. Kenapa nggak ke rumah dia aja? Ngajak masak kayak biasanya, mungkin?" sahut Via sambil mengetikkan balasan untuk temannya yang sudah mulai berkicau karena Via yang belum juga sampai ke tempat janjian.

"Kamu ini …." Nina menggeleng-gelengkan kepalanya, mendengar Via yang menyahut dengan santai.

"Bunda mau bicara apa? Via buru-buru, nih."

Nina mengembuskan napasnya pelan. Watak Via entah menurun dari siapa. Ia sewaktu muda dulu juga tidak pernah bersikap kasar seperti Via. Suaminya juga meski keras kepala dan terkesan egois, selalu menjaga sopan santun. Pergaulan satu-satunya latar belakang terbentuknya sifat Via yang seperti sekarang. Kesalahannya dan Aiwin juga mungkin, karena terlalu memberikan kebebasan untuk Via. Mereka tanpa sadar telah lalai mendidik Via menjadi pribadi yang memiliki akhlak mulia.

"Vanny itu kakak kamu. Sekalipun kalian terlahir dari rahim yang berbeda, tapi di dalam--"

"Stop it, Bun!" Via beranjak dari duduknya. Menatap jengah sang ibu yang untuk kali ke sekian membahas hal yang sama. "Via lama-lama jadi muak, kalau Bunda bahas perempuan itu terus!"

"Via!"

Nina mengurungkan niat untuk menyahuti ucapan sang anak, saat suara Aiwin terdengar menyerukan nama anaknya.

"Papa?"

"Semakin hari, Papa perhatikan tingkah kamu semakin nggak bisa dijaga. Dia ibu kamu! Perempuan yang seharusnya kamu hormati!"

Nina memilih bungkam. Ia cukup kaget juga, melihat Aiwin yang turut turun tangan. Biasanya, laki-laki itu hanya meminta Nina yang menyampaikan ke Via tentang kesalahan yang perempuan itu lakukan. Tidak pernah menegur secara langsung. Terkecuali, Vanny. Jika menyangkut anak dari istri pertama laki-laki itu, maka Aiwin sendiri yang akan turun tangan. Menegur secara baik-baik maupun tegas yang kadang terkesan menekan.

"Tapi, Bunda duluan yang mulai, Pa." Dan seperti biasanya, Via sama sekali tidak mau disalahkan.

"Sekali lagi kamu bersikap kasar sama Bundamu, semua fasilitas yang Papa beri akan Papa tarik balik. Mengerti?" Setelahnya Aiwin berbalik diikuti Nina yang turut beranjak. Berniat mengantar sang suami sampai ke depan pintu.

"Satu lagi." Langkah Aiwin berhenti, namun laki-laki itu tidak membalikkan tubuh. "Mau bagaimanapun, Vanny itu kakak kamu. Papa nggak mau, apa yang terjadi tempo hari terulang kembali. Hari itu, Papa anggap sebagai kali terakhir kalian terlibat pertengkaran. Kamu tidak mau karirmu hancur, 'kan? Ingat, publik sudah tau, siapa Vanny sebenarnya." Usai berbicara panjang lebar, Aiwin melanjutkan langkahnya diikuti Nina. Meninggalkan Via yang terdiam dongkol di tempatnya.

•••••

"Vanny!"

Gerakan tangan Vanny yang ingin membuka pintu mobil, terhenti saat sebuah suara memanggil namanya. Berbalik, tubuhnya menegang seketika. "Ronal …."

Masa lalu Vanny itu melangkah mendekati Vanny, seorang diri. "Van, aku mau bicara sama kamu," ungkap Ronal dengan wajah memelas. "Lima menit. Please …." Segera, Ronal membuka kembali mulut, saat Vanny sepertinya akan melayangkan penolakan.

Tidak langsung mengiyakan, Vanny terdiam beberapa saat sebelum mengangguk dengan berat hati. "Di situ aja." Telunjuk Vanny mengarah ke sebuah bangku di samping kedai. Tempatnya sedikit sepi, cocok untuk mereka membicarakan hal yang menyentil privasi.

"Sebelumnya aku mau minta maaf," ucap Ronal membuka pembicaraan. Kepalanya menunduk dalam, nampak amat menyesal.

"Kamu tau, kalau aku nggak suka nyimpan dendam," sahut Vanny yang pandangannya lurus ke depan. Berusaha menjaga kekokohan benteng yang telah ia bangun dengan susah payah.

"Hm, I see. Tapi, aku tetap ngerasa belum lega aja, kalau belum minta maaf secara langsung sama kamu," ujar Ronal seraya mengangkat kepala. Menatap Vanny dari samping dengan perasaan yang bercampur aduk.

"Just it?" tanya Vanny. Diliriknya sekilas Ronal, sebelum kembali menatap lurus ke depan.

"Aku juga mau bilang, aku ninggalin kamu dulu sama sekali bukan karena kamu … ekhem, you know what I mean. Tapi karena, aku terlanjur nyaman sama Jessy. I'm so sorry for it, Van."

Dari sorot yang dilemparkan Ronal, Vanny bisa melihat ada jejak penyesalan di dalamnya. Jejak yang sekadar jejak. Suatu saat, akan raib juga terhapuskan.

Vanny akui, Ronal merupakan laki-laki berengsek yang ia kenal. Bagaimana bisa, dulu Vanny sempat tergila-gila akan sosok di sampingnya ini? Benar-benar memalukan. Meskipun demikian, Ronal telah masuk ke dalam list pacarable. Perhatian dan penyayang. Sayang sekali, laki-laki itu kurang dalam hal setia

"Waktunya habis." Vanny berdiri dari duduknya, menatap Ronal lekat. "Pesanku hanya satu, jangan pernah mengulangi kesalahan yang sama." Setelahnya, Vanny melenggang pergi meninggalkan Ronal seorang diri.

Hembusan napas berat keluar dari mulut Ronal. Lumayan cukup lega, karena permintaan maafnya direspon positif oleh Vanny. Dari dulu, perempuan itu memang mempunyai hati yang lapang akan keikhlasan dan kesabaran. Ronal saja yang sangat bodoh waktu itu, dengan tangan ringan melepaskan mutiara berharga demi sebuah tiara yang bisa didapat di mana saja. Namun, sekalipun demikian, ia benar mencintai Jessy. Hanya Jessy seorang, sampai mata tertutup untuk selamanya. Apalagi, sekarang ditambah buah cinta mereka, hidup Ronal nyaris sempurna. Ia memiliki keluarga kecil yang lengkap dan bahagia.

Setelah melihat mobil milik Vanny tidak lagi terlihat, Ronal turut beranjak dari tempat duduknya. Ikut melenggang pergi. Urusannya dengan Vanny, dirasa sudah benar-benar selesai. Setelah ini, hidup Ronal akan berjalan lancar tanpa bayang-bayang penyesalan. Memang susah, jika memiliki utang kepada siapa pun dalam bentuk apa pun. Baik itu utang uang, janji, atau sejenisnya. Karena itu, Ronal berusaha untuk melunasinya.

Dan tanpa keduanya sadari, sejak tadi ada seseorang yang memata-matai mereka. Tidak hanya itu, beberapa kali orang tersebut berhasil mengambil gambar keduanya. Senyuman penuh kemenangan juga kepuasan tercetak jelas di wajahnya yang tertutup setengah oleh masker. "Permainan dimulai," gumamnya dengan kilatan kebencian di manik matanya. Jelas sekali, orang tersebut memiliki niat tidak baik, entah terhadap Vanny atau Ronal.



•••••~WhiteRose~••••••

Up Up Up

Hayooo, siapa yaaa kira-kira orang misterius ituu???😤

Terus ikuti kisah Couple Van sampai akhir, yaap😉

Salam hangat,
RosIta

KalBar. 17 Nov 2020

White Rose (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang