Twenty Seven

305 25 0
                                    

"Mama khawatir banget, waktu dapat kabar kamu pingsan." Shinta duduk di bibir ranjang kamar Ivan dan Vanny. Mengusap lengan Vanny yang tengah terbaring dengan lembut.

"Vanny baik-baik aja kok, Ma." Pusing di kepala Vanny memang sudah mulai membaik. Tidak lagi terlalu pusing seperti hari kemarin. Rasa mual yang tadi mendera pun perlahan mulai reda. Kedatangan ibu mertuanya benar-bebar membuat Vanny sedikit banyaknya tenang. Pikirannya yang semula semerawut, perlahan kembali tertata rapi.

"Mama janji sama kamu, nanti bakal semprot Ivan kalau anak itu pulang. Seenak jidat dia ninggalin istri sendiri. Udah tau kamu lagi nggak baik-baik aja!" cerocos Shinta menggebu. Kesal dengan sang anak yang seolah tidak memiliki rasa tanggung jawab.

Vanny hanya menanggapi dengan senyuman. Perih di hati yang sebab akibatnya belum Shinta ketahui, membuat lidahnya seolah kelu walau hanya untuk membalas ucapan ibu mertuanya perihal sang suami.

"Pokoknya kamu harus banyak-banyak istirahat. Jangan sampai kecapekan atau stress. Ngerti?" Dan untuk ke sekian kalinya, Shinta menasihati hal yang sama.

"Iya, Ma. Nggak, kok." Vanny melempar senyuman kecil, sebelum menoleh ke arah pintu kamar yang terbuka dari luar.

"Panjang umur orangnya!" ketus Shinta seraya melirik sinis ke arah seseorang yang baru saja masuk ke dalam kamar.

"Van … are you okay?" Tanpa mempedulikan lirikan sang ibu, Ivan berderap menghampiri sang istri. Menangkup kedua pipi Vanny dengan sorot cemas yang begitu kentara.

Sayangnya, respon yang Vanny berikan hanya ketidak acuhan. Ekspresi yang tadinya masih lembut, kini perlahan mengeras. Ada luka di sorotnya, itu yang Shinta tangkap.

Peka dengan kondisi anak dan menantunya yang mungkin sedang tidak baik-baik saja, Shinta memutuskan keluar. Memberi ruang kepada sepasang suami istri itu untuk saling berdiskusi dari hati ke hati. Mencari jalan penyelesaian atas masalah yang ia sendiri pun belum tahu apa. Yang jelas, sebagai orangtua Shinta hanya berharap hal baik atas rumah tangga anak menantunya.

Menepis pelan tangan sang suami, Vanny memiringkan tubuh. Membelakangi Ivan. "I'm okay," ujarnya pelan.

Seharusnya, Ivan sudah bisa menebak jika respon Vanny akan begini. Semuanya mulai jelas dari ketika semua panggilan dan pesan dari Ivan yang tidak mendapat tanggapan atau respon dari Vanny. Sama sekali tidak ada.

"Sayang …." Melepas jas dan meletakkannya asal di atas sofa, Ivan menghampiri Vanny. Turut berbaring di belakang perempuan itu. "Aku minta maaf, karena belum bisa jadi suami yang baik buat kamu," bisik Ivan sambil melingkarkan tangannya di perut Vanny.

Vanny diam. Mati-matian ia menahan agar air matanya tidak tumpah di saat bersama Ivan. Sudah cukup ia menangis pada hari di mana ia pingsan. Sayangnya, duri yang tertancap di relungnya terlalu sukar ditarik. Terus merambatkan perih yang begitu menyiksa. Alhasil, pertahanannya runtuh juga. Isak pelan turut menyusul cairan bening yang berhasil lolos dari sudut mata.

"I'm so sorry, sayang." Ivan mengecup lama puncak kepala Vanny.

"Aku salah apa? Kenapa kamu tega?" tanya Vanny di sela-sela isak tangisnya. Tubuh perempuan itu bergetar. Jiwanya begitu terguncang akan masalah-masalah tidak ringan yang datang menyerbu.

Sedikit memaksa, Ivan membalikkan tubuh Vanny. Membuat wajah mereka berhadapan. Dan Ivan mengumpat setelahnya. Melihat wajah kacau Vanny, sama saja menambah goresan pilu di hatinya. Karena entah di detik yang keberapa, hatinya telah menobatkan Vanny sebagai ratu baru.

"Via meninggal gara-gara aku, Van. Gara-gara aku. Aku … aku pembunuh," lirih Vanny yang mulai meracau.

Seandainya Vanny tidak menerima perjodohan di antara dirinya dan Ivan, mungkin Via masih bisa tersenyum lebar di depan kamera. Munjukkan keahliannya sebagai seorang model papan atas yang tengah bersinar terang.

Seandainya Vanny tidak menerima lamaran Ivan, mungkin kehidupannya tidak akan serumit sekarang. Bahkan, drama di televisi pun kalah jauh dengan drama kisah cintanya. Berperan sebagai Nyonya Besar nyatanya berhasil menguras tenaga juga emosi Vanny. Benar-benar menguji ketahanan mentalnya. Menjadi orang atas, tidak selamanya dapat menikmati kesenangan hidup. Kalau tertekan, sudah pasti. Karena harus selalu tampil sempurna di depan publik. Kapan pun, di mana pun.

Seandainya Vanny bisa memutar ulang waktu, mungkinkah semua ini tetap terjadi?

Sayangnya, semua itu hanya sebatas perandaian semata. Karena kenyatannya, nasi sudah menjadi bubur. Badai itu sudah terlanjur menerpa Vanny. Menggoyangkan jiwa. Membuyarkan pandangan hingga menyesatkan langkah.

Kini, yang bisa Vanny lakukan hanyalah meneruskan perjalanan sesuai isyarat dari nurani. Menghalau sebisanya setiap rintangan yang selalu berusaha menahan langkah. Memperlama durasi perjalanan.

"Aku mungkin memang bukan suami yang baik, tapi aku juga tidak seberengsek itu untuk menodai pernikahan kita, Van. Dan kamu sama sekali bukan seorang pembunuh! Jangan pernah sekali-kali mencoba mengulangi ucapan serupa!" Ivan menatap Vanny lekat. Memberi peringatan melalui kalimat yang telah disampaikan.

Mendongak, dengan mata sembab Vanny membalas tatapan Ivan. "Maksud kamu?" tanyanya tidak mengerti.

"Apa yang Papa bilang tentang ayah biologis dari janin adalah sebuah fitnah." Ivan mengembuskan napas pelan. Memang mungkin seharusnya apa pun itu urusannya, bermusyawarah dengan kekasih merupakan hal paling penting. Paling tidak saling menjadi pendengar yang baik, jika tidak bisa menjadi penasihat atau pengingat.

"Logikanya, Papa pasti murka sama aku, waktu tau kalau yang sudah merusak anaknya adalah aku. Namun, ini nggak 'kan?" tanya Ivan terlebih dahulu. Masih ingin berbasa-basi demi merilekskan pikiran Vanny.

Vanny termenung. Apa yang Ivan katakan tidak ada yang salah. Pertanyaan barunya, kenapa Aiwin bisa tetap bersikap biasa saja, bahkan ketika menyampaikan berita besar tersebut?

Sekarang, siapa yang bisa ia percayai?

"I don't know. Kepalaku pusing. Aku mau istirahat." Kembali membelakangi Ivan, kelopak mata Vanny perlahan memejam. Mencoba menapak alam mimpi.

"Aku memang pernah membantu Via, namun sebatas memberi perhitungan kepada Vero, tidak ada niat lainnya. Apalagi sampai tidur dengan Via. Aku masih sangat waras untuk melakukan hal gila itu, sayang," bisik Ivan sambil kembali mengecup puncak kepala Vanny. Mendekap erat sang istri. "Maaf, karena udah bikin kamu cemas gara-gara hal ini."

Bagaikan pendatang baru yang berada di persimpangan jalan, Vanny gamang ingin mengayun langkah ke arah mana. Semuanya abu-abu. Untuk saat ini, tidak satu orang pun bisa ia pegang omongannya. Bisa ia percayai mampu menjaga rahasia. Dapat dijadikan topangan ketika tubuh mulai melemas. Menjadi tempat pulang, saat masa mulai menyenja.

Dalam diam, air mata Vanny terus mengalir membentuk anak sungai. Bantal yang basah, menjadi bukti. Juga sembabnya mata, hingga sulit terbuka.

•••••~WhiteRose~•••••

Up Up Up

Ada yang lagi patah hati?
Ada yang lagi kecewa?
Ada yang lagi sedih?

Jika ada, ayo angkat kakinya. Kita berbagi cerita bersama.

Salam hangat,
RosIta

KalBar, 28 Nov 2020

White Rose (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang