Four

311 35 0
                                    

Raja siang mulai menerikkan sinar sejalan kedudukannya yang kian meninggi. Jalanan kota seperti biasa, padat oleh para kuda besi yang merayap tak bercelah. Tiada hari tanpa kesibukan. Dari yang muda sampai yang tua mulai menjalankan aktivitas masing-masing, sejak raja malam turun tahta. Mulai dari yang memang mengerjakan tugas karena suka sampai mengerjakan tugas semata-mata demi kelangsungan hidup.

Di salah satu kedai yang berdiri di antara rimbunan gedung-gedung pencakar langit, para pelayan nampak berlalu-lalang. Sibuk mengantar pesanan ke meja konsumen, sibuk menyiapkan pesanan konsumen, atau sibuk membereskan bekas pesanan konsumen. Begitu pula dengan pembeli yang datang silih berganti. Sepanjang mata mengamati, sangat amat minim kemungkinan meja di dalam atau di luar kedai tersebut kosong. Yang ada malah, pembeli harus mengantre agar bisa mendapatkan tempat duduk.

Meski usia kedai tersebut baru seumur jagung, tapi pelanggan tetapnya tidak perlu ditanyakan apalagi diragukan lagi. Dengan zaman di mana semua serba internet ini, kedai dengan owner yang tidak lain tidak bukan adalah Vanny itu telah dikenal hampir di seluruh kota di negeri ini. Tidak jarang, orang-orang dari luar kota mampir ke kedai demi bisa mencicipi menu yang disajikan. Dan sejauh ini, menu-menu di kedai tersebut tidak pernah mengecewakan setiap lidah yang telah menyecapnya. Malah, bak narkoba, mereka yang sudah mencicipi menu di kedai akan ketagihan untuk terus datang dan menikmati setiap sajian nikmat di kedai tersebut.

Keberhasilan kedai miliknya, membuat Vanny mau tidak mau merasa bahagia. Setidaknya, dia masih memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan. Meski dia sendiri pun tidak pernah pamer akan keberhasilan usahanya baik itu di dunia maya maupun nyata.

Jam istirahat makan siang, Vanny iseng membuka salah satu sosial media yang di berandanya langsung terpampang foto Ivan yang diunggah oleh salah satu akun gosip disusul foto Via.

Mengernyit penasaran, Vanny mulai membaca isi postingan tersebut yang mengabarkan tentang hubungan yang pernah terjalin antara Ivan dan Via. Bukan hanya itu, Vanny ikut ditarik ke dalam berita tersebut. Parahnya, Vanny dicap sebagai perusak hubungan orang. Seketika, mood perempuan itu terjun bebas ke dasar bumi, sebelum akhirnya terhempas tanpa perlindungan. Sakit. Lebih dari sakit, dadanya mulai sesak. Dipenuhi pilu yang diperparah oleh cemoohan dari logika.

•••••

      "Jangan main-main sama saya, kamu!" Tatapan Ivan tajam dan lurus. Menatap serius lawan bicaranya yang sama sekali tidak menampakkan ekspresi bersalah. Yang ada malah, si lawan bicara menyunggingkan senyuman sinis penuh kemenangan.

 "Kamu serius nyalahin aku atas apa yang udah terjadi?" sahut seorang perempuan sembari memainkan kedua alisnya. Sikap yang berhasil menyulut emosi Ivan.

Mengepalkan tangan dengan rahang mengeras, Ivan berbalik. Baru saja memejamkan mata, tubuhnya menegang akibat pelukan tiba-tiba yang diberikan Via. Perempuan itu memeluknya dari belakang. Persis seperti yang dulu sering dilakukannya. Dulu, sebelum pengkhianatan ia terima.

 "Ivan!" Seruan yang berasal dari pintu ruangannya sontak membuat pelukan Via terlepas.

•••••

    Hening. Tidak ada yang berani membuka suara. Ivan yang posisinya sebagai terdakwa pun hanya bisa menunduk pasrah. Tidak ada bantahan satu pun yang keluar dari mulutnya.

 "Cinta boleh belum hadir, tapi setidaknya jangan sampai menabur duri di dalam rumah tanggamu." Grady Whitelaw yang pertama kali angkat bicara. Sorotnya serius saat menatap sang putra.

Mengembuskan napas pelan, Ivan perlahan mengangkat kembali wajahnya. Hal pertama yang ia lihat ialah sorot kekecewaan dari sang ibu. Hal yang paling ia benci.

"Ivan sama Via nggak ada hubungan apa-apa seperti yang Papa sama Mama pikirin. Tadi cuman salah paham," katanya sebisa mungkin menjelaskan tanpa menaikkan volume suara. Masih memiliki kesadaran penuh, pada siapa saat ini dia berbicara.

 "Terus kenapa pakai acara peluk-pelukan?!" sentak Shintya geram. Tidak habis pikir dengan jalan pikiran anaknya.

 "Kita tadi nggak lagi pelukan, tapi Via yang tiba-tiba meluk Ivan, terus Mama datang di saat Ivan mau ngelepasin pelukannya dia."

 "Kamu masih cinta sama Via?"

Mendapat pertanyaan tidak terduga dari sang ayah, mulut Ivan seketika kelu. Seharusnya, ia langsung menjawab 'tidak' tepat setelah sang ayah melontarkan pertanyaan. Namun, seolah ada sesuatu yang menahannya. Menahan lisannya untuk mengucapkan kata 'tidak' sebagai jawaban tegas.

 "Mama cuman mau bilang, jangan sampai kamu bikin malu keluarga!" Usai mengatakan itu, Shintya beranjak dari duduknya. Melenggang masuk ke dalam kamar.

 "Kamu laki-laki. Selain janji, apalagi yang bisa dipegang?" Grady turut beranjak menyusul sang istri. Meninggalkan Ivan yang termenung di ruang tengah kediaman Whitelaw.

Pikiran Ivan tertarik pada masa di mana ia masih menjalin kasih bersama Via. Masa di mana setiap hari memiliki warna cerah yang selalu bervariasi. Masa di mana Ivan begitu bahagia menjalani hari-harinya. Masa yang terpaksa harus terhenti di saat sebuah kejadian yang amat tidak ia inginkan terjadi. Masa yang hingga saat ini tidak ingin Ivan ingat, namun sayangnya selalu berputar-putar di pelupuk matanya. Seolah-olah, rentetan peristiwa pada masa itu baru terjadi kemarin. Begitu nyata juga segar. Membuat hatinya seringkali dihinggapi keraguan akan hidup yang ia jalani bersama seorang perempuan cantik lagi baik. Vanny.

Namun, sungguh demi apa pun, Ivan tidak sedikitpun memiliki niat untuk mengkhianati pernikahannya dengan Vanny. Tidak sama sekali.

Jika ditanya, apakah ia menyayangi Vanny, tentu tanpa berpikir dua kali Ivan akan menjawab 'ya'. Sayangnya, ia belum bisa menjawab seyakin itu, jika ditanya, apakah dia mencintai Vanny.

Bagi Ivan pribadi, rasa sayang dan cinta itu berbeda. Sama halnya dengan suka dan kagum. Sekilas mungkin terlihat sama. Namun, jika ditilik baik-baik, ada perbedaan di antaranya, di dalamnya. Dari segi rasa yang dirasakan, salah satunya. Karena di tiap rasa tersebut, terdapat sebuah ciri khas tertentu yang membedakannya.

Mengusap kasar wajahnya, Ivan beranjak dari duduk. Keluar rumah, ia berniat kembali ke kantor. Melampiaskan emosi ke berkas-berkas yang tidak pernah habis di atas mejanya lebih baik daripada duduk diam bak orang bodoh. Perasaan Ivan juga bisa semakin kacau, jika hanya dibiarkan berdiam diri tanpa melakukan sesuatu apa pun. Sengaja juga tidak kembali ke rumahnya. Ia tidak ingin Vanny terkena imbasnya nanti. Toh, sekarang perempuan itu juga tidak sedang berada di rumah. Ada yang berbeda saja, jika ia pulang, namun tidak menemukan keberadaan Vanny.

Entah sejak kapan, ia merasakan kenyamanan terhadap kehadiran sang istri. Selalu ada yang berbeda, jika Vanny tidak berada di rumah. Entah kenapa, Ivan sendiri tidak tahu.

•••••~WhiteRose~•••••

Up up up😄

Meski mata udah kek🐼, tapi demi para pembaca setiaku yang tentu tidak ingin kukecewakan, aku tetap bakal up malam ini.

Double up😉 Bayar utang, gegara kemarin nggak up😳

Salam hangat,
RosIta

Kalimantan Barat, 6 November 2020

White Rose (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang