Fourteen

235 28 0
                                    

"Udah baikan?"

Vanny yang tadinya tengah berkutat di depan kompor, menoleh ke samping dan mendapati Ivan yang sudah duduk di atas kursi bar. "Emangnya siapa yang sakit?" sahut Vanny yang kembali fokus pada masakannya.

"Masak apa?" tanya Ivan yang awalnya ingin membahas tentang kejadian kemarin, tapi beralih pikiran. Tidak ingin mood Vanny yang sudah mulai membaik kembali kacau.

"Ayam kecap."

Ivan mangut-mangut. "Van," panggilnya.

"Hm?"

"Besok kamu temenin aku makan malam sama salah satu klien-ku, bisa?"

Pergerakan tangan Vanny yang tengah mengaduk wajan terhenti sejenak. "Lagi?" Netranya melirik Ivan sekilas.

"Dan akan ada kata 'lagi' yang selanjutnya." Ivan yang tadinya sudah akan beranjak, memutuskan untuk duduk kembali. "Kenapa? Kamu keberatan?" tanyanya kemudian.

Kepala Vanny menggeleng. "Ayo, makan." Tepat sekali masakannya selesai. Jadi, Vanny bisa mengalihkan topik untuk sesaat. Dia bukannya keberatan. Hanya saja, mengingat pertama kali ia menemani sang suami makan malam bersama klien-nya, membuat Vanny sedikit ragu untuk kembali menemani sang suami. Sekalipun ia sudah sedikit belajar berdandan dengan Davina, tetap saja ia merasa tidak pantas digandeng Ivan.

"Kalau kamu nggak bisa, nggak apa-apa." Ivan mengukir senyum sembari menerima piring yang sudah diisi nasi dan lauk-pauk oleh Vanny.

"Memangnya enggak apa-apa?" tanya Vanny.

"Yaaa … ini 'kan cuma makan malam biasa. Kebetulan, klien aku bawa istrinya. Jadi, dia minta aku juga bawa istri biar ada temen istrinya ngobrol."

Vanny mengunyah perlahan makanan di dalam mulutnya. Setitik noda di pakaian putih akan terlihat jelas, jika diamati sedemikian rupa. Karir Ivan yang sedang melangit, mana mungkin bisa Vanny hancurkan hanya karena keegoisan dirinya? Lagi pula, sudah menjadi kewajibannya untuk menemani ke mana pun Ivan pergi. Apa kata orang-orang nanti, jika Ivan menghadiri acara makan malam seorang diri?

"Jam berapa?" tanya Vanny akhirnya.

Ivan yang ingin menyuapkan makanan ke dalam mulut, terhenti saat mendengar pertanyaan sang istri. "Kamu mau ikut?" tanyanya kemudian.

"Emang ada yang bilang kalau aku nggak mau pergi?" tanya Vanny balik.

Senyum Ivan mengembang. "Jam enam kita jalan," kata Ivan menjawab pertanyaan Vanny yang tadi.

Kepala Vanny mengangguk sambil memikirkan pakaian apa yang setidaknya besok pantas ia kenakan. Vanny benar-benar ingin tampil beda. Dia tidak ingin mempermalukan suaminya, lagi

•••••

Sang surya telah benar-benar kembali ke peraduannya, saat Vanny dan Ivan sampai di sebuah restoran.

"Santai aja, klien-ku ini kebetulan teman SMP-ku dulu. Jadi, nggak perlu terlalu canggung nanti." Sebelum keluar, Ivan menceritakan sedikit tentang klien yang mengajak makan malam hari ini.

Mulut Vanny membulat sambil mangut-mangut mengerti. Setelah itu, keduanya mulai memasuki restoran.

Menilik dari pengunjung yang datang, sepertinya restoran tempat Ivan dan klien-nya janjian sudah cukup terkenal. Kebanyakan costumer yang datang berasal dari kalangan atas dan mulai berumur. Kepala dua paling muda, sejauh yang Vanny amati.

"Akhirnya yang ditunggu datang juga."

Sebuah suara yang menyapa, membuat Vanny yang tadinya sibuk memperhatikan keadaan sekitar, memusatkan fokus ke arah klien sekaligus teman lama yang Ivan maksud.

"Sorry, nunggu lama, ya?" Ivan berjabat tangan sesaat sebelum menarik kursi untuk duduk. Berbeda dengan Vanny yang malah memaku di tempat.

"Istri lo … Vanny?!" Laki-laki yang usianya tidak jauh dengan Ivan terbelalak, saat melihat kehadiran Vanny.

"Ah, iya. Ini istri gue. Lo … kenal?" Ivan menatap Vanny dan klien-nya bergantian.

"Ronal … Jessy …." Vanny menggumamkan dua nama orang di depannya. Ia kenal, sangat kenal.

"Gue kira salah lihat. Ternyata benar. Apa kabar, Vanny?" Perempuan yang bernama Jessy menyapa dengan senyuman miring.

"Jes!" Klien Ivan yang diketahui bernama Ronal berdesis sembari menatap Jessy tajam.

"Van, aku mau pulang," cicit Vanny menatap Ivan penuh harap.

Ivan mengernyitkan keningnya. Bingung dengan apa yang sedang terjadi. "Wait, ini ada apa ya, sebenarnya?" tanyanya berniat menuntaskan rasa penasaran di dalam benak. "Kalian saling kenal?" tanyanya lagi.

"Vanny, aku bisa jelasin ini semua." Ronal berdiri, menatap Vanny memohon.

Mata Vanny mulai berkaca-kaca. Ia menatap Ivan memelas. Berharap suaminya mengerti, jika dia sudah tidak baik-baik saja.

"Ronal!" Jessy ikut berdiri. Memanggil Ronal yang notabene-nya ialah suaminya penuh peringatan. Beruntung, mereka berada di ruangan VIP, jadi tidak perlu khawatir akan mengganggu ketenangan pelanggan lain. "Kamu mau jelasin apa lagi? Toh, dia juga udah jadi istri orang kaya, 'kan?" Di akhir kalimatnya, Jessy melirik Vanny penuh cemoohan.

Tubuh Vanny bergetar menahan emosi. "Van …." Kembali, ia memanggil suaminya.

Membaca situasi yang mulai tidak kondusif, Ivan turut beranjak. "Sorry, gue memang nggak tau apa yang terjadi sebenarnya di antara kalian. Tapi, sepertinya gue harus pulang sekarang."

"Bentar, Van. Gue harus bicara dulu sama Vanny." Ronal beranjak dari tempatnya, menahan Ivan agar mau memberikannya waktu untuk berbicara dengan Vanny.

"Nggak perlu!" Vanny yang sejak tadi berusaha mengalihkan pandangannya, balik menatap Ronal. "Aku udah tau, jauh sebelum kamu punya niat buat jelasin semua yang terjadi sama aku!" tegasnya penuh penekanan di setiap kata yang terlontar.

"Va--"

"Gue nggak sederajat sama lo. Itu 'kan, alasan kenapa lo ninggalin gue pas gue lagi jatuh?"

Tubuh Ronal menegang. Wajahnya pias mendengar ucapan Vanny yang tepat sasaran.

"Lo juga nggak berguna jadi cewek, makanya Ronal lebih milih gue." Jessy menyahut sambil melingkarkan tangannya di lengan Ronal. Menatap Vanny dengan angkuh.

Tersenyum, Vanny mengangguk singkat. "Iya. Gue memang sangat menjaga kehormatan gue, makanya Ronal lebih milih lo yang dengan tangan terbuka menyambut kedatangan dia."

Seketika, wajah Jessy memerah. Tangannya sudah melayang dengan menargetkan pipi Vanny sebagai tempat pendaratan. Namun, tangan Ivan lebih cepat menepisnya. Mekindungi sang istri dari serangan Jessy yang ia kira perempuan baik-baik yang terhormat.

"Maaf, tapi saya rasa pertemuan malam ini tidak bisa dilanjutkan." Setelahnya, Ivan membawa Vanny keluar. Ia benar-benar tidak tahu, jika malam yang diharapkan akan berjalan baik berakhir seperti ini.

Tepat saat mobil Ivan mulai dijalankan, tangis Vanny perlahan keluar. Ivan tahu, sejak tadi Vanny mati-matian menahan diri untuk tidak mempertontonkan sisi rapuhnya. Oleh karena itu, Ivan mencari tempat yang cukup sepi supaya Vanny bisa menumpahkan luapan emosi di dadanya. Rasa sesal seketika menyelinap ke benak karena merasa gagal mengembalikan mood perempuan yang duduk di sampingnya. Yang ada , ia malah memperburuk suasana hati Vanny. Sungguh, malam ini merupakan malam yang amat buruk sejauh mereka berdua menjalani pernikahan.

•••••~WhiteRose~•••••

Up Up Up

Jangan lupa vote+comment, yaaa😊

Salam hangat,
RosIta.

KalBar, 16 Nov 2020

White Rose (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang