Eighteen

229 26 0
                                    

"Bunda!" Vanny berlari mendekati sang ibu yang tengah tergugu di dekapan ayahnya. Matanya mulai sembab akibat menangis selama perjalanan menuju rumah sakit. Mau bagaimanapun, Via tetap keluarganya. Adiknya. Seperti apa pun watak perempuan itu. Sebagaimanapun perlakuannya terhadap Vanny. Adik tetaplah adik. Tidak bisa dibuang, walau rasa benci mendominasi hati.

Nina menoleh, melepaskan diri dari sang suami sebelum menyambut kedatangan Vanny ke dalam pelukannya. Kedua perempuan itu lantas menangis bersama kemudian.

Di belakang, Ivan menyusul. Wajahnya turut menampilkan ekspresi cemas. "Apa kata dokter, Pa?" tanyanya pada sang ayah mertua.

Kepala Aiwin menggeleng pelan. Sorot matanya menunjukkan sebuah kesedihan mendalam bercampur rasa cemas. "Dokter belum keluar," lirih Aiwin diakhiri hembusan napas berat.

"Pa …." Vanny menghampiri ayahnya. Mengusap pelan lengan laki-laki yang meski sering adu urat dengannya, namun tetap menduduki tahta pertama sebelum suaminya. "Via pasti nggak apa-apa, kok." Sekalipun Vanny tidak yakin akan apa yang ia katakan, kalimat itu tetap saja ia luncurkan. Sekadar untuk menenangkan sang ayah. "Dia akan baik-baik saja," lanjut Vanny.

Tanpa kata, Aiwin menarik tubuh Vanny ke dalam dekapannya. Memeluk putri sulungnya dengan erat. Matanya memerah menahan tangis. Memeluk Vanny seperti sekarang, tiba-tiba membuatnya teringat akan sosok istri pertamanya yang sekarang telah beristirahat dengan tenang di sisi Tuhan. Mungkin karena hal tersebut, Aiwin lebih sering menjaga jarak dengan Vanny pasca kematian istri pertamanya. Karena tiap kali melihat Vanny, ingatannya selalu tertarik akan ibu dari perempuan yang tengah ia dekap saat ini. Kemudian, memunculkan rindu berujung adu mulut dengan Nina yang terbakar api cemburu.

Tatapan Aiwin beralih ke arah brankar Via yang terlihat dari kaca pintu ruang UGD. Anaknya itu tengah terbaring tak berdaya dengan para tim medis yang mengelilingi. Kilasan balik saat almarhum ibu Vanny dirawat di rumah sakit, memenuhi kepalanya. Membuat dada Aiwin sesak. Ia takut, kembali kehilangan perempuan yang ia cintai. Mau bagaimanapun sikap dan sifat Via, perempuan itu tetap darah dagingnya. Apa pun yang terjadi, ikatan di antara keduanya tidak bisa diputus begitu saja.

Tatapan Vanny turut mengikuti sang ayah. Dalam hati, melirihkan seuntai do'a. Amat berharap, jika Via masih diberi kesempatan untuk memperbaiki apa yang perlu diperbaiki. Termasuk hubungan keduanya yang lebih bisa dikatakan sebagai musuh bebuyutan dibanding dua bersaudari.

•••••

"Kamu yakin, mau pergi?" Ivan berdiri di belakang Vanny yang tengah duduk di depan meja rias. Memoles tipis wajahnya dengan make-up. Di beberapa bagian, sedikit mempertebal riasan, demi menutupi kekacauan wajahnya yang bak mayat hidup, jika tanpa make-up.

"Davina itu sahabat aku. Delvin juga sahabat kamu. Masa iya, kita nggak hadir di acara penting mereka?" Vanny beranjak usai memberikan sentuhan terakhir pada wajahnya. Berbalik dan menatap sang suami yang juga tengah melempar tatapan intens ke arahnya.

"Mereka pasti ngerti, kok." Ivan memegang kedua pundak Vanny. Menatap Vanny lekat. "Jujur, aku nggak suka lihat kamu berpura-pura seperti ini, Van."

Bibir Vanny menyunggingkan seulas senyum. Diraihnya tangan Ivan untuk digenggam. "Bukannya setiap hari hidup hampir keseluruhannya akting belaka? Hanya di sini, kita bisa menjadi diri sendiri."

Kalimat yang dilontarkan Vanny berhasil membungkam mulut Ivan. Tidak ada yang salah. Semuanya memang benar. Terlebih, saat mereka harus berhadapan dengan publik. Belum lagi, awak media yang selalu berusaha menyamar hanya demi mendapatkan sebuah informasi tentang kehidupan mereka. Semua itu, membuat mereka sebisa mungkin menggunakan topeng dengan baik selama berada di luar zona nyaman yang tidak lain ialah kamar mereka. Ruangan di mana mereka bisa dengan leluasa melepas topeng dan mengistirahatkan jiwa juga raga yang acap kali merasa lelah akan dunia yang begitu penuh tekanan dan tuntutan. Seperti halnya kata Vanny, hanya di kamar mereka bisa menjadi diri sendiri tanpa harus berjaga-jaga.

"Tapi kondisi kamu sekarang lagi nggak baik-baik aja, Van." Meski begitu, rasa khawatir Ivan tetap tidak bisa dienyahkan begitu saja. Kondisi kesehatan Vanny kini selalu menjadi prioritasnya.

"I'm fine, okay? Kamu nggak perlu khawatir." Vanny memberikan senyuman yang diusahakannya mampu meyakinkan Ivan. "Lagian, 'kan aku nggak pergi sendirian. Aku pergi sama kamu," lanjut Vanny sembari merapikan tuxedo yang malam ini Ivan kenakan sedikit.

Mengembuskan napas pelan, Ivan memilih mengalah. "Okay. Aku tunggu di depan, ya?"

"Van …." Kaki Ivan yang baru saja diayun dua langkah, terhenti.

"Ya?" Ditolehkan sedikit kepalanya ke belakang. Menatap Vanny bertanya.

Sebelum melanjutkan ucapannya, Vanny terdiam sejenak. Menimbang tentang apa yang akan ia bicarakan kepada Ivan. Mempertimbangkan akankah ini waktu yang tepat atau tidak. "Kamu … sayang sama aku?" Dan dengan sekali tarikan napas, Vanny melontar pertanyaan. Menatap lekat sang suami yang kini sudah kembali berdiri di hadapannya.

"Perlu dipertanyakan lagi?" Bukannya menjawab, Ivan malah balik bertanya. Sedikit bingung sebenarnya dengan Vanny yang tiba-tiba bertanya demikian.

"Iya."

Tangan Ivan terangkat, mengusap pipi Vanny dengan lembut. "Bohong kalau aku jawabnya nggak sayang kamu," ujar Ivan.

"Kalau cinta?" Lagi, Vanny melontarkan pertanyaan.

Usapan di pipi Vanny berhenti beberapa saat. "Beda ya, sayang sama cinta?" tanya Ivan yang kembali tidak langsung menjawab.

"Yes or no?" Sorot mata Vanny lurus menembus manik milik Ivan. Berusaha menyelami isi pikiran laki-laki itu.

"Yes," jawab Ivan pelan. Dipejamkan sejenak kedua matanya. Mencoba mengorek keyakinan akan jawaban yang baru saja terlontar dari bibirnya.

"Are you sure?" Lagi, Vanny bertanya.

"Kamu ragu?" tanya Ivan balik. Mata keduanya bersiborok di udara.

Vanny mengedikkan bahu. "I don't know. Dari awal, kita menikah tanpa landasan cinta. Sebelum menikah atau bahkan mungkin saat awal-awal pernikahan, aku yakin hati kamu masih nyaris dipenuhi oleh Via. Jadi, aku nggak mau menggantungkan harapan sama orang yang nggak mampu untuk kugantungkan harapan," jelas Vanny panjang lebar.

Ivan terdiam. Ini kali pertama keduanya membahas tentang hubungan mereka pasca menikah. "Kamu bisa mempercayaiku untuk menopang semua harapan-harapanmu," ujar Ivan mencoba meyakinkan Vanny.

Seulas senyum tipis Vanny tampilkan. "Apa aku juga bisa mempercayaimu, kalau kamu nggak akan membuka ruang di hatimu untuk hati yang lain?" Ditatapnya lekat Ivan. Dalam hati terus berdoa, semoga selama ini ia tidak salah mengartikan, meski konsep awal tidak demikian.

"Yes, of course. You can trust me about it." Jawaban dari Ivan barusan, berhasil memperlebar ulasan senyum Vanny.

"Harapan pertama, aku sangat berharap kamu nggak sedang membual saat ini." Usai mengatakan itu, Vanny melenggang keluar kamar mendahului suaminya.

•••••~WhiteRose~•••••

Up Up Up

Jangan mau jadi silent readers yooo kleaannn😉

Salam hangat,
RosIta

Kalimantan Barat, 19 November 2020

White Rose (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang