Five

296 31 3
                                    

Waktu menunjukkan pukul sebelas malam, saat mobil Ivan memasuki halaman rumah. Derit pagar yang kembali ditutup terdengar cukup nyaring di tengah kesunyian malam. Ini kali pertama laki-laki berstatus suami Vanny itu pulang selarut sekarang pasca menikah. Vanny yang sama sekali tidak diberi kabar oleh sang suami menjadi cemas sendiri di rumah.

Mengetahui kedatangan sang suami, Vanny bergegas membuka pintu utama. Siap menyambut suaminya pulang kerja. Dapat ia lihat wajah kusut Ivan yang selaras dengan penampilan laki-laki itu. Entah apa yang telah terjadi, Vanny berharap semua tetap baik-baik saja.

 "Larut banget pulangnya. Aku hampir ngira kamu nggak pulang," kata Vanny seraya mengambil tas dan jas Ivan.

 "Jadi kamu berharapnya aku nggak pulang, begitu?"

 "Eh?!" Vanny tidak menyangka, jika Ivan akan bereaksi seperti ini. Padahal, ia merasa tidak mengatakan sesuatu yang salah. Hanya sekadar praduga semata. Tiada maksud terselubung lainnya di benak perempuan itu. Sayang, sang suami nyatanya salah mengartikan ucapan istrinya tadi.

"Cih!" Mendelik, Ivan melenggang begitu saja. Berjalan lebih dulu menuju kamar mereka.

Di tempatnya, Vanny mematung. Yang baru saja berbicara dengannya seolah bukan Ivan. Sejauh Vanny mengenal Ivan, laki-laki itu tidak pernah bersikap demikian kepadanya. Baik dulu, maupun pasca menikah. Tidak pernah.

Mengenyahkan pikiran-pikiran negative, Vanny berusaha tetap berbaik sangka. Mungkin saja, sedang ada masalah di kantor yang membuat suaminya sedikit sensitif. Efek terlalu lelah luar dalam.

•••••

Vanny agaknya keliru. Karena sejak malam itu, Ivan perlahan berubah. Tidak sehangat seperti sebelumnya. Parahnya lagi, laki-laki itu sering melewatkan makan bersama dengannya. Baik sarapan, makan siang, atau makan malam. Tidur pun, jarang satu ranjang. Ivan lebih sering menghabiskan malam di dalam ruang kerjanya ditemani tumpukan pekerjaan. Dan itu semua, sudah berjalan hampir satu bulan.

Vanny tidak tahu, apa yang salah sebenarnya. Jika memang sedang ada masalah di kantor, tidak seharusnya Ivan melampiaskan di rumah. Kepadanya terutama. Laki-laki itu seharusnya sadar, apa yang harus ia lakukan. Sikap apa yang harus ia ambil dalam menyikapi masalah yang tengah terjadi. Bukannya seperti sekarang. Berubah menjadi seseorang yang mulai tidak Vanny kenali.

"Mau ke mana, Van?" Vanny yang tengah menonton televisi refleks bertanya, saat melihat Ivan yang ingin keluar rumah, sepertinya. Melihat jari laki-laki itu digelangi ganci motor.

"Supermarket depan." Boro-boro tawaran, lanjutan kalimat pun tidak Vanny dapatkan.

Naif namanya, jika Vanny berkata ia baik-baik saja. Karena pada dasarnya, ia sedang tidak baik-baik saja. Terlebih, hatinya. Istri mana yang tidak akan tergores perasaannya, jika sang suami bersikap seperti itu. Tidak jarang, Vanny menangis diam-diam memikirkan perubahan sifat Ivan yang 'tak beralasan.

Suara bell yang dibunyikan dua kali menginterupsi lamunan Vanny. Perempuan itu baru saja berdiri dari duduknya, saat salah seorang pembantu dengan tergopoh membuka pintu.

"Bunda …." Melihat siapa yang datang, senyum Vanny mau tidak mau merekah indah. Sejenak, perasaan tidak enak pada hatinya terhadap sikap Ivan teralihkan dengan kedatangan sang bunda.

 "Vanny sayang … Bunda kangen banget, sama kamu …." Sebuah pelukan Vanny dapatkan.

 "Vanny juga kangen banget sama Bunda," sahut Vanny seraya membalas erat pelukan bunda-nya.

 "Gimana kabar kamu? Baik, 'kan?" Bunda-nya bertanya sembari menggiring Vanny untuk duduk di sofa. Keduanya duduk bersisian. Saling melempar tatap penuh kerinduan bak antara ibu dan anak kandung.

Kepala Vanny mengangguk. "Baik, kok, Bun …" Dengan senyuman tipis, Vanny menyahut. "Bunda sendiri gimana kabarnya? Baik-baik aja, 'kan?" tanya Vanny balik.

"As you see now, darl."

Setelahnya, dua makhluk serupa beda generasi itu saling mengobrol. Berbicara ini itu dari yang tidak penting sampai yang penting.

Obrolan hangat terus berlanjut sampai keduanya berkutat di dapur. "Bunda mau ngajak kamu nyoba bikin resep baru." Begitu kata ibunda Vanny mengajak sang anak bereksperimen di dapur. Seperti yang cukup sering keduanya lakukan di kediaman Dhananjaya dulu.

Sekalipun mereka beda tempat tinggal yang dikarenakan Vanny ingin mencoba hidup mandiri, setiap weekend Vanny selalu berusaha menyempatkan diri untuk pulang dan menghabiskan waktu bersama bunda dan papanya. Meski Vanny sering merasa risih oleh cara pandang Via, setiap kali Vanny pulang. Seolah-olah, Vanny tidak diizinkan menginjakkan kaki di rumah orangtuanya sendiri.

"Suamimu daritadi nggak kelihatan, ke mana?" tanya wanita yang wajahnya mulai disinggahi keriput bernama Gianina Rusdira. Ibu Via. Istri papa Vanny. Wanita yang telah Vanny anggap sebagai ibunya sendiri. Wanita baik hati, meski kadang-kadang ketegasannya dipandang kejam. Terlebih, di mata Via. Anaknya sendiri.

"Tadi sih, katanya mau ke supermarket depan," jawab Vanny sambil mulai mencampur adonan resep yang bunda-nya bawa. Sebisa mungkin, ia mengontrol ekspresi wajah demi menyimpan rapat masalah yang tengah terjadi dalam rumah tangganya.

Meski Vanny tidak berpengalaman terhadap sebuah pernikahan, tapi setidaknya ia cukup tahu sedikit banyak apa-apa saja yang boleh terlihat publik, dan apa-apa saja yang sebaiknya ditutup rapat. Jangan sampai menjadi santapan gratis publik. Masalah di dalam rumah tangga bisa diibaratkan sebuah aib, begitu yang pernah Vanny dengar dari salah satu temannya yang sering mengikuti kajian-kajian keagamaan. Jangankan aib besar, aib kecil saja terus diupayakan diri agar tersimpan rapat tanpa memiliki celah untuk orang lain menilik apa yang disimpan. Karena kita tidak pernah tahu, apa isi hati seseorang usai menyaksikan aib kita.

Rambut boleh sama hitam, tapi isi hati siapa yang bisa menebak?

"Bunda tuh kangen lho, kegiatan kita yang seperti ini. Biasa mau ngajak kamu, tapi takut ganggu pengantin baru," celetuk Nina sambil cekikikan.

Perlahan, kedua pipi Vanny merona merah. Kalimat terakhir yang bunda-nya ucapkan sontak membuat perempuan itu tersipu. "Bunda, ah!"

Tawa Nina pecah kala mendapati ekspresi Vanny yang terlihat menggemaskan di matanya. "Jadi, gimana?" tanya Nina yang tidak dimengerti Vanny.

Mengernyit, Vanny bertanya. "Apanya yang gimana, Bun?"

"Ya kamu sama Ivan. Kamunya udah ada tanda-tanda belum?" Sambil membentuk adonan, Nina memperjelas pertanyaan yang sayangnya tetap belum bisa Vanny cerna.

 "Tanda-tanda apa sih, Bun? Van nggak ngerti, Bunda ngomongin apa." Vanny melirik sekilas ke arah bundanya yang asik membentuk adonan.

Mendengus, Nina menjawab secara terang-terangan. "Kamu udah ada tanda-tanda hamil, belum?"

Vanny yang sedang memasukkan loyang berisi adonan ke dalam open terkejut mendapati maksud pertanyaan bunda-nya. Efek samping dari keterkejutan, jarinya tersentuh open hingga menimbulkan pekikan nyaring disusul suara loyang yang membentur lantai.

"Vanny!"

•••••~WhiteRose~•••••

Up Up Up

Feedback? Hayuk aja lahhh😄

Salam hangat,
RosIta

Kalimantan Barat, 6 November 2020

White Rose (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang