Twenty Four

266 23 0
                                    

"Aku dulu juga suka begitu. Malah hampir bercerai."

Pagi hari ketiga Vanny berada di Pulau Dewata, ia bertemu dengan teman lamanya yang tanpa disangka-sangka memiliki nasib hampir sama seperti dirinya.

Keduanya tengah bersantai di salah satu restoran sea food. Niat awal hanya ingin mengenang masa-masa indah saat masih duduk di bangku sekolah berlanjut menjadi sesi curhat yang berakhir dengan Vanny menceritakan keletihan hatinya selama ini. Menjadi istri Ivan, objek curhat yang mendominasi obrolan mereka.

Vanny menunduk. Memejamkan mata seraya mengembuskan napas pelan. Tadi pagi, ibu mertuanya menelepon. Seperti biasa, mereka berbincang hangat. Namun kemudian, Vanny mendadak hilang mood setelah Shinta membahas tentang keturunan. Wanita paruh baya itu, ingin segera menimang cucu. Tepat sekali, Ivan dan Vanny sedang berada di Bali. Meski tujuan utama mereka datang ialah untuk bisnis, tapi Shinta tidak mau baik Ivan ataupun Vanny menyia-nyiakan waktu dan kesempatan.

"Aku juga … sempat berpikiran untuk bercerai aja. Terlebih, latar belakang keluargaku yang tidak sepadan dengan Ivan," kata Vanny pelan.

"Hust! Jangan asal ngomong, ah! Nggak baik." Diana menegur seraya menepuk pelan punggung tangan Vanny.

Diana bukannya tidak tahu, bagaimana Vanny menjalani hari-harinya dulu. Mereka cukup dekat. Sering saling berbagi, baik makanan maupun isi hati. Sampai akhirnya Vanny yang kembali ke Jakarta, membuat mereka putus kontak.

"Aku cuma nggak mau nambahin beban Ivan. Itu aja." Vanny mengangkat kepala, menatap Diana dengan air mata yang mulai merembes keluar.

Hari ini, seharusnya Vanny menemani Ivan. Namun, kondisinya tadi pagi malah membuat perempuan itu terpaksa membiarkan Ivan pergi sendiri. Adanya ia di sini, bukannya menbantu malah membuat Ivan susah. Vanny tentu merasa tidak enak hati.

"Ivan pasti ngerti, kok." Meski Diana tidak kenal langsung siapa suami dari teman lamanya ini, tapi ia yakin, jika laki-laki yang menjabat sebagai suami dari Vanny pasti laki-laki yang baik dan bertanggung jawab.

Benar, Ivan memang sangat pengertian. Namun, Vanny tidak mungkin menutup mata atas dirinya yang sama sekali belum bisa menjadi istri yang sempurna. Setidaknya, patner yang menguntungkan.

Setelahnya, Diana mengganti topik pembicaraan. Tidak tega melihat Vanny yang begitu tertekan menjalani statusnya. Ia juga dulu seperti Vanny. Terlebih, Diana bukan berasal dari keluarga mampu. Ayahnya petani dan ibunya penjahit. Tidak ada dasar yang bisa dijadikannya bekal untuk melangkah bersama Gavin, sang suami.

Diana yakin, Vanny pasti bisa melalui semua cobaan ini. Hanya perlu beradaptasi sedikit lagi, maka ujian akan berakhir. Semuanya, berkisah tentang waktu. Tentang masa yang perlahan mendewasakan.

Setelah puas berbincang, keduanya memutuskan untuk kembali ke penginapan masing-masing. Terlebih, besok pagi Diana dan Gavin akan pulang, membuat perempuan itu harus membereskan barang-barang mereka selama di sini. Juga membagi oleh-oleh untuk kerabat-kerabat mereka.

Saat Vanny pulang, Ivan ternyata belum pulang. Alhasil, perempuan itu memutuskan untuk mandi terlebih dahulu. Setelahnya, duduk santai di atas ranjang sambil menonton televisi yang lima menit kemudian diganggu oleh dering ponsel.

"Halo, Vin?" Setelah melihat nama siapa yang tertera di layar, Vanny lantas mengangkatnya.

Bersamaan dengan ponsel yang menempel di telinganya, pintu kamar terbuka. Ivan masuk sambil melepaskan dasi yang terasa mencekik lehernya sepanjang bekerja tadi.

Senyuman Ivan berganti kernyitan di  dahi dengan ekspresi bingung, saat mendapati wajah Vanny yang sudah pias. "Van, are you okay?" Didekatinya sang istri. Memegang pipi Vanny, ia bertanya kemudian.

"Iya. Kita pulang sekarang juga." Ponsel milik Vanny merosot jatuh ke ranjang bersamaan dengan tubuhnya yang ambruk ke dalam dekapan Ivan. Napasnya memburu. Sedetik kemudian, tangisnya pecah.

Melihat sang istri yang tiba-tiba menangis, membuat Ivan langsung panik dan cemas. Belakangan, kondisi Vanny lumayan semakin memburuk. Membuatnya tidak bisa untuk tidak mengkhawatirkan perempuan yang saat ini tengah didekapnya.

"What happen, hm?" Sekitar lima menit kemudian, Ivan mengutarakan tanya. Ingin tahu, apa penyebab air mata Vanny untuk ke sekian kalinya tumpah.

"Via …." Suara Vanny hampir tidak terdengar, akibat sesegukan. "Via meninggal …."

Dan tubuh Ivan menegang setelah otaknya mencerna apa yang rungunya sampaikan.

"Van … gue, mau ke makam dia buat yang pertama dan terakhir kalinya."

Tiba-tiba, permintaan Via tempo lalu terngiang-ngiang di ingatan Ivan. Waktu itu, ia sama sekali tidak menduga maksud tersirat dari ucapan Via. Ivan kira, perempuan itu terlalu membenci ayah biologis dari bayi yang ia kandung, sampai-sampai hanya ingin mengunjungi pusara Vero sekali seumur hidupnya. Namun, ternyata di balik permintaan tersebut tersimpan sebuah hal mengejutkan yang membuat dada seketika disergap rasa pilu yang menyesakkan.

Mengeratkan pelukannya terhadap Vanny, Ivan berujar, "hari ini kita pulang."

"Pekerjaan kamu?" Vanny mendongak. Menatap Ivan masih dengan linangan air mata.

"Keluarga lebih penting dari apa pun."

Tangis Vanny kembali pecah. Perempuan itu meraung nyaring di dalam pelukan Ivan. Tubuhnya bergetar hebat. Baru saja hubungannya dengan Via akur, namun Tuhan mengambil nyawa sang adik begitu cepat. Tanpa diduga. Jika saja ia tahu akan jadi seperti ini, ajakan Ivan pergi ke Bali pasti akan ia tolak tanpa berpikir dua kali. Benar kata suamianya, keluarga lebih penting dari apa pun.

•••••

Kediaman Dhananjaya mulai disesaki para manusia, saat mobil Ivan sampai di tempat. Di sampingnya, Vanny masih tersedu-sedu. Kondisi sang istri tidak bisa dikatakan baik. Selama di pesawat, Vanny tidak berhenti menangis. Bahkan dari bandara pun, perempuan itu masih setia mengeluarkan air mata.

Empat orang bodhguard langsung mengelilingi Ivan dan Vanny, ketika keduanya turun dari mobil. Berjaga-jaga, jika ada wartawan yang tiba-tiba menyerobot, mengingat yang datang bukan hanya untuk melayat.

Bahu Vanny didekap Ivan selama perjalanan mereka masuk ke dalam rumah. Melewati orang-orang yang kebanyakan tidak mereka kenal. Apalagi, Vanny yang bisa dikatakan amat sangat jarang berada di rumah Dhananjaya.

Hati Vanny kian berdenyut, saat melihat tubuh kaku Via yang ditutupi kain terbaring di lantai dengan Nina yang menangis di sampingnya.

Perlahan, Vanny mendekat. Berlutut di dekat Nina, disentuhnya lengan atas sang ibu. "Bunda …."

Merasakan sentuhan sekaligus mendengar sebuah suara yang familiar di rungunya, Nina menoleh. Wajah sembab Vanny langsung ditangkap netranya. "Kamu … ngapain kamu ke sini, hah?!"

Tidak hanya Via, Ivan pun turut kaget mendengar bentakan Nina. Belum pernah, ia melihat Nina berbicara dengan nada tinggi kepada Vanny.

Davina yang turut hadir, ikut kaget bercampur bingung. Bagaimana bisa Nina yang biasanya lemah lembut, bisa berubah kasar seperti sekarang?

•••••~WhiteRose~•••••

Up Up Up

Ada yg masih melek?

Salam hangat,
RosIta

KalBar, 25 Nov 2020

White Rose (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang