Twenty Eight

308 26 0
                                    

"Bercanda, lo?"

"Ih, nggak! Itu emang istrinya Bos Besar."

"Nggak cocok banget!"

"Hust! Kedengaran nanti!"

"Biarin aja! Dia juga 'kan nggak disukai sama keluarganya sendiri."

"Tau dari mana lo?"

"Beritanya udah kesebar kali."

Di luar memang Vanny nampak tidak acuh, namun perasaannya tetap memanas mendengar cibiran karyawan-karyawan kantor.

Begitu pintu lift tertutup, Vanny mengembuskan napas panjang sembari tersandar lemas di dinding lift. Ini bukan kali pertama orang-orang mecibirnya sebagai Nyonya Whitelaw. Berbicara seolah-olah Vanny sangat tidak layak bersanding dengan Abhivandya Whitelaw.

Jelas pandangan mereka bukan menilik dari latar belakang keluarga Vanny. Karena Dhananjaya juga bukan orang biasa, termasuk cukup terkenal serta disegani di dunia bisnis.

Namun, masalahnya mungkin karena selama ini Vanny 'tidak diakui' keberadaannya ditambah berita yang belakangan sedang tersebar. Wajah Vanny yang jarang nyaris tidak pernah tampil di layar televisi, kini seolah siap bersaing dengan para artis papan atas.

"Maaf, Mbak. Mau mencari siapa, ya?"

Langkah Vanny yang sudah mendekati pintu ruangan Ivan terpaksa terhenti, saat sebuah suara menginterupsinya. Berbalik, Vanny menatap seorang perempuan yang sedang berdiri di balik meja sekretaris dengan kernyitan di dahi. "Pak Abhi," jawab Vanny jujur.

"Apa sudah ada janji sebelumnya?" tanya perempuan yang belum Vanny ketahui namanya itu.

"Belum," jawab Vanny lagi. Perempuan yang berdiri di depannya ini bukan sekretaris yang dikenalnya. Mungkin Ivan ganti sekretaris lagi. Suaminya itu memang cukup perfeksionis. Sulit menemukan asisten atau sekretaris yang sesuai dengan kriteria Ivan.

"Mohon maaf, Mbak. Tapi, Pak Abhi sedang sibuk dan tidak bisa diganggu. Silakan--"

"Eh, Bu Vanny?"

Perkataan sekretaris baru Ivan langsung terpotong oleh celetukan dari Melinda yang baru saja kembali entah dari mana.

"Mel," sapa Vanny sambil melempar senyum tipis.

"Mau ketemu Pak Abhi, ya?" tanya Melinda yang dijawab anggukan kepala oleh Vanny. "Silakan, Bu. Pak Abhi ada di ruangan, kok." Melinda mempersilakan Vanny masuk ke dalam ruangan Ivan.

"Saya masuk dulu, ya?" Vanny melempar senyum lagi sebelum membuka pintu ruangan Ivan.

"Lo kenal sama Mbak itu?" tanya sekretaris baru Ivan kepada Melinda setelah pintu ruangan bos-nya tertutup kembali.

Melinda menoleh dengan alis terangkat sebelah. "Demi apa lo nggak kenal, Mer?!"

Meri, sekretaris baru Ivan turut mengangkat alisnya. "Emangnya siapa?" tanya perempuan itu polos.

"Dia Bu Vanny, istri Pak Abhi," ujar Melinda memberitahu. "Jangan bilang lo perlakuin dia kayak orang asing?!"

Di tempatnya, tubuh Meri menegang. Pertanyaan Melinda benar-benar tepat sasaran. "Seriusan lo?" tanyanya kemudian.

Mendelik, Melinda mengedikkan bahu sambil melanjutkan pekerjaannya. "Nggak percaya tanya sendiri sana!"

Sedangkan di dalam ruangan, Vanny tengah duduk di sofa sembari menunggu Ivan yang tengah berbicara dengan seseorang melalui telepon.

"Kita berangkat jam lima nanti." Ivan menghampiri Vanny. Duduk tepat di samping perempuan itu. "Maaf nggak bisa jemput, kerjaan aku beneran nggak bisa ditinggal," ujar Ivan sambil matanya fokus ke arah tablet yang berada di tangannya.

"Hm, it's okay." Vanny menyandarkan punggung ke kepala sofa. Menatap kosong dinding warna abu-abu di depannya.

Apakah Vanny memang kurang bersosialisasi?

Bahkan, sekretaris baru Ivan saja tidak mengenalinya tadi. Vanny jadi merasa semakin tidak layak menjadi pendamping Ivan.

"Ada yang kamu pengen?" tanya Ivan masih belum mengalihkan fokusnya.

"Nggak ada," sahut Vanny yang kemudian menatap sang suami dari samping. "Van," panggilnya pelan.

"Ya?"

Mengulum bibir, Vanny merasa ragu ingin mengutarakan apa yang mengganjal di benaknya. "Nggak jadi, deh."

Gerakan jari Ivan yang sedang berselancar di benda pipih bernama tablet terhenti. Menolehkan kepala ke arah Vanny, tangannya meletakkan tablet ke atas meja. "Bilang aja. Ada apa?" tanyanya sambil menatap sang istri lekat-lekat.

Membalas tatapan Ivan, ragu di benaknya perlahan mulai berkurang. Entah bagaimana bisa, tatapan Ivan selalu berhasil menghipnotis Vanny. Menenangkan jiwanya yang semula berkecamuk. Hingga akhirnya, pacuan jantung yang begitu menggila perlahan kembali normal. Dan lisan, semakin ringan menyampaikan isi hati. "Aku … belum siap," cicit Vanny seraya menunduk dalam. Merasa malu terhadap sang suami.

Lipatan-lipatan kecil muncul di kening Ivan. Tatapan bingung ia lemparkan ke arah Vanny. "Nggak siap gimana maksudnya? Nggak siap ketemu Mama Papa?"

Kepala Vanny menggeleng cepat. "Bukan! Bukan itu."

"Terus?"

"Aku … belum siap, jadi ibu. Aku … aku ngerasa belum pantas aja. Gimana kalau nanti aku sampai salah didik? Gimana kalau aku nggak sanggup? Gimana kalau anak kita malah malu ngakuin aku sebagai ibunya?  Gimana kalau--"

"Sstt!" Jari telunjuk Ivan mendarat tepat di bibir Vanny. "Kamu terlalu over thinking, sayang …."

Kepala Vanny menggeleng pelan. "Aku belum pantas, Van. Aku bahkan belum bisa jadi istri yang sempurna buat kamu," kata Vanny menyahuti.

"Siapa bilang?" tanya Ivan dengan nada menantang. Diangkatnya dagu Vanny, ditatapnya dalam manik mata sang istri. Mencoba meyakinkan Vanny, jika semuanya akan baik-baik saja.

"Orang-orang nggak suka aku! Berita buruk tentangku beredar di mana-mana. Namaku udah terlanjur buruk di mata masyarakat. Aku … aku nggak mau kalau sampai anakku nanti menangung beban atas apa yang terjadi sekarang," ujar Vanny panjang lebar. "Aku takut, Van …." Menutup wajah menggunakan kedua telapak tangan, Vanny tergugu kemudian. Air mata seolah tidak ada habisnya. Keluar terus-menerus tanpa henti.

"Kamu nggak sendirian, Vanny. Ada aku di samping kamu," bisik Ivan sambil menarik Vanny ke dalam pelukannya. "Dia bukan hanya menjadi tanggung jawab kamu, tapi aku juga. Dia anak kita, bukan anak kamu sendiri." Tangan Ivan mengusap lembut perut datar Vanny sambil melontarkan kalimat yang sekiranya bisa membuat Vanny merasa lebih tenang dan membaik perasaannya.

Vanny positif hamil. Itu sebuah kenyataan yang mengejutkan, untuk Ivan pribadi terutama. Karena setahu laki-laki itu, Vanny masih rutin meminum pil KB-nya. Sayangnya Ivan tidak tahu, jika sudah lumayan lama Vanny berhenti meminum pil tersebut. Awalnya, karena mulai tidak tahan dengan nyir-nyir tetangga. Di samping itu, Vanny juga merasa tidak enak hati pada keluarga dari pihak suaminya. Mertuanya, yang paling utama. Mereka sudah lama berharap bisa menimang seorang cucu kandung.

"Aku juga ngerasa nggak sanggup menjadi patner hidup kamu, Van. Semuanya … terasa terlalu berat. Aku nggak kuat," lirih Vanny yang kali ini berhasil membuat tubuh Ivan menegang di tempat. Tidak menyangka, kalimat itu akan meluncur bebas dari mulut sang istri. Merasa janggal juga, karena Vanny mengatakan kabar buruk itu di saat kabar baik baru saja menyapa.

Apa yang harus ia lakukan sekarang?

•••••~WhiteRose~•••••

Up Up Up

Nantikan 2 part menuju ending😙

Salam hangat,
RosIta

KalBar, 29 Nov 2020

White Rose (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang