Seventeen

232 26 0
                                    

"Saya ingin bertemu dengan Pak Abhivandya."

Vanny berdiri di depan meja resepsionis. Menatap perempuan cantik yang juga tengah menatapnya balik dengan senyum manis yang terukir di bibirnya. Senyuman yang seolah telah terlatih untuk ditampilkan selama jam kerja berlangsung.

"Apakah sudah ada janji sebelumnya?" tanya perempuan dengan name tag bertuliskan 'Maudya Ningsih' itu dengan ramah.

Kepala Vanny menggeleng. Ia memang belum memberitahu kedatangannya kepada orang yang dimaksud. "Belum, sih."

"Sebentar, ya?" Maudya mengangkat gagang telepon yang ada di meja, menguhubungi seseorang. Tak lama kemudian, kembali diletakkannya gagang telepon tadi. "Maaf, Mbak. Tapi Pak Abhi-nya sedang ada meeting di luar," katanya memberitahu.

Vanny terdiam sejenak. Menimbang apakah ia harus pulang atau menunggu bos besar di perusahaan yang tengah ia pijak lantainya saat ini. "Apakah masih lama?" Akhirnya, ia memutuskan untuk bertanya.

"Kalau itu saya kurang tahu, Mbak. Mungkin--" Maudya mendadak berhenti berbicara. Matanya menyorot ke pintu lobi. "Ah, itu Pak Abhi!" ujarnya kemudian.

Vanny refleks berbalik. Saat itu juga, ia dapat melihat sosok laki-laki yang nampak gagah di dalam balutan jas kerjanya. Senyuman tidak bisa ditahan untuk merekah indah di wajahnya. "Ivan!" Vanny berseru sembari mengayun kaki menuju sosok yang menjadi alasannya datang ke perusahaan ini.

Ivan yang merasa dipanggil, menghentikan langkah. Sedikit berbalik, alisnya terangkat sebelah. "Vanny?" gumamnya memastikan. "Kok, nggak bilang mau ke sini?" tanyanya kemudian, saat Vanny sudah berdiri di depannya.

Vanny hanya mengedikkan bahu. "Tadi kebetulan lewat daerah sini, langsung kepikiran buat mampir ke kantor kamu."

Keduanya lantas melanjutkan langkah menuju ruangan Ivan dengan diikuti sekretaris dan bodyguard pribadi Ivan yang berjalan di belakang keduanya.

"Dengan tangan kosong, huh?" tanya Ivan melirik Vanny sekilas, sebelum memasuki lift.

Vanny menatap Ivan dari samping. "Maksudnya?" tanyanya belum mengerti.

"Yaaa … biasanya 'kan, kalau istri datang ke kantor suaminya, minimal bawa makanan, gitu?"

Dan seketika, tawa Vanny pecah mendengar penjelasan Ivan. "Kamu ngarep aku bawain makan siang?" tanya Vanny dengan sisa tawanya. Di belakang, sekretaris dan bodyguard Ivan mati-matian menahan tawa mereka. Bisa potong gaji, jika mereka sampai langcang ikut menertawakan atasannya. "Lagian, ini udah lewat banget kalau mau makan siang," lanjut Vanny kemudian.

Ivan tidak lagi menanggapi. Namun, mulutnya komat-kamit menggerutu pelan. Tingkahnya yang seperti itu, malah terlihat lucu di mata Vanny. Jarang-jarang ia melihat sisi lain dari seorang Abhivandya Whitelaw.

"Iya deh, iya …." Tangan Vanny melingkari lengan sang suami. Menyandarkan kepalanya di lengan bagian atas Ivan dengan manja. "Lain kali, aku janji bakal bawain kamu masakan spesial kalau ke sini lagi," ujarnya sembari mendongak. Menatap wajah Ivan yang belum menampilkan raut tersenyum. "Jangan marah, dong …." Vanny ingin kembali tertawa, tapi ia tidak mau di-cap sebagai istri durhaka.

Pintu lift terbuka. Ivan berjalan dengan tangan Vanny yang masih setia melingkari lengannya. Beberapa karyawan yang berpapasan dengan mereka menyapa sopan. "Setelah ini jadwal saya apalagi, Nda?" Ivan bertanya kepada sekretarisnya.

"Tidak ada lagi, Pak. Hanya ada beberapa dokumen yang harus Bapak tandatangani," sahut Melinda memberitahu.

Kepala Ivan mengangguk singkat. Setelahnya, ia dan Vanny masuk ke dalam ruangannya. Sedangkan Melinda kembali ke meja kerjanya, begitu pun dengan bodyguard pribadinya.

"Setelah ini jadwal saya apalagi, Nda?" Vanny melepas kasar tangannya dari lengan sang suami. Bibirnya berkicau menirukan sang suami yang tadi sempat bertanya kepada sekretarisnya dengan ditambahi ekspresi wajah yang aneh menurut Ivan.

"Kamu sehat?" tanya Ivan sambil menaikkan sebelah alisnya. Menatap Vanny lamat-lamat.

Mendelik, Vanny berdecih pelan. "Nda-Nda. Nggak sekalian aja kamu panggil dia Bunda?!" Dan perempuan itu langsung menjawab Ivan dengan sewot.

Kening Ivan mengernyit. Belum paham, maksud Vanny sesungguhnya. "Bunda?" beo Ivan.

Vanny memilih menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Memejamkan mata, dan ketenangan yang baru ia jemput hancur begitu saja karena kehadiran Ivan. "Apa sih, Van?!" ketusnya sambil menatap Ivan yang tengah duduk di sampingnya dengan tatapan kesal. "Ganggu, deh!"

"Lah? Kamu tuh, yang ganggu aku sebenarnya. Datang tiba-tiba, nggak tau maksud dan tujuannya apa. Sekarang malah ngambek nggak jelas. Lagi kedatangan tamu bulanan kamu?"

Mulut Vanny menguap lebar. "Kalau tamu bulananku datang, semalam kamu nggak dapat jatah Tuan Muda Whitelaw." Setelah mengatakan itu, Vanny menjatuhkan tubunya ke pelukan Ivan. Sikap labil yang sangat jarang menguar ke permukaan, menampilkan wujudnya juga. "Ngantuk," rengeknya kemudian.

Tidak sering Vanny bertingkah seperti sekarang. Jadi, Ivan dengan senang hati menjadikan pahanya sebagai alas kepala Vanny. Membiarkan perempuan itu perlahan menjemput alam mimpinya.

Saat kedua kelopak mata Vanny telah tertutup, Ivan menyadari sesuatu. Jika dirinya dan Vanny sangat jarang bisa menghabiskan waktu berdua tanpa gangguan apa pun.

Pintu ruangannya diketuk dua kali sebelum dibuka dari luar. "Maaf, Pak. Ini beberapa dokumen yang harus Bapak tandatangani," ujar sekretarisnya yang lain. Rima namanya. Perempuan berambut sebahu itu berbicara sepelan mungkin, saat melihat istri atasannya tengah tertidur pulas.

Ivan menggerakkan dagunya. Memberi intruksi lewat bahasa tubuh yang langsung dipahami Rima.

Setelahnya, Rima keluar dengan wajah memerah.

"Kenapa lo?" tanya Melinda yang tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya, saat melihat Rima keluar dari ruangan atasannya dengan wajah memerah.

Kepala Rima menggeleng. "Baper aja lihat Pak Bos sama Bu Bos," jawab Rima sambil kembali melanjutkan pekerjaannya.

"Baper kenapa?" tanya Melinda masih penasaran.

"Gitu, deh. Bu Bos tidur di pangukan Pak Bos. Romantis banget ya Pak Bos kalau udah sama Bu Bos? Bikin mata jomblo perih-perih ngenes," cerocos Rima dengan tampang mupeng yang tidak biasa.

Melinda sontak tertawa. "Kasihan yang jomblo," ejeknya kemudian.

Sementara itu, ponsel di dalam tas Vanny mengeluarkan suara dering panggilan masuk. Tangan Ivan meraih ponsel Vanny dan melihat siapa yang menelepon sang istri. Nama ibu mertuanya langsung terpampang di layar ponsel. "Halo, Bun?" sapa Ivan setelah menempelkan ponsel ke telinga kanannya.

Di seberang sana, suara Nina terdengar serak dengan sesekali isak keluar dari mulutnya yang tengah memberitahukan sebuah kabar buruk.

"Baik, kami akan segera ke sana. Bunda tenang, ya? Kita serahkan semuanya pada Tuhan."

Suara Ivan yang tengah berbicara dengan ibunya melalui ponsel berhasil menarik kesadaran Vanny. Perlahan, kelopak mata perempuan itu terbuka setelah sebelumnya mengerjap beberapa kali. "Siapa, Van?" tanya Vanny dengan mulut yang kembali terbuka. Menguap.

"Bunda," jawab Ivan.

"Bunda?" beo Vanny sembari bangkit dari posisi tidur. "Ada apa?" tanyanya kemudian.

"Via. Dia … kecelakaan."

•••••~WhiteRose~•••••

Up Up Up

Hujan-hujan begini enaknya selimutan sambil baca yang uwu-uwu, nggak sih?😅

Btw, di tempat author hujan lho, di tempat kalian gimana?

Salam hangat,
RosIta.

KalBar, 18 Nov 2020

White Rose (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang