Ten

253 29 0
                                    

Tok! Tok! Tok!

 "Masuk!"

Ceklek!

"Permisi, Mbak. Di depan ada tamu yang nyariin Mbak."

Vanny yang tadinya tengah fokus melihat-lihat desain bangunan yang akan dijadikan contoh untuk cabang kedai barunya, mengangkat wajah. Menatap Aini yang merupakan asisten-nya dengan sebelah alis terangkat. Ia merasa tidak memiliki janji dengan siapa pun hari ini. "Siapa?" tanyanya kemudian.

Aini yang baru bekerja sekitar semingguan menggeleng tidak tahu. Perempuan yang diminta langsung oleh Ivan untuk menjadi asisten Vanny itu kemudian menyebutkan nama tamu yang ingin bertemu dengan Vanny.

Sejenak, Vanny terdiam bingung. "Ya sudah, suruh ke ruangan saya saja langsung," katanya sambil membereskan laporan. Nanti, setelah urusannya selesai baru dia akan melanjutkan pekerjaannya.

Tidak lama setelah Aini keluar, pintu ruangan Vanny kembali terbuka. "Papa ganggu?"

Kepala Vanny menggeleng, lantas mempersilakan si tamu yang tidak lain tidak bukan adalah sang ayah untuk duduk di sofa. "Aini, tolong buatkan minum, ya?" pinta Vanny yang langsung diangguki oleh Aini.

"Kedai kamu lebih mirip seperti kafe lho, Van," kata sang ayah seraya duduk di sofa single tidak jauh dari meja kerja Vanny.

Mendengarnya, Vanny hanya menanggapi dengan senyuman. Ayahnya bukan orang pertama yang berkata demikian. Karena memang, kedai milik Vanny direnovasi dengan mengadopsi gaya ala kafe. Jadi, jatuhnya bukan seperti kedai, melainkan kafe. Kata 'kedai' sendiri hanya kedok, menilik menu yang disajikan di dalam kedai tersebut. "Tumben Papa ke sini? Kenapa nggak bilang aja kalau mau ketemu, biar Vanny yang ke rumah atau ke kantor Papa," ujar Vanny saat dirinya sudah duduk di sofa seberang sang ayah.

Ini kali pertama ayahnya datang ke kedai milik Vanny sejak perempuan itu mulai merintis kedai saat masih menjadi mahasiswi. Wajar saja, jika Vanny terkejut dan merasa tidak enak. Karena jika memang ada sesuatu yang ingin dibicarakan, ayahnya selalu meminta Vanny untuk datang ke rumah atau ke kantornya langsung. Belum pernah menghampiri Vanny terlebih dahulu seperti sekarang.

 "Papa nggak boleh datang ke kedai anak sendiri?" Aiwin memicingkan mata ke arah Vanny yang langsung menggelengkan kepalanya.

 "Boleh, kok. Boleh banget. Papa bebas mau ke kedai Vanny kapan aja." Senyuman kikuk tersungging di bibir Vanny. Akibat jarang sekali bertemu, Vanny jadi merasa canggung sendiri jika berhadapan langsung seperti ini dengan Aiwin. Ayah kandungnya.

Tersenyum kecil, Aiwin membenarkan posisi duduknya. Berdehem pelan, sebelum mengutarakan tujuan utamanya datang menemui sang anak. "Ada yang mau Papa bicarakan sama kamu," kata Aiwin mulai membuka pembicaraan.

Pintu diketuk kembali. Aini masuk setelah Vanny mempersilakan.

"Bicara apa, Pa?" tanya Vanny setelah Aini kembali keluar dan menutup pintu ruangan.

"Ini soal … butik almarhumah mama kamu," sahut Aiwin sembari menatap lekat Vanny. Ingin melihat reaksi anak semata wayangnya bersama almarhumah Nayara.

Vanny mengernyitkan keningnya. Pembahasan ini sudah pernah mereka bahas. Bahkan sudah sering, jauh sebelum Vanny menikah. "Pa …."

"Kamu jangan salah sangka dulu. Maksud Papa … hm, butik itu diambil alih sama Via." Ragu-ragu Aiwin mengutarakan niat dari rencana yang sudah berulang kali ia pikirkan. "Sayang saja, butiknya terbengkalai, 'kan?" sambung Aiwin yang tidak ingin Vanny sampai salah paham.

Vanny terdiam. Menatap sang ayah dengan tatapan yang tidak terbaca. "Pa, butik itu satu-satunya warisan peninggalan Mama. Masa iya, mau Papa kasih gitu aja ke Via?"

 "Terus kamu mau mengurusnya? Enggak, 'kan?" Aiwin membalas perkataan Vanny dengan telak. "Jika saja kamu mau mengurusnya, Papa juga nggak bakal minta Via buat ambil alih," tambah Aiwin. Nada bicaranya tegas dan seolah tidak terbantahkan.

"Tapi Via bukan keluarga--"

"Dia adik kamu, Vanny!" sela Aiwin cepat.

Mengembuskan napas pelan, Vanny berusaha mengatur emosi dalam dirinya. "Iya. Dia adikku. Anak Papa." Vanny berdiri. Matanya sudah memerah. Mati-matian Vanny menahan air matanya, agar tidak tumpah di depan sang ayah. "Dibanding Vanny, Papa yang lebih berhak atas butik Mama. Jadi, kalau Papa mau meminta Via yang mengurusnya, silakan saja. Toh, suara Vanny juga enggak bakal Papa dengar. Never."

"Vanny! Apa-apaan kamu?!"

"Vanny mau men-survei tempat untuk cabang kedai yang baru. Maaf, kalau Vanny lancang."

Selalu. Pertemuan keduanya selalu berakhir adu mulut. Semenjak ibunya meninggal, sang papa mulai berubah. Sekalipun ibu tirinya baik kepada Vanny, tetap saja. Yang Vanny sangat butuhkan, kasih sayang sang ayah. Satu-satunya keluarga kandung yang ia miliki.

Tepat di depan pintu kedai, Vanny bertemu dengan Delvin. Sahabat Ivan yang juga lumayan dekat dengan Vanny.

"Van, are you okay?" Pertanyaan itu tidak akan terlontar dari mulut Delvin, jika saja laki-laki itu tidak melihat cairan bening mengalir di kedua pipi Vanny.

 "No. I'm not okay," lirih Vanny seraya menundukkan kepala.

"Ayo!"

Vanny sudah tidak peduli, mau ke mana Delvin membawanya. Yang jelas, ia sudah tidak bisa kembali fokus bekerja. Tadi, pekerjaannya hari ini sudah diambil alih oleh Aini. Termasuk men-survei lapangan.

•••••

"Gue di basemant sama bini lo. Dia lagi nggak baik-baik aja. Ke sini buru!"

Tidak sampai sepuluh menit, sosok Ivan sudah nampak tidak jauh dari tempat Delvin memarkirkan mobilnya. "Here!" seru Delvin seraya melambaikan tangan. Laki-laki itu bersandar di kap mobil.

"Ketemu di mana?" tanya Ivan langsung.

Meski wajahnya terlihat biasa-biasa saja, tapi Delvin yang sudah cukup lama mengenal Ivan tahu, kalau sahabatnya itu tengah khawatir pada sang istri.

"Depan kedai. Dia keluar dari kedai udah nangis, nggak tahu kenapa," jelas Delvin.

Menepuk bahu Delvin sekali, Ivan bergegas menghampiri Vanny yang masih terisak pelan di dalam mobil. "Van …."

Perlahan, kepala Vanny mendongak. "Van …." Dan tangis Vanny tumpah di pelukan Ivan.

Sekilas, Ivan melirik ke arah Delvin yang juga tengah menatap keduanya. Delvin mengedikkan bahu, tanda jika ia sama sekali tidak tahu hal apa yang membuat Vanny sampai seperti itu.

"What's wrong?" tanya Ivan setelah pelukan mereka terlepas. Diusapnya lembut pipi Vanny yang basah karena air mata. Tatapannya lurus menembus manik mata Vanny. Berusaha mencari tahu, apa yang sebenarnya telah terjadi kepada sang istri sebelumnya.

"Papa …."

Dan Ivan sedikit banyak langsung dapat menyimpulkan apa yang baru saja terjadi. Oleh karena itu, ia memilih membawa Vanny ke ruangannya. Berterima kasih sebelumnya kepada Delvin yang telah membawa sang istri ke kantornya. Delvin memang sahabat yang selalu bisa diandalkan. Laki-laki itu selalu lebih banyak bertindak daripada sekadar berbicara panjang lebar yang belum tentu memiliki hasil memuaskan. Seperti barusan, contohnya.

•••••~WhiteRose~•••••

Up Up Up

Miss me?
Yg jawabnya 'Yes' angkat tangan, dong!😄
Yg jawab 'No' angkat kakinyaaa😁

Salam hangat,
RosIta

KalBar, 11 Nov 2020

White Rose (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang