Seven

267 30 0
                                    

"Via …."

Di ruang tunggu yang memang terbuka, Ivan mendapati Via tengah duduk dengan anggun. Menatapnya sambil tersenyum.

Pukul delapan memang Ivan biasanya sampai di kantor, Via tahu itu. Dan jika ingin ke ruangannya, maka harus melewati ruang tunggu terlebih dahulu. Via juga tahu itu. Oleh karenanya, perempuan berambut sebahu itu datang lebih awal daripada Ivan dan menunggu dengan sabar di ruang tunggu. Menantikan kedatangan Ivan demi mencapai sebuah tujuan yang telah dinanti-nantikan.

"Hai, Iparku …." Sapaan ramah yang memiliki maksud terselubung di sebaliknya.

 "Ada keerluan apa sampai kamu ke sini?" tanya Ivan to the point. Ia malas berbasa-basi. Terlebih dengan Via. Masa lalunya.

Hubungannya dengan Vanny baru saja membaik, jangan sampai kembali berjarak. Dan ia harus berwaspada atas kedatangan Via yang secara tiba-tiba ini. Mengenal cukup lama sosok di depannya, membuat Ivan sedikit banyaknya tahu bagaimana sifat Via sebenarnya. Sifat yang jarang diketahui publik akibat saking berbakatnya Via dalam berakting. Membungkus rapat juga rapi kehidupan pribadinya yang sesungguhnya. Kehidupannya yang jika terbongkar, dapat mengancam nama baik, khususnya karir wanita tersebut.

"Benar-benad Ivan, ya. Nggak berubah sama sekali." Tawa anggun yang jelas telah dilatih sedemikian kerasnya terlontar pelan dari bibir merah muda milik Via.

"Saya sibuk," kata Ivan yang jelas secara tidak langsung menuntut Via agar segera mengutarakan niat perempuan itu datang ke kantornya hari ini.

Lagi dan lagi, Via tertawa pelan. "Hidup itu jangan terlalu serius, sayang …."

"Via!" sentak Ivan refleks, akibat Via yang secara tiba-tiba bergelayut manja di lengannya. Laki-laki berstatus suami dari Vanny itu sama sekali belum bisa membaca apa tujuan kedatangan Via ke kantornya. Yang jelas, perempuan di depannya ini tidak mungkin datang tanpa sebuah keinginan. Semoga saja, apa pun yang akan diminta Via nanti, tidak di luar akal sehat.

Mendengus, Via mencebikkan bibirnya kesal. "Aku mau curhat …," rengek Via pada akhirnya. Matanya menatap Ivan memelas. Meminta lewat tatapan, agar laki-laki itu sudi meluangkan setidaknya seperempat waktunya untuk mendengarkan curahan hati Via. Menerima dengan telinga terbuka ocehan yang akan mengalir bak aliran sungai dari bibir Via untuk kemudian dihanyutkan nasihat yang ampuh untuk memotivasi perempuan itu.

•••••

"Dandan?!" pekik Davina begitu mendengar permintaan tolong sahabatnya. Perempuan berambut sebahu itu memicingkan mata ke arah Vanny. Ada yang salah.

Sejauh ia mengenal Vanny, selama ia bersahabat dengan Vanny, perempuan itu tidak pernah benar-benar ingin tahu seputar ilmu dandan-berdandan. Dan sekarang, secara tiba-tiba Vanny datang meminta dirinya mengajari perempuan itu berdandan. Suatu hal yang jelas patut dipertanyakan.

"Iya, Vin. Ajarin, yaaa …." Vanny memasang wajah seimut mungkin, agar Davina menyetujui permintaannya. "Please …," katanya lagi.

"What happen?" Pertanyaan Davina mengundang kernyitan di dahi Vanny. "Maksud gue, apa yang terjadi sampai lo tiba-tiba datang ke rumah gue hanya untuk minta diajari dandan?" tanya Davina lebih jelas.

Mengembuskan napas pelan, Vanny yang tadinya duduk bersila di atas ranjang samping Davina membaringkan tubuhnya. Menatap langit-langit kamar sang sahabat. "Gue cuma mau belajar aja, kok."

 "Lo tuh, nggak ahli bohong, Van …." Dari raut wajah Vanny saja, Davina sudah bisa menebak, jika perempuan itu tengah menyembunyikan sesuatu. "Ivan yang minta lo ngelakuin ini?" tebak Davina.

"Apaan, sih? Malah bawa-bawa Ivan. Dia tuh nggak tahu sama sekali soal gue yang minta diajari sama lo berdandan," ujar Vanny sejelas mungkin. Jangan sampai orang-orang berpikiran buruk tentang suaminya. Karena memang sejujurnya, Ivan tidak terlibat dalam keinginan tiba-tibanya malam tadi ini.

"Yaaa … aneh aja, gitu. Seorang Vanny tiba-tiba minta diajari dandan," kata Davina sembari bangkit dari posisi duduk, lantas menuruni ranjang dan berjalan menuju meja rias. Mengambil pouch berukuran sedang yang berisi peralatan make-up yang sering ia gunakan.

"Gue mikir gini, sih. Ivan itu seorang pemimpin di sebuah perusahaan besar yang telah terkenal namanya. Ya masa, gue sebagai istri yang bakal sering nemenin dia ketemu banyak kolega bisnisnya berdandan kayak istri tukang kebun? Nggak banget, 'kan?"

Mendengus, boneka panda dengan ukuran kecil melayang bebas sebelum mengenai wajah Vanny. "Sok kumal, sok dekil banget lo!" ketus Davina yang kembali duduk di samping Vanny. "Dengar ya, Vanny sahabatku yang pintarnya di atasku dikit. Lo tuh, udah cantik dari lahirnya. Cantik alami. Bahkan, kalo harus bandingin lo sama gue, yaa cantikan lo ke mana-mana lah." Karena geram, Davina tidak bisa menahan diri untuk tidak menyerocos. Mengomeli sahabatnya.

"Ish! Lo, mah!" Vanny memasang wajah cemberut. "Dua hari yang lalu gue nemenin Ivan makan malam sama salah satu klien dia. Sumpah demi apa pun, gue ngerasa beda derajat banget sama istri klien Ivan," celoteh Vanny dengan wajah murung yang malah ditanggapi ekspresi malas dari Davina.

"Hm … so?"

"Dia tuh berkelas banget. Mulai dari pakaian dia sampai dandanannya. Sedangkan gue? Bikin malu Ivan tahu, nggak?" lanjut Vanny mencurahkan keresahan hatinya yang membuat langkah perempuan itu sampai di kediaman sang sahabat.

"Ivan bilang lo bikin dia malu?" tanya Davina seraya menaikkan sebelah alisnya.

"Ya … enggak. Tapi 'kan, pasti dia ngerasa malu punya istri yang udik kayak gue," ujar Vanny sambil mengembuskan napas kasar.

Davina mendengus sembari merotasi bola matanya. Vanny akan tetap menjadi Vanny. "Lo tuh overthink, tahu nggak?"

"Bukan overthink, Vin--"

"Overthink. No debat!" sela Davina. "Udah, sekarang biar gue ajarin lo, gimana caranya dandan, supaya lo nggak ngerasa insecure lagi pas tampil di depan publik sebagai Nyonya Whitelaw."

•••••

"Gue nyesel …."

Ivan mengembuskan napasnya pelan seraya menyandarkan punggung ke sandaran kursi kebesarannya. "Dari awal lo udah tahu, kalau Vero cowok bebas yang nggak mau terikat sama sebuah hubungan pasti," ujar Ivan seraya menaikkan pandangannya ke arah Via yang tengah duduk di sofa ruangannya.

"Harusnya gue nggak bersikap bodoh dengan ninggalin lo waktu itu, 'kan?" Sorot Via sendu. Bisa Ivan tangkap penyesalan terpancar dari manik mata masa lalunya itu. Sepercik kilatan emosi yang mungkin menunjukkan rasa sedih di hati perempuan itu turut ditangkap netra Ivan.

"Terus, mau lo sekarang apa?" tanya Ivan tetap berusaha untuk tidak terhanyut ke dalam rasa penyesalan Via. Sebisa mungkin ia harus memusatkan pikiran pada sesosok perempuan yang saat ini harus dijaga perasaannya oleh Ivan.

Tatapan Via lurus mengarah ke arah Ivan. Menatap laki-laki itu lekat dengan pandangan memelas, sebelum sebuah permintaan meluncur manis dari bibirnya.

•••••~WhiteRose~•••••

Up Up Up

Malam-malam begini kalian ngapain aja?

Baca novel, nonton drakor, atau ngerjain tugas yg udah mepet DL?

Salam hangat,
RosIta

Kalimantan Barat, 8 November 2020

White Rose (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang