Six

300 29 0
                                    

 "Itu kalau masih sakit, periksa ke dokter aja. Nanti malah ada apa-apa lagi." Nina berceloteh dengan tampang parno.

Tersenyum, Vanny mengangkat sebelah tangannya. "Udah nggak apa-apa kok, Bun," sahutnya seraya menggoyang-goyangkan tangan kanannya yang tadi tidak sengaja bersentuhan dengan oven. Meyakinkan Nina, jika ia baik-baik saja.

"Ya kan, kalau masih sakit." Nina mendengus. Sedikit kesal dengan perangai anaknya yang selalu berusaha menahan segala rasa sakit yang mendera. Baik fisik maupun batin. Selalu terlihat tegar, padahal sebenarnya rapuh.

 "Iya-iya, Bundaku sayang …."

 "Ya sudah, Bunda pulang dulu. Via minta ditemani ke salon soalnya. Kamu bener udah baik-baik aja, 'kan?" tanya Nina mengulang. Memastikan sekali lagi.

Vanny hanya menyahut dengan sebuah senyuman. Setelahnya, Nina melenggang keluar rumah. Menyisakan hening yang mengurung dua insan di ruang keluarga.

Banyak hal yang ingin dibicarakan. Banyak hal yang harus diselesaikan. Banyak hal yang memang perlukan peran lisan untuk menjelaskan.

"Van …."

"Van …."

Dan memang hal-hal tersebut, harus segera diambil tindakan. Hingga tanpa sadar, keduanya memanggil nama bersamaan. Kembali ciptakan suasana awkward. Keadaan mereka persis seperti sepasang remaja yang tengah dilanda virus merah jambu.

"Duluan aja," kata Vanny kikuk.

"Ladies is first," sahut Ivan menolak secara halus.

Vanny menunduk, memilin-milin ujung bajunya. Seketika gugup melanda dirinya. Benar-benar seperti anak baru gede yang sedang kasmaran. Malu-malu kucing. "Maaf …." Di antara ribuan kata, entah kenapa satu kata itu yang berhasil lolos dari bibirnya. Meluncur dengan amat lirih.

"Aku yang minta maaf," kata Ivan seraya mengembuskan napas berat. Menyandarkan punggung ke kepala sofa, matanya terpejam dengan tangan yang memijat pelan pangkal hidungnya. "Belakangan perusahaan lagi banyak masalah. Emosiku beneran terkuras." Bukan hanya masalah di perusahaan, tapi juga di dalam jiwanya. Peperangan antara hati dan logika masih terus berlangsung hingga detik ini. Sama-sama ingin memenangkan ego masing-masing. Tidak ada yang sudi mengalah. Merasa paling benar.

 "Kamu bisa cerita sama aku, you know it." Ragu-ragu, Vanny menyentuh punggung tangan Ivan yang berada di pangkuan laki-laki itu. Mengusap perlahan, seolah menyalurkan kekuatan dari sentuhan.

Meski samar, tapi Vanny bisa mengetahui, jika Ivan tengah tersenyum. Hatinya menghangat karena itu.

"Aku cuma nggak mau kamu jadi makin banyak beban pikiran, kalau ditambahin sama masalahku," kata Ivan menjelaskan. "Aku juga nggak mau melukai hatimu," sambungnya dalam hati.

"Aku sempet mikir kalau kamu marah sama aku. Aku bingung, hal apa yang udah aku lakuin sampai bikin kamu marah. Parahnya lagi, kamu mungkin baru sadar, kalau kamu seharusnya nggak menerima perjodohan ini," ungkap Vanny mengeluarkan uneg-uneg yang tersimpan di dalam benaknya belakangan ini.

"Van …." Ivan meraih jemari Vanny untuk ia genggam.

 "Setelah dipikir baik-baik, aku emang nggak sepantas itu untuk menyandang status sebagai istrimu. Kita beda, Van."

"Perbedaan lah yang seringkali menjadi pemersatu dua insan yang berbeda," kata Ivan bijak. Sorot matanya mulai menajam menatap Vanny dengan jemari yang turut meremas jemari Vanny. Alis kanan ia naikkan, persis menantang Vanny.

"Bagaimana, kalau ternyata kita nggak berjodoh?" Dan ketidakpercayaan Vanny akan hubungan mereka, belum juga ada habisnya.

"Bagaimana kalau ternyata kita berjodoh?" Bukannya menjawab, Ivan malah bertanya balik.

Lagi, mulut Vanny dibuat bungkam oleh Ivan. Laki-laki itu kemudian beranjak dari duduknya. "Siap-siap, kita jalan."

Vanny mengerjap tidak paham. "Jalan?" beonya. "Ke mana?" tanyanya sedikit nyaring, karena Ivan yang mulai berlalu.

•••••

"Pasar malam?" Kepala Vanny menoleh ke samping, sesikit mendongak menatap Ivan yang juga tengah menatapnya.

"Hm. Kenapa? Nggak suka?" tanya Ivan sembari merangkul bahu Vanny.

Cepat-cepat kepala Vanny menggeleng. "Suka, kok," jawabnya seraya meluaskan pandangan ke setiap sudut sejauh mata mampu menangkap pandangan. "Cuma nggak nyangka aja, seorang Ivan mau pergi ke pasar malam begini," katanya kemudian.

"Setiap orang berhak punya sesuatu yang disukai mereka sesuai kenyamanan hati, 'kan?" tanya Ivan seraya melirik Vanny sekilas. Perempuan itu sibuk menjelajahi tiap-tiap wahana permainan.

Meski matanya bergerak liar, tapi telinga Vanny masih mnnjalankan fungsinya dengan baik. Mendengar. Kepalanya mengangguk-angguk, sebelum akhirnya menarik sebelH tangan Ivan menuju salah satu wahana permainan.

Malam itu, keduanya menghabiskan waktu dengan tawa dan canda. Saling memberikan kebahagiaan. Saling melepaskan beban lewat semburan tawa. Seolah lupa, jika sebelum ini keduanya sempat terlibat perang dingin.

Keyakinan akan cinta sejati memang terkadang meragu singgah di hati. Sebabnya tentu karena akal yang sama sekali tidak bisa menebak bagaimana alur hidup yang sesungguhnya. Tidak hanya cinta, rasa benci pun seharusnya tetap berada di posisi sewajarnya. Demi menghindari diri menjilat ludah ssendiri diakibatkan prediksi takdir yang meleset.

Persis, sayangnya rasa yakin dalam diri Vanny memiliki angka teramat rendah. Perempuan itu terlalu menganggap, jika dirinya tidak pantas berbaur bersama para perempuan lainnya yang memiliki karir cemerlang di bidang yang mereka tekuni. Padahal, setiap pekerjaan yang mereka geluti tidak ada sangkut-pautnya dengan jalinan pertemanan. Lagipula, Vanny sama seperti mereka, sebenarnya. Ia memiliki usaha yang amat maju di berbagai kalangan. Dinikmati oleh berbagai usia. Setidaknya hal tersebut cukup untuk meyakinkan dirinya, kalau ia layak bersanding bersama Ivan. Berjalan bersisian tanpa perlu dirinya menunduk dalam.

 "Kamu itu hebat dengan menjadi dirimu sendiri. Dan aku, bangga punya istri sehebat kamu." Dua kalimat yang terucap dari lisan Ivan, saat keduanya berada tepat di puncak bianglala dengan mata yang beradu pandang. Menyelami rasa tanpa perlu meminta lisan turut andilndu dalamnya. Cukup dengan menatap kejernihan manik mata yang tidak pernah berdusta, hati menjadi tahu apa yang tindakan yang harus dilaksanakan ke depannya. Mata memang selalu lebih jujur daripada lisan yang acapkali malah bersilat lidah. Membelitkan kebenaran, dan membebaskan apa yang menurutnya banyak digemari. Itulah sebabnya, kalau tengah berbicara diusahakan untuk menatap lawan bicara. Setidaknya, demi mengetahui apakah yang mengalir dari lisannya ialah sebuah kebenaran atau kisah semu penuh bualan.

"Terima kasih karena telah memilih wanita serba kurang sepertiku," ujar Vanny menyahut. Disandarkannya kepala ke bahu Ivan. Memejamkan mata sejenak, Vanny menikmati desir lembut yang sama sekali tidak bisa ditampik, kalau dia menyukainya.

"Terima kasih kembali, karena telah menerimaku masuk ke dalam hidupmu," sahut Ivan yang kemudian mengecup lama ubun-ubun Vanny. Menyalurkan rasa sayang hingga ia menyadari, kalau Vanny benar merupakan tempat ia pulang.

"Semoga ini yang terbaik …." Dan tanpa keduanya sadari, mereka sama-sama membatinkan hal yang serupa.

•••••~WhiteRose~•••••

Up up up

Ada yang masih melek jam segini? Atau malah baru bangun?

Salam hangat,
RosIta

Kalimantan Barat, 7 November 2020

White Rose (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang