Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Perihal kita yang di pertemukan semesta. Kemudian aku merangkai rasa, namun ternyata pada akhir kisah kembali mengenal luka.
"Rajendra Gaung Adhilaksa."
Sebuah nama ia lantunkan dari ranumnya, sedangkan sang pemilik nama sedang menatap sengit ke arah sang puan.
"Aku panggil Ajen, boleh?"
Pemuda itu menautkan kedua alisnya, "nama-nama gue. Ngapain lo ganti-ganti??"
"Sudah mau diberi nama panggilan," balas sang gadis tak mau kalah. "Tahu nggak? Kalau seseorang memberi nama panggilan ke kamu, artinya kamu spesial."
"Spesial, spesial. Udah kayak martabak saja." Jendra masih terduduk sembari memeluk gitar kesayangannya.
Jingga tersenyum kemudian merapikan rambut hitam Jendra yang diterpa oleh sang bayu. "Kalau kamu martabak, aku nasi gorengnya."
"Kok gitu?"
"Biar sama-sama spesial."
Jendra tahu ini salah. Dia tidak pernah mau memiliki rasa dengan teman sepermainannya. Tetapi, mau bagaimana lagi. Akankah Jendra menyalahkan hatinya? Padahal rasa itu datang dengan sendirinya.
Jendra manusia, dia pernah merasa egois sekaligus bingung dengan keadaannya. Karena bagaimanapun juga, di lain sisi ia ingin memiliki Jingga. Di sisi lainnya ia tak ingin merelakan hubungan persahabatan yang sudah dibentuk dari bertahun-tahun lamanya.
"Truth or dare?"
"Truth aja, deh." Di gelapnya dirgantara malam, dua anak itu tengah duduk bercengkrama di hadapan api unggun yang melambai-lambai.
Karena sebuah urusan, Jendra terpaksa menginap di rumah Jingga semalam. Dan mereka sepakat untuk berkemah di taman belakang untuk mengusir rasa bosan yang menyerang.
