PART 1 - IRI

1.8K 7 0
                                    


"Aku iri padamu, Ray. Kau memiliki segalanya. Kau punya apa yang aku inginkan." Kala itu, mata hitam Bima menerawang ke arah gelap langit malam. Tubuhnya yang kurus telentang di rerumputan hijau. Lengannya terselip sebagai bantalan di bawah kepala. Ia tak peduli bila rambut hitam bergelombangnya bercengkerama dengan rumput-rumput berdebu.

Saat itu, mereka berusia 15 tahun. Ray yang sedari tadi duduk bersila di sebelah Bima ikut menjatuhkan diri ke rerumputan. Ternyata tanahnya kering dan keras. Efek belum juga datang rintik hujan. Ah, masa bodoh! Ray tak peduli meskipun sedikit sakit saat punggungnya tertusuk ujung kerikil kecil.

"Kau akan memiliki keberuntunganmu sendiri, Bim." Ray mencoba meniupkan harapan. "Akan ada waktunya. Pasti."

"Hmm," Bima menanggapi. "Aku selalu mencoba meyakini itu. Tak mengapa walau tanpa ayah ataupun ibu. Aku bisa bahagia dengan caraku sendiri." Bima mengepalkan kedua tangan, mengacungkannya tinggi-tinggi ke arah langit. "Pasti bisa."

"Yes, you can!" Ray menyemangati.

"Sure, I can!" Bima menyahuti. Suaranya terdengar serak di telinga Ray. Kini, suara itu sedikit bergetar. "Aku nggak mau iri sama kamu, Ray. Takdir kita memang berbeda. Aku yakin masing-masing ada hikmahnya."

Ray menangkap bulir bening mengintip di sudut mata Bima. Hatinya terenyuh. Ia ingin menghibur, tetapi lidahnya kelu. Otaknya tumpul, tak mampu menemukan kalimat yang tepat.

Tiba-tiba Bima bangkit duduk. Dengan gerakan kilat, ia mengusap sudut mata seolah malu bila Ray tahu. Lalu, ia menatap Ray dengan binar jenaka. "Ayo, lomba lari! Yang kalah, besok pagi harus mendorong kursi Winarni keliling kompleks."

Ray melompat berdiri. "Siapa takut? Lariku lebih kencang daripada kau."

"Oh ya? Kali ini, aku nggak akan mengalah. Hari ini, aku yang akan menang!" tukas Bima.

"Tidak-ho! Lihat saja."

Ray berjongkok, mengambil posisi start. Bima segera menyusul di samping kanannya. Aba-aba 'bersedia, siap, ya!' memelesatkan keduanya bagai anak panah lepas dari busur.

Langit penuh gemintang malam itu menjadi saksi dua remaja yang berpacu sekuat tenaga diiringi keringat dan gelak tawa.

Ray tersenyum memandang wajah-wajah belia mereka berdua yang penuh keringat di dalam ponselnya. Foto ketika mereka berusia 15 tahun itu masih tersimpan hingga sekarang. Lengkap dengan detail kenangan dalam memorinya. Lomba lari kala itu, entah untuk memperebutkan apa. Mungkin juga hanya sekadar melepaskan beban yang mengimpit jiwa. Saat itu, kaki-kaki mereka berderap menginjak rerumputan. Yang satu berusaha mengalahkan yang lain.

Dua puluh empat tahun, usia mereka kini. Namun, persaingan seolah tak pernah berhenti. Abadi.

***

"Tangerang Selatan, Bim. Tes kerja selanjutnya training di Tangsel. Aku harus berangkat hari ini."

Ray melemparkan kemeja putih ke ranjang, hingga pakaian dari kain katun tersebut teronggok tanpa seni kerapian. Lantas, dengan serampangan, lelaki itu menarik keluar celana hitam dari lemari dan melemparkannya ke tumpukan kecil di atas tempat tidur, disusul dua kaus oblong putih yang ikut melayang. Sementara itu, ia tetap menjepit ponsel hitamnya menggunakan bahu dan kepala.

"Gimana rasanya jadi guru SMA, Bim?" tanyanya, lalu diam mendengarkan beberapa pengalaman Bima di sekolah melalui speaker. "Wih, mantap, Man. Doakan aku diterima di PT Rajawali ini, ya."

Setelah sesi saling mendoakan, sambungan jarak jauh itu ditutup. Ray membuka lebar ransel besarnya, meraih sehelai pakaian yang terletak paling atas dari gunungan kecil di ranjang, melipat dengan cara menggulung dan memasukkannya ke ransel.

Oke, kali ini dia mengaku kalah dari Bima. Senyum miring tersungging di bibir Ray.

Bima telah diterima bekerja di SMA favorit, sedangkan ia masih luntang-lantung dengan status pengangguran.

Ck, memalukan.

Iri?

Tentu saja tidak.
Tak ada kata tercela itu dalam kamusnya.

Hmm, baiklah.
Ada perasaan itu sedikit.
Namun ... ia tidak boleh iri. Bukankah Bima juga tak pernah membiarkan dirinya menyimpan rasa iri atas keberuntungan yang Ray peroleh?

***

"Langit Arrayan!"

Wanita paruh baya bertubuh tambun itu melafalkan keras-keras nama yang tertera di fotokopi KTP yang ia pegang. Matanya yang sipit meneliti baris demi baris tulisan di kartu persegi panjang di tangan. Kepala gemuknya manggut-manggut. "Jadi, Mas Langit mau kos tiga bulan di sini?"

"Iya, Bu," jawab Ray, seraya menahan tawa melihat rol rambut ibu tambun itu melambai-lambai seirama dengan anggukan kepalanya.

"Kok cuma tiga bulan mau ngapain, Mas?" Bu Tambun mengangkat mata sipitnya dari KTP dan menatap Ray penuh selidik. Mungkin si ibu mengantisipasi kemungkinan teroris yang ingin bersembunyi di rumah indekosnya.

"Saya ada training kerja selama tiga bulan, Bu. Kantor pusat PT Rajawali berada di Tangerang selatan. Saya trainee dari cabang Madiun."

"Ah, PT Rajawali. Iya, saya tahu." Wanita dalam kostum daster bunga-bunga itu menjentikkan jari, lalu mengembangkan senyum yang kian menghilangkan matanya yang segaris, terlihat puas dengan hasil interogasinya. "Kalau begitu, mari ikut saya, Mas Langit. Kamu pakai kamar yang di ujung, ya. Cuma tinggal itu satu-satunya yang sedang kosong."

Wanita itu melangkahkan kaki gemuknya menuju ke bagian samping rumah induk. Ray mengangkat ransel besarnya dan mengikuti sang ibu kos.

Ruangan itu berukuran 3 x 7 meter persegi. Ada sekat yang memisahkan antara kamar dengan dapur mungil dan kamar mandi. Kamar ini lebih tepat bila disebut rumah petak dengan teras kecil di bagian depan. Sudah cukup nyaman. Terlebih bagi bujangan seperti dirinya yang hanya membawa diri sendiri, tanpa anak maupun istri.

Indekos Bu Gendut itu terdiri dari empat rumah petak berderet ke samping, menempel di sisi kiri rumah induk. Tempat Ray terletak paling kiri. Tembok kiri kamarnya menempel dengan rumah tetangga yang berwarna merah bata. Rumah sederhana tanpa pagar. Beberapa pot tanaman hijau berjejer di bagian depan rumah.

Sekilas, Ray melirik ke teras rumah merah bata itu. Tampak seorang pria tua duduk di kursi roda, termangu sendirian. Matanya menerawang dengan wajah tanpa ekspresi. Tak ada senyum di wajah keriput itu. Pun seolah tiada jejak-jejak kebahagiaan.

***

"Tahu dirilah sedikit! Jangan menyusahkan kami terus!"

Teriakan serak seorang wanita menyentakkan Ray dari tidur lelapnya. Lantang dan penuh emosi.

Lelaki itu mengerjap, lalu berbaring diam sambil menoleh ke arah dinding putih di samping kirinya. Dipan kayu dengan kasur kualitas sedang ukuran single yang ia tiduri memang menempel pada dinding kiri kamarnya.

KLONTANG!

Apa itu yang dibanting?

Ray bangun duduk, kemudian menggeser tubuh merapat ke dinding, lalu menempelkan telinga kiri.

"Cepatlah cari kontrakan, lalu pindah dari sini!" Suara wanita tadi makin membahana.

Terdengar ada yang menangis. Suaranya demikian pilu. Penasaran, Ray menajamkan indera pendengaran.

"Tahu diri! Aku tuh capek tiap kali harus bantuin ngurus bapakmu!" Suara wanita serak tadi berteriak lagi.

"Tapi ... kan Senja sudah bayar Mbak Komariyah untuk mengurusi Ayah." Terdengar suara wanita lain yang diiringi isakan. Lebih pelan dari suara teriakan tadi, tetapi masih tertangkap oleh telinga tajam Ray. "Senja nggak bisa ngontrak, Tante. Uangnya sudah untuk bayar Mbak Komariyah." Isakannya makin kentara.

"Tapi si Kokom bego itu dikit-dikit minta bantuanku. Yang bantuin megangin, nanya ini, nanya itu. Tetep aja nyusahin aku! Makanya, pindah sana kalian! Pergi!"

Ray mengerutkan kening.


LANGIT DWI WARNA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang