Kepulan asap nampak terlihat keluar dari mulut Leon, setelah memutuskan untuk bolos dari sekolah. Leon dan Devan memutuskan untuk pergi ke tongkrongan tempat biasa ia kunjungi. Ditemani minuman keras dan semacamnya, Leon dan Devan tampak asik menikmati itu semua.
"Lo yakin nih, nggak akan kena omel bokap lo?" Devan yang duduk di samping Leon mulai membuka suaranya, terkadang Devan bingung dengan sikap Leon. Leon menyalahkan Zein atas meninggalnya mamanya, padahal jelas-jelas itu bukanlah salah papanya.
"Ngapain sih, mikirin tu orang tua bangka!"
Mata Devan membulat ketika mendengar ucapan Leon barusan, ini mah namanya anak durhaka tingkat dewa. "Lo mah sama orang tua jangan gitu, masuk neraka baru tahu rasa, lo!"
"Udahlah ngapain sih jadi bahas tentang neraka-neraka! Emang lo tau aja kalau lo bakal masuk surga, nggak, 'kan?" Leon kembali menyeruput minuman yang ada didepannya, entah sudah berapa botol dia minum.
"Terserah deh, males ngomong sama lo!" Devan mengambil handphonenya dan sibuk dengan benda itu. Daripada dia harus berdebat dengan Leon. Mending dia main game.
Ketika Leon sibuk dengan aktivitasnya, dari kejauhan dapat Leon lihat, ada segerombolan pria berbadan tegap yang sepertinya akan menghampirinya. Leon berdecak kesal, dia bahkan sangat mengenali segerombolan orang itu, mereka adalah para bodyguard papanya. Namun, Leon nampak acuh dan dengan santainya dia kembali menghisap rokoknya.
"Tuan muda." Salah satu atau bisa disebut para pemimpin segerombolan itu memberi hormat pada Leon. Namun Leon hanya acuh dan bersikap seolah-olah tidak ada orang.
Devan? Cowok itu juga bersikap sama dengan Leon. Devan sudah terbiasa dengan situasi seperti ini, sejarah kan Leon anak orang kaya, bokap nya ga lpunya perusahaan dimana-mana. Meski orang tua Devan juga sama-sama kaya seperti bokap Leon tapi orang tua Devan tidak pernah tuh sampai-sampai harus memperkerjakan bodyguard sebanyak ini.
"Tuan muda, mari ikut kami. Tuan besar sudah menunggu dirumah." Pria itu kembali bersuara dan seperti tadi, Leon tidak menyahutinya.
Dengan satu kode pria itu menyuruh bawahannya menyeret Leon. "Tuan muda, jangan paksa kami melakukan kekerasan. Mari ikut kami."
"Eh, apa-apaan sih! Kalian nggak lihat, gue mau seneng-seneng dulu, lepas!"
"Ini perintah, Tuan muda. Ayo ikut, kami."
Leon meronta-ronta mencoba melepaskan pegangan para bodyguard itu namun apalah daya tenaganya tak sebanding dengan mereka.
Leon menoleh kearah Devan. "Dev, tolongin gue, ya elah!" tapi cowok itu hanya menaikkan bahunya pertanda tidak mau ikut campur.
Devan menyunggingkan gigi rapatnya, dari pada harus berurusan dengan papa Leon, Devan memilih tak ikut campur.
"Sorry bro."
"Awas aja ya, lo. Jadi temen, nggak Setia kawan banget!" Leon menunjuk Devan dengan tatapan tajam, sebelum dirinya diseret paksa naik mobil.
"Pelan-pelan, sakit anj*ng!" umpat Leon saat salah satu bodyguard papanya mendorongnya pelan agar masuk mobil.
___________
Leon segera diseret menuju ruang kerja papanya. Leon lihat wajah papanya yang datar menunjukkan kalau pria itu sedang marah sekarang. Tapi Leon tak merasa takut sedikitpun, buat apa dia takut dengan orang yang sudah membuat mamanya meninggal.
Zein menatap tajam putranya, sebenarnya dirinya ingin memarahi Leon tapi mengingat hal itu bisa menambah masalahnya. Zein berusaha bersikap lembut dengan Leon. Harus dengan sifat seperti apa, agar Leon bisa berubah?
Zein segera mendudukkan anaknya di sofa mahalnya. "Kenapa kamu bolos lagi, hm?" tanyanya pada sang anak.
Leon masih tak menghiraukan perkataan papanya, bahkan saat ini segala umpatan sudah terpenuhi dibenak Leon.
Zein mengelus surai anaknya. "Sekarang Papa tanya sekali lagi, apa alasan Leon bolos? Terus kenapa kamu merokok dan minum-minuman keras, kamu tahukan itu semua bahaya bagi kesehatan."
"Buat apa Papa, peduli?" ketus Leon.
"Papa sayang sama kamu, tidak bisakah kau berubah?"
"Nggak! Leon nggak pernah bakal berubah!" Setelah mengatakan itu Leon bangkit dan ingin menuju kamarnya. Namun, suara bariton Zein kembali mengagetkannya.
"LEON!"
Leon berbalik menatap tajam Zein yang seakan ingin mengajak perang. "Kenapa? Apa Papa mulai bosan dengan kelakuan Leon? Kalau Papa bosan yang tinggal buang aja, Leon. Kan gampang!"
"Jaga bicara kamu Leon, kenapa kamu tidak bisa berubah, Papa capek dengan kamu. Apa kamu tidak kasian dengan Mama kamu di atas sana melihat tingkah anaknya seperti sekarang?" Zein menatap lirih putranya.
"Harusnya aku yang bilang gini ke Papa, coba aja papa belain Mama waktu itu. Mungkin sekarang Mama dan Adek masih ada disini!" Leon kemudian langsung berlari meninggalkan papanya sendiri.
"Leon! Leon! Papa belum selesai ngomong!"
Seakan tuli, Leon tak menyahuti panggilan Zein. Dirinya sebenarnya lelah bersikap seperti ini, kenakalan Leon hanya untuk menutupi kesedihan dan kesepiannya selama ini. Tidakkah Zein mengerti bahwa Leon sangat rapuh setelah kepergian mamanya?
"Agrhhhhh, anak itu semakin menjadi-jadi!" teriak Zein penuh amarah
komen dan vote jangan lupa
KAMU SEDANG MEMBACA
L E O N ZAKA DIJAYA (PROSES REVISI)
RandomCover mentahan:@Pinterest Leon itu benci, papanya. Sangat-sangat benci. Apalagi saat lelaki yang berstatus papanya itu menikah lagi dan membawa keluarga barunya untuk tinggal di rumahnya. Meski keluarga barunya itu nampak menerima Leon dengan baik...