Devan berjalan menuju kamar Leon, pemandangan pertama yang dia lihat di sana, Leon masih betah-betahnya menutup matanya dengan keadaan nassal cannula yang masih bertengger rapi di hidung nya. Devan heran, biasanya Leon tidak suka pakai begituan. Apakah se sesak itu dia bernafas? Sampai-sampai dia terpaksa membiarkan benda itu bertengger rapi di hidungnya.
Devan berjalan se-pelan mungkin menuju kasur Leon, dirinya tidak mau membangun kan Leon. Devan ingat betul tadi malam Leon sangat kesakitan. Tapi salahkan Leon sendiri yang bandel.
Devan mengelus pelan surai Leon, meskipun sahabatnya ini terkesan nakal, tapi Devan sangat menyayanginya, Leon juga demikian Leon selalu turun tangan saat Devan diganggu seseorang ataupun jadi bahan bully'an disekolah. Devan itu terkenal penakut berbeda dengan Leon.
"Eerghhh ...." Leon membuka matanya saat merasakan kepalanya dielus lembut oleh seseorang.
"Apaan sih Dev! Jangan-jangan lo suka lagi sama gue," kesal Leon lalu berusaha bangkit menghindari elusan Devan.
"Ternyata kalau sakit, otak lo tambah gesrek ya!" kesal Devan.
"Ya, habisnya sih! Lo kok nggak bangunin gue dulu, udah kayak maling aja! Itu tadi juga, kenapa lo kek cewek lebay banget pake elus-elus kepala gue,"
"Sini deh gue ulang kalau gitu! Gue jitakin aja!"
Leon mendengus kesal. "Ih nggak gitu juga kali!"
"Terus napa lo jadi marah-marah! Pms ya lo?" kekeh Devan.
"Enak aja bilang gue, pms!"
Leon mencoba melepaskan selang nassal cannula yang bertengger di hidungnya tapi dengan cekatan Devan menahannya.
"Nanti sesak, lagi?" ujarnya datar, Devan tidak tahu gimana jalan pikirannya Leon, nafas pemuda itu bahkan masih terdengar berat tapi masih tetap kekeh mau melepas selang nassal cannulanya.
"Udah nggak apa-apa, udah mendingan!" jawab Leon sembari melepas peralatan dokter yang ada ditubuhnya termasuk jarum infus yang menusuk tangannya. Sudah tidak bisa dihitung lagi deh, sudah berapa kali ia melihat Radit mengganti infus Leon tadi malam.
"Ambilin kaca kecil dong Dev, didalam lemari deket lo," perintah Leon pada Devan.
Devan mendecih. "Kek cewek aja lo! Pake nyimpen kaca segala!"
"Fisik itu nomor satu, harus dijaga dan diperhatiin, biar cewek pada deketin nggak kayak lo. Udah penakut, cengeng lagi!" ledek Leon sambil menjulurkan lidahnya.
Devan yang mendengar itu langsung melemparkan kaca yang dia ambil tadi ke kasur Leon. "Sekate-sekate lo! Hobi terus negelede'kin gue, gue tinggal baru tahu rasa lo,"
"Emang lo mau, kemana?" tanya Leon sembari melihat wajahnya yang sedikit merah akibat alerginya.
"Gue mau pindah," jawab Devan lirih.
"Hah yang bener lo! Jangan bohongin gue Dev, nggak lucu tahu nggak!"
"Gue beneran, dan sekarang gue mau pamit sama lo, gue mau pindah ke Inggris ikut Bokap, gue."
"Lah, kok gitu sih, Dev? Klau lo pindah gue gimana? Gue, 'kan nggak punya sahabat lagi," ujar Leon, matanya sekarang sudah berkaca-kaca, dan sebentar lagi mungkin Leon akan menangis.
"Ya mau gimana lagi, gue nggak mungkin tinggal disini sendiri," jawabnya dengan wajah yang terlihat begitu sedih.
"Lo mah nggak asik! Jadi lo beneran mau pindah?" tanyanya terdengar lirih, suaranya berubah jadi serak karena menahan tangis.
Devan yang sudah tak tahan melihat wajah Leon, sontak langsung berusaha menahan tawanya. "Iya, gue mau pindah," jawab Devan sambil senyum-senyum.
"Ah, bangs*t! Lo bohongin gue ternyata!" Leon langsung melempari Devan dengan bantal yang berada di kasur king sizenya.
"Emang enak, wlekk! Siapa suruh ngatain gue cengeng, liat kan siapa yang cengeng sekarang," jawab Devan sambil berlari-lari menghindari kejaran Leon.
"Emang dasar ya lo! Sana pindah sana! Gue nggak peduli!" teriaknya tapi setelah itu dia berhenti sambil memegang dadanya. Nafasnya ngos-ngosan, dadanya naik turun akibat terlalu memaksakan diri mengejar Devan.
Devan memberhentikan aksi larinya saat melihat Leon yang sedang terduduk dilantai sambil memegang dadanya. Bukankah anak itu masih sakit? Tapi tetap keras kepala lari-larian.
"Yon, lo nggak apa-apa, 'kan?" tanya Devan sembari memegang bahu Leon dari belakang.
Leon tersenyum jail lalu berbalik menangkap badan Devan, dan terjadilah aksi guling-gulingan diantara mereka.
"Leon! Geli ... lepas nggak! Hhhaaaaaa, lepas nggak geli Leon, ya Allah! Hahahah," Leon tersenyum senang saat bisa membalas kelakuan Devan padanya tadi. Leon masih betah-betahnya memeluk tubuh Devan sambil menggelitiki pemuda berbadan agak pendek itu.
Devan yang mempunya badan agak kecil dari Leon hanya bisa pasrah, mau melepaskannya juga tidak bisa karena badan Leon yang bongsornya minta ampun.
"Lepas nggak! Hahahah kalau nggak dilepas gue pergi, beneran!" ancam Devan.
"Siapa suruh lo ngerjain gue, sekarang kalau lo mau pergi ke Inggris, ke Linggis kek gue nggak peduli!"
"Jahat lo sama temen sendiri,"
Ting!
Leon memberhentikan aksinya saat mendengar suara notif dari Hp Devan, tangan Leon beringsut mengambil Hp Devan, pemuda itu langsung penasaran dengan pesan yang masuk barusan.
"Eh, gue nggak ngijinin lo buka Hp, gue!" Devan ingin merampas Hpnya tapi ditahan oleh tangan Leon satunya.
Raut wajah Leon berubah kala melihat pesan yang ada di Hp Devan, Leon lantas menoleh kearah Devan dengan tatapan penuh pertanyaan.
"Jawab gue, Dev, udah berapa kali dia ngirim ancaman kek gini?"
"Apaan sih Leon, ancaman apa? Gue nggak ngerti."
"Lo nggak bisa bohong sama gue Dev, lo itu sahabat gue, harusnya kalau lo ada masalah lo cerita ke gue. Bukan kek gini, dipendem sendirian."
"Dan lagi ... udah berapa banyak duit lo, yang lo kasih sama dia?"
Devan terdiam. "Jawab gue Devan?!" bentak Leon. Leon tidak mengerti dengan Devan, masalah sebesar ini dia tidak pernah bilang padanya.
"Gue nggak mau lo terluka, Dion itu berbahaya," jawab Devan pasrah saat Leon mengintimidasinya.
"Alah, si cunguk Dion itu nggak ada apa-apanya sama gue!"
"Sekarang lo kirim pesen sama dia, bilang temui gue ditempat biasa kita," tambahnya lagi.
"Tapi, entar ketahuan bokap ama, Abang lo,"
"Alah gue nggak peduli, sekarang lo bantuin gue supaya bisa keluar dari sini." ujar Leon kemudian bangkit menyusun strategi agar ia bisa keluar dari kamarnya tanpa sepengetahuan keluarganya bisa gawat kalau ketahuan apalagi sampai Zein tahu.
----
Jika ada typo diharapkan kasih tahu letak typonya guy's
KAMU SEDANG MEMBACA
L E O N ZAKA DIJAYA (PROSES REVISI)
De TodoCover mentahan:@Pinterest Leon itu benci, papanya. Sangat-sangat benci. Apalagi saat lelaki yang berstatus papanya itu menikah lagi dan membawa keluarga barunya untuk tinggal di rumahnya. Meski keluarga barunya itu nampak menerima Leon dengan baik...