Lelehan air mata Leon tak henti-hentinya mengalir kala mengingat semua perkataan keluarganya. Apakah sekarang semua orang tidak pernah mengharapkan dia hidup? Apakah hidup nya memang tidak berarti lagi buat, Zein?
Entahlah memikirkan semua itu, membuat hati Leon terasa sakit, hingga ingatannya kembali kepada kejadian dulu, dimana dia selalu diperhatikan Zein dan juga keluarga barunya. Anggap saja Leon menyesal, baru kali ini Leon menyesal, menyesal kenapa baru sekarang ia menyadari bahwa dia sangat membutuhkan mereka, mereka semua.
Leon berjalan pelan menuju rumahnya, jujur ia tidak tahu lagi harus pergi kemana, Leon pikir Zein hanya mengancamnya. Tidak mungkin ia akan mengusirnya, apakah ada seorang ayah yang tega mengusir anak kandungnya sendiri?
Brakkk!
Leon mendongak, menatap seseorang gang kini tengah melemparkan sebuah tas, yang diyakini itu adalah tas milik, Leon. Dapat dengan jelas Leon lihat, Rina sekarang sedang bersidekap dada sembari memberikan tatapan sinis padanya. Apa sekarang neneknya itu benar-benar mau mengusirnya.
"Aku kira kamu nggak akan kembali lagi kesini, ternyata kamu masih berani ya menginjakkan kaki dirumah ini!" teriak Rina sambil menarik kencang rambut Leon.
"Arghh ... am--ampun Nek, shhh, sa-sakit, lepas!" Leon menahan tangan Rina yang kini sudah menarik kuat rambutnya.
"hahhahaaa, aku suka melihat mu menderita anak sialan! Dari dulu saya tidak pernah menyukai Zein menikahi Mama kamu, apalagi saat kamu hadir, kehadiran kamu membuat saya tambah membenci kamu," ujar Rina sambil tertawa penuh kemenangan. Dirumah mereka sekarang sedang tidak orang, Zein dan yang lainnya masih berada dirumah sakit, entah separah apa kondisi Bryan sekarang, Leon dapat mengingat dengan jelas, tubuh Bryan dihantam kuat oleh sebuah mobil yang awalnya ingin menabraknya.
"Nek, sakit ... lepas," lirih Leon lemah, pemuda itu nampak terlihat pucat, apalagi saat ini perut nya terasa sakit.
"Sekarang kamu pergi dari sini, saya sudah bilang, 'kan sama kamu, jangan pernah kembali ke rumah ini!"
"Saya tidak pernah punya cucu seperti kamu!" tambah Rina lagi.
"Tapi Nek, kalau Leon pergi, Leon tinggal dimana?"
"Saya tidak peduli, sekarang kamu pergi dari sini, bawa semua barang-barang kamu!"
"Leon bakal pergi, tapi Leon mau ambil foto Mama dulu. Bolehkan, Nek?"
Rina tersenyum kecut. "Oh iya ya, wanita pelac*ur itu ketinggalan, tunggu disini. Dan jangan pernah masuk."
setelah Rina masuk, Leon menatap nanar tas yang telah dilempar Rina tadi, bukankah baju Leon banyak, tapi Rina hanya memasukkan baju-baju Leon sedikit, dan satu lagi, baju yang Rina masukkan ke tasnya itu, itu adalah baju lama Leon dan sudah lama tidak ia pakai. Apa mungkin Rina memang sengaja?
Pranggggg!
Lamunan Leon tersadar saat pecahan kaca sudah berhamburan di depan matanya. Hati Leon kembali terasa sesak, butiran liquid itu jatuh begitu deras membasahi pipi Leon. Bingkai foto Mamanya kini sudah berserakan dilantai akibat dilempar oleh Rina.
Wanita yang ada dihadapannya ini benar-benar kejam, tidak bisakah dia memberikan foto mendiang Mamanya secara baik-baik?
Leon mendongak menatap tajam wanita bau tanah yang ada didepannya itu. Tapi Leon tidak begitu memperdulikan wanita iblis itu, yang terpenting sekarang, dia harus menyelamatkan foto mendiang Mamanya, Leon ingat betul siapa orang yang telah memberikan Leon bingkai itu, orang nya adalah Zein, tapi Leon seakan-akan tidak peduli, biar saja bingkai itu hancur yang terpenting foto Mamanya terselamatkan.
Leon meraba secara asal foto Mamanya membiarkan semua pecahan kaca itu menusuk kulitnya. Benar-benar sakit, tapi tidak sesakit atas semua perlakuan keluarga Zein padanya. Mungkin ini hang dirasakan Mamanya dulu, sangat wajar sekali, jika Mamanya lebih memilih bunuh diri daripada bertahan dan akan lebih sakit hati lagi.
"Arghhhh, shh ... ber-berhenti." Leon meringis saat beberapa pecahan kaca itu menusuk telapak tangannya lebih dalam. Leon mendongak menatap Rina dengan tatapan sendu. Pecahan kaca itu tidak akan sampai menusuk nya lebih dalam kalau Rina tidak menginjak tangannya.
"Kenapa, hah? Mau marah?! Mama kamu itu perlu diperlakukan seperti ini!" Rina bertambah kencang menginjak foto Zara, tapi sekuat tenaga pula Leon melindungi foto Mamanya itu agar sedikitpun tidak tergores, tapi semua sudah terjadi, foto mendiang Zara kini sudah berlumuran darah Leon.
"Aku mohon, kau boleh membenciku, tapi jangan pernah membenci Mamaku!" persetan dengan sopan santun, Leon sekarang tidak memanggil Rina dengan sebutan Nenek lagi.
"Sekarang pergi dari sini! Bawa foto pelac*ur itu pergi dari sini!" teriak Rina sambil menendang badan Leon. Entah gila atau apa? Wanita itu benar-benar tidak kasihan melihat wajah pucat Leon.
-------
Leon melangkahkan kakinya dengan tertatih-tatih menyelusuri jalanan kota Jakarta yang terkesan padat. Tanpa menghiraukan tatapan kasihan dari orang-orang Leon berjalan dengan pedenya sambil memeluk erat foto Mamanya yang kini sudah berlumuran darahnya.
Leon menghapus jejak air matanya, mencoba tegar menjalani cobaan tuhan yang kini menimpanya. Apa karena selama ini Leon tidak dengan tuhan, jadi tuhan menghukumnya seperti ini?
"Leon!" Leon menoleh saat seseorang kini menepuk bahunya.
Leon tersenyum hambar ketika seseorang yang ada didepannya ini sudah memberikan tatapan kasihan padanya. Leon menggeleng keras saat kepalanya berdenyut hebat, pusing. Itu yang dirasakan Leon sekarang dan
Brukkk!!
Orang itu langsung menangkap tubuh Leon ketika menyadari Leon sudah tidak dapat mempertahankan kesadarannya.
"Lo harus kuat Le, gue nggak mau kehilangan lo," gumamnya pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
L E O N ZAKA DIJAYA (PROSES REVISI)
DiversosCover mentahan:@Pinterest Leon itu benci, papanya. Sangat-sangat benci. Apalagi saat lelaki yang berstatus papanya itu menikah lagi dan membawa keluarga barunya untuk tinggal di rumahnya. Meski keluarga barunya itu nampak menerima Leon dengan baik...