18. Menyetujui Pernikahan

3.9K 327 7
                                    

"Sekarang Leon makan ya," bujuk Radit pada Leon karena setelah mendengar perkataan Radit, bahwa Zein dan Winda sedang mengurus pernikahan mereka.

"Gue nggak, mau!"

"Tapi Leon, bagaimana kamu bisa sembuh kalau kamu nggak mau makan " Bryan duduk di samping kasur Leon, tangannya bergerak mengelus-elus kepala Leon. Dari dulu dia ingin sekali punya adik dan sekarang akhirnya bisa terwujud ya walaupun Leon bukan adik kandungnya tapi dengan setulus hati Bryan maupun Radit akan menyayanginya.

"Mau gue nggak sembuh, mau gue mati! Itu semua nggak ada urusan ya sama kalian, mending kalian pergi aja deh, muak liat muka kalian!" teriak Leon.

"Ngomongnya yang bener, Leon!" suara Radit begitu datar mampu membuat nyali Leon ciut. Pemuda itu bersikap seolah-olah dia tidak takut padahal sebenarnya Leon sedikit takut dengan Radit. Karena pemuda bernama Radit itu diam-diam tapi menyeramkan.

"Sekarang buka mulutmu ... aaa." Radit ingin menyuapi Leon tapi dengan keras kepalanya anak itu menepisnya kuat. Sendok dan mangkok yang Radit pegang terhempas begitu saja membuatnya makanannya berserakan dilantai.

"Leon!" teriak Zein yang melihat itu, dirinya dan Winda sudah berada diambang pintu, Zein tidak habis pikir dengan Leon. Radit dan Bryan sudah baik peduli dengannya tapi pemuda bernama Leon itu seolah tidak memedulikan kebaikan mereka.

"Pah! Kenapa sih Papa harus nikah lagi? Leon kan nggak mau punya keluarga, apalagi kek, mereka!"

Zein tersenyum lalu mendekati anak kesayangannya yang nakal itu. "Leon kamu nggak boleh gitu, Nak. Bagaimana pun mereka baik lo sama, Leon, terus salahnya dimana? Mereka nggak jahat kok." Zein mencoba membujuk Leon untuk luluh.

"Mereka pura-pura Pa, iya mereka pura-pura doang. Awalnya aja mereka baik, terus kalau udah Leon terima mereka, mereka pasti bakalan ngelunjak, terus porotin hartanya Papa doang, terus Papa bangkrut, Leon belum siap hidup miskin. Zein, termasuk Winda, Radit dan Bryan hanya tersenyum geli, ternyata alasan Leon tidak menerima mereka itu cuman karena takut bangkrut dan jatuh miskin.

"Kamu kok mikirnya ke sana sih, Leon? Kamu tahu nggak Radit itu pemilik Rumah sakit tempat kamu dirawat kemarin, dan itu adalah rumah sakitnya yang baru dan yang kedua, mereka nggak perlu uang Papa karena mereka udah punya banyak, jadi buang pikiran negatif kamu."

Leon hanya menatap wajah Papanya dan berganti menatap Radit, Bryan dan Winda bergantian. Apa dia harua menerima mereka? Apa mereka tidak seperti yang ada dipikiran Leon? Arghh ... memikirkannya saja Leon menjadi stress.

"Tapi ... kalau Papa lebih sayang mereka gimana?" pertanyaan itu keluar begitu saja dibibir Leon, sebenarnya bukan masalah harta yang Leon takutkan tapi Leon takut kalau seandainya mereka benar-benar masuk kedalam kehidupan Leon, Leon akan tersisihkan dan akan menjadi jauh dari Papanya.

"Kamu ngomong apa sih Leon, Papa nggak akan seperti yang kamu katakan."

"Ngomong-ngomong, kamu sayang banget ya sama Papa?" pertanyaan Zein langsung membuat Leon kikuk, betapa malunya dia sekarang didepan semua orang yang ada di kamarnya.

"Ih apaan sih, kok lebay banget!"

"Dek, Dek ... kamu ini lucu banget sih, tadi aja kayak mau nangis takut kasih sayang Papa kebagi." Bryan dengan sengaja mengejek Leon membuat pemuda bernama Leon itu malu setengah mati.

"Mau nangis dari mana? Mata lo rabun ya?"

Bryan hanya tertawa, tidakkah Leon tahu bahwa sekarang sudut matanya sudah berair dikit. Tapi pemuda itu mungkin tidak menyadarinya dan dengan angkuhnya Leon bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

"Karena kamu udah setuju, besok Papa bakal ngadain pesta buat ngerayain pernikahan Papa sama Mama kalian, gimana?"

"Kami setuju banget kok, Pah."

"Emang dajjal, kalian mau seneng-seneng disaat gue sakit." Leon melipat kedua tangannya dan memandang mereka sinis.

"Loh, tadi katanya udah sembuh," ejek Radit.

"Apaan lo Radit, bantah gue mulu kerjaannya."

"Abang Dek, mulai sekarang kamu panggil kami berdua Abang, nggak usah ngebantah kalau ngebantah, motor kesayangan kamu kami jual."

"Ihh! Nggak bisa ya ... gue parang leher kalian berdua kalau nyentuh motor gue, awas aja,"

"Ngerinya, anceman adik kecilku ini." Bryan berulah lagi dengan mencubit keras pipi Leon.

"Udah! Udah! Pokoknya besok udah Papa tentuin, besok Papa akan ngerayain pesta."

"Tapi Pah ... "

"Ada Rendang loh."

"Hah, beneran?" mata Leon langsung berbinar-binar kala Zein bilang ada Rendang, karena dari kecil Leon suka banget sama rendang, semua Rendang pokoknya Leon suka, mau jengkol sekalian.

"Iya, Papa pesen khusus buat Leon."

"Papa the best, pokoknya."

"Sekarang Leon udah, nerima?" pertanyaan Zein mampu membuat atensi Leon tertuju pada pria itu, baru saja dia senang karena ada Rendang, eh malah dirusak moodnya.

"Iya! Iya! Leon bakal terima pernikahan Papa sama Tante Winda tapi Leon belum nerima anak-anaknya."

"Terimakasih Leon, anak Papa ini." Zein langsung memeluk tubuh Leon dengan erat.

"Liat aja Dek, pasti kamu nanti bakal terima Abang ya nggak, Dit?" Bryan mengangkat tangannya untuk bertos ria dengan Radit. Tapi Leon hanya memutar matanya malas seakan enggan melihat kelebayan mereka.

Radit Guys

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Radit Guys

L E O N ZAKA DIJAYA (PROSES REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang