"Gue mau pulang!" teriak Leon pada Zein dan juga Tiga orang yang sedang berada diruang rawatnya. Entah sejak kapan mereka sudah berada di sini, yang jelas saat Leon bangun dari tidurnya. Mata Leon sudah dapat dengan jelas melihat mereka yang sedang terduduk di sofa ruang rawat Leon.
"Kamu belum sembuh Leon, nanti aja ya." bujuk Zein sambil mengelus kepala Leon.
"Benar Leon, kamu belum sembuh. Nanti kalau udah sembuh, baru kamu pulang." Winda juga berusaha membujuk Leon.
Leon memandang sayu Winda, entah kenapa saat melihat sifat ke-Ibuan Winda, Leon jadi rindu dengan mendiang Ibunya. Apalagi saat Winda berada di rumahnya. Pernah saat itu dia melihat Winda sedang memanjakan Radit dan Bryan, Leon sangat iri, iri sekali. Saking irinya Leon selalu bersikap tidak sopan pada mereka dan ingin membuat mereka nggak betah dan merekapun pergi dari rumahnya. Tapi apa? Mereka malah masih mau bertahan. Satu hal dibenak Leon, apa mereka benar-benar peduli padanya?
Leon berdecak kesal, kemauan pulangnya ditolak mentah-mentah oleh Zein dan ketiga setannya. Seketika ide jahil muncul dibenak Leon, dia tersenyum kecut lalu memulai aksinya.
"Pa!" panggil Leon dengan lemah lembut. Zein yang mendengarnya khawatir karena suara Leon berbeda dari pada sebelumnya.
"Ada apa sayang? Ada yang sakit?"
Leon merentangkan tangannya pada Zein. "Gendong," ujar Leon sambil menunjukkan wajah lucunya.
Dahi Zein berkerut. "Emang Leon mau ke mana?"
"Mau jalan-jalan keluar, ke taman rumah sakit," jawab Leon berusaha membujuk Zein agar mau menurutinya.
"Tapi kamu berat Leon, pinggang Papa pasti nggak kuat gendong kamu, kalau mau keluar kan bisa pake kursi roda." bukan Zein tapi Radit yang menjawab. Pemuda itu nampak menunjukkan raut kesal karena permintaan Leon yang aneh-aneh. Dia nggak liat apa? Badannya kan hampir menyamai Papanya.
"Apaan sih, gue mintanya sama Papa gue, bukan sama Lo!" kesal Leon, mulai hari ini Radit adalah musuh utamanya dirumahnya karena pemuda itu selalu saja yang berani menentangnya.
"Udah Radit, pinggang Papa masih kuat kok," jawab Zein, Zein membantu Leon bangun, tubuhnya langsung jongkok ke sisi brankar Leon, dan sudah siap kapanpun Leon minta digendong.
"Pa, biar Radit aja, nanti Papa capek. Kan Papa tadi malem belum sempat istirahat karena nemenin Leon." lagi-lagi Leon berdecak kesal karena Radit dengan kekeh melarang Zein menggendongnya.
"Radit bener, Pa. Biar Radit atau nggak Bryan yang gendong Leon, kita bisa gantian." haduh bertambah satu lagi deh orang yang ingin menghalangi Leon. Kenapa sih Bryan ini? Udah tenang dia diem-diem aja, eh malah ikut-ikutan.
"Leon biar Abang aja ya? Papa kan udah lumayan tua, jadi pinggang Papa pasti nggak kuat," bujuk Radit.
"Apaan sih! Papa gue itu belum tua ya! Enak aja, Papa gue awet muda gini dibilang udah tua, Pa liat tuh calon anak tiri Papa, masak. Ngatain Papa udah tua," omel Leon kesal.
Zein hanya tertawa, tidakkah Leon tahu bahwa Radit berbicara seperti itu hanya karena ingin Leon luluh dan berubah pikiran. Radit berpikir jika dia bicara seperti itu mungkin Leon akan kasihan pada Papanya. Tapi tidak ada yang bisa mencegah keinginan Leon, sekalinya A harus tetap A.
Leon langsung berdiri dan siap-siap menaiki pinggang Leon, infusnya sudah dilepas dari tadi malam tapi karena Zein masih ingin memastikan kesehatan Leon. Zein masih membiarkan anak itu tetap berada dirumah sakit. Leon sudah menaiki pinggang Zein, pemuda itu mencium aroma khas Papanya yang sudah lama tidak ia cium. Dulu, Leon sering memeluk Papanya, tapi semenjak kematian Mamanya. Leon jadi jarang lagi memeluk Papanya itu.
Leon dan Zein mulai keluar tapi sebelum mereka benar-benar keluar meninggalkan Winda dan kedua anaknya, Leon sempat menjulurkan lidahnya pada mereka karena merasa dirinya menang.
Leon dan Zein berjalan mengitari taman rumah sakit, banyak mata yang menatap mereka tapi Leon dan Zein tidak peduli. Ini juga momen yang langkah bagi mereka, jadi mereka dengan senang menikmati momen mereka itu.
Zein sesekali menghela nafas berat, jujur badan Leon memang sedikit berat. Ternyata anaknya sudah tumbuh besar sekarang. Leon yang merasa helaan lelah nafas Papanya pun merasa tidak enak, jika dipikir-pikir sikap Leon ini benar-benar kekanak-kanakan, tapi bukan Leon namanya jika Zein belum merasakan balasan atas perbuatannya.
"Pah! Berhenti!"
"Kenapa?"
"Nggak apa-apa, aku mau duduk aja di kursi taman itu."
Leon menunjuk salah satu kursi taman rumah sakit, Zein langsung mengikuti arah tunjuk Leon. Dirinya menoleh sebentar kebelakang ke wajah Leon sambil tersenyum. Dengan langkah yang begitu besar, Zein menyetujui kehendak Leon.
"Pah ... Leon haus."
"Kamu haus? Sebentar Papa ambil minum dulu diruang rawat kamu, tapi jangan-jangan pergi dari sini." Leon langsung mengangguk menyetujui permintaan Papanya itu.
Setelah melihat badan Papanya yang sudah mulai agak menjauh, Leon langsung beringsut dari tempat duduknya, saatnya dirinya kabur dari neraka jahanam ini. Leon melangkahkan kakinya pergi dari rumah sakit dengan masih menggunakan pakaian rumah sakit, Leon pergi menyelusuri setapak jalan. Menghiraukan pandangan orang-orang.
"Maaffin Leon, Pah, Leon bosan di sana," gumam Leon pelan.
----
Setelah mengambil air minum untuk Leon, Zein terkejut saat di kursi taman sudah tidak ada lagi Leon, kemana anak itu pergi? Arghh! Leon berulah lagi? Zein mengedarkan pandangannya menatap setiap inci sudut rumah sakit, siapa tahu mungkin Leon jalan-jalan disekitar sini. Tapi apa? Tidak ada tanda-tanda keberadaan anak itu.
Zein berdecak kesal, "Kemana lagi, anak itu?"
ZEIN
KAMU SEDANG MEMBACA
L E O N ZAKA DIJAYA (PROSES REVISI)
RastgeleCover mentahan:@Pinterest Leon itu benci, papanya. Sangat-sangat benci. Apalagi saat lelaki yang berstatus papanya itu menikah lagi dan membawa keluarga barunya untuk tinggal di rumahnya. Meski keluarga barunya itu nampak menerima Leon dengan baik...