23. kantor polisi

2.9K 320 6
                                    

Leon berdiri di samping Devan dengan wajah datar. Kalau bukan karena Dion memanggil polisi, dia tidak akan berada disini. Leon juga terlihat begitu kesal saat tahu polisi menghubungi Papanya dan memintanya datang ketempat para penjahat dikurung atau lebih tepatnya kantor polisi.

"Saya harap Bapak mendidiknya untuk lebih baik lagi agar dia tidak melakukan hal kejahatan lain," ucapan polisi itu membuat Leon geram.

"Pak! Saya nggak salah! Bapak liat di samping saya ini, dia yang jadi korbannya pak, bukan Dion anj*ng itu!" sarkas Leon tak terima.

"Leon jaga ucapan kamu!" Ucap Zein datar, lagi-lagi dia harus menanggung malu karena anaknya ter kasus penganiyaan yang menyebabkan Dion sampai masuk rumah sakit.

"Pa! Papa percaya kan sama aku, Dion morotin uang Devan Pa, dan Papa tahu? Dion ngancem Devan kalau Devan nggak kasih uang ke Dion, dia akan nyelakain Leon, Papa percaya, 'kan?"

"Kita bicarakan dirumah." Leon berdecak kesal saat melihat ekspresi Zein yang sepertinya sama sekali tidak percaya dengan yang ia ucapkan.

"Terimakasih pak, maaf telah merepotkan, Bapak." Zein berterima kasih pada polisi itu, kalau saja Zein bukan orang yang berpengaruh di kota Jakarta, mungkin Leon akan ditahan di sel tahanan.

Zein keluar sambil menarik tangan Leon, diikuti juga dengan Devan yang dibelakangnya. Pria itu berjalan tanpa menghiraukan tatapan dari orang-orang. Ayolah siapa yang tidak mengenal Zein, semua orang tahu Zein. Dan untuk pertama kalinya Zein harus menginjakkan kakinya ditempat ini, ingat pertama kali dan ini semua karena ulah Leon.

Diparkiran Leon memberhentikan langkahnya guna meminta penjelasan dari Zein.

"Pah! Berhenti, jadi Papa nggak percaya sama Leon?" kesal Leon sambil menghempaskan tangan Zein.

"Ayolah, bukti apa yang mau kau tunjukkan agar Papa percaya?" tanya Zein datar.

"Kalau Papa nggak percaya tanya aja sama Devan, uang jajan Devan habis karena Dion, Pa! Harusnya Papa tadi tegas dong, tuntut kek si Dion itu, cemen banget sih!"

"Ayolah Leon, untuk apa kamu berurusan dengan anak berandal bernama Dion itu, lebih baik kau jauhi saja dia."

"Ish, kesel banget sih sama Papa! Kalau gitu ganti uang Devan 10 Miliar! Tanggung jawab karena Papa malah ngelepasin Dion, ditambah lagi lebih milih ganti rugi sama Dion, harusnya tuh Dion yang ganti rugi! Ini malah aku!" Leon melotot kearah Zein lalu beralih menatap Devan, sebenarnya Leon juga kesal sama Devan karena anak itu sedari tadi hanya diam saja kerjaannya bukan bantuin kek kasih penjelasan ke Zein.

"Ya udah Devan, mana nomor rekening kamu."

Lagi-lagi Leon berdecak karena Papanya ini nggak protes sama sekali, dikira uang segitu dikit apa. "Pah! Kesel ih sama Papa!"

"Kamu ini kenapa sih, kan nyuruh Papa ganti rugi ke Devan, ini Papa mau ganti rugi "

"Terserah Papa, deh."

"Devan, mana nomor rekening kamu?"

"Nggak usah kok Om, aku udah ikhlasin kok uangnya diambil sama Dion," jawab Devan tak enak.

Leon memutar kedua bola matanya malas, saat mendengar percakapan dua manusia didepannya ini. Tidakkah Zein tahu bahwa Leon hanya mengada-ada meminta ganti rugi dengan uang sebesar itu, tapi itu tidak ada apa-apa sebenarnya bagi Zein. Yang Leon inginkan sebenarnya adalah Papanya protes dan menuntut kembali Dion tapi pria itu malah memilih menyelesaikan masalah dengan mengganti uang Devan.

"Udah siniin, mau dinaikin 1 triliun juga nggak Papa." dengan terpaksa Devan memberikan nomor rekeningnya, lumayan lah buat jajan pikirnya, walaupun tidak enak juga sih, tapi mau bagaimana lagi, orang Zein yang memaksa.

"Sekarang kalian pulang, ayo naik mobil. Kamu juga Leon pake kabur segala, Papa borgol baru tahu rasa." Zein langsung mendorong tubuh Leon dan Devan masuk ke mobil, dua anak remaja ini mampu membuat kepala Zein pusing, nakalnya minta ampun.

"Ih, sadis bener sama anak! Disumpahin jadi batu baru tahu rasa!" cibir Leon.

"Papa denger lo."

"Bodo amat!"

-----------

Leon melangkahkan kakinya pelan memasuki rumahnya, Leon meninggalkan Zein yang masih sibuk ngurusin mobilnya, lagaknya saja orang kaya tapi pria itu takut sekali kalau mobil nya lecet dikit. tubuh Leon benar-benar lelah. Serasa tak bertenaga tapi Leon langsung menghela nafas berat saat melihat Winda dan kedua anaknya sedang duduk di sofa, pasti mereka akan menanyai Leon.

"Leon kamu tidak terluka, 'kan?" tanya Winda seraya mendekati Leon, wanita itu langsung mengecek seluruh badan Leon memastikan kalau anak itu baik-baik saja.

"Kalau mau keluar, nunggu sehat dulu Dek, jangan main kabur aja, Abang rela bolos kuliah pas denger kamu kabur, dan lagi kami hampir jantungan tahu nggak, denger kamu katanya ditangkep polisi."

Leon mendecih saat mendengar ucapan Bryan yang terkesan lebay di pendengarannya.

"Gue nggak nyuruh lo bolos, jangan lebay deh," ketus Leon memandang sinis ketiga orang yang ada dihadapannya ini.

"Adek Abang ini kalau dibilangin ngeyel banget sih." Radit dengan gemas mencubit hidung Leon.

"Udah Bryan, Radit biarin Leon istirahat dulu, sekarang kamu ke kamar ya Nak, bersih-bersih habis itu makan ke bawah,"

"Hem." Leon berjalan melewati ruang tamu tapi atensinya langsung teralihkan saat melihat dua koper tergeletak diruang tamu mereka, siapa yang datang pikirnya? Leon mengedarkan pandangannya mencari orang baru tapi tidak ada.

"Koper siapa, nih?" tanya Leon sambil menendang-nendang nya pelan, lebih tepatnya kakinya menggeser-geser dua koper itu.

"Jangan ditendang-tendang dong Leon, itu punya Kakek sama Nenek kamu, Mama baru inget Mama lupa nyuruh pelayan naroknya ke kamar mereka."

"Mereka dimana? tumben, nggak disini? Biasanya nyari kesalahan terus."

"Mereka istirahat habisnya capek kata mereka," jawab Radit enteng, Radit dan Bryan memang belum terbiasa memanggil kedua orang tua Zein dengan sebutan Kakek Nenek.

"Oh, ada capek nya juga mereka, pasti bentar lagi mati mereka," gumam Leon pelan seraya meninggalkan Winda dan kedua anaknya.

Leon tidak akan pernah lupa sama kejadian dulu, orang tua Zein adalah penyebab utama dari semua kesedihannya. Kenapa juga mereka harus datang kesini? Nambah beban nya saja. Leon sangat benci Kakek, Neneknya.

L E O N ZAKA DIJAYA (PROSES REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang