28. Disudutkan

3.9K 363 27
                                    

Leon bangun jam sepuluh malam karena merasa perutnya sakit. Padahal baru jam Sembilan ia tidur, tapi sekarang sudah terbangun karena merasa lapar. Aneh, tumben nggak ada orang rumah yang nyuruhnya makan. Biasanya ada salah satu dari mereka yang mengingatkan Leon untuk makan malam. Ayolah Leon kenapa kau jadi berharap seperti itu.

Leon keluar menuju ruang makan, untung saja masih ada beberapa pelayan yang belum tidur, jadi Leon bisa menyuruh mereka menyiapkan makan malamnya.

"Bi, siapin makanan Leon ya Bi." Perintah Leon dengan ramah, semua pelayan pun sangat menyukai keramahan Leon. Mereka dulunya tak menyangka jika Leon bisa berubah-ubah sikap, tergantung lawan bicara.

"Oh iya ya, Aden belum makan, maaf ya Den, Bibi lupa." Leon hanya bisa tersenyum melihat tingkah pelayan nya itu.

"Oh iya, Aden kok nggak diajak sih sama Tuan dan Nyonya?" tanya salah satu mereka.

"Emang mereka pada kemana?" tanya Leon sambil tersenyum ketika pelayan itu menghidangkan makanannya.

"Mereka ke rumah sakit, Den Radit kan sakit, emang mereka nggak pamit dulu sama Aden?"

Leon menggeleng, toh percuma juga mereka pamit sama Leon, Leon nggak bakal peduli. "Emang separah itu sampai-sampai dibawa ke rumah sakit?"

"Katanya demam Den Radit tinggi, itulah mengapa tuan bawa Den Radit ke rumah sakit."

"Ibu sama Ayah Papa, juga ikut mereka?"

"Iya semua nya ikut."

"Bagus, berarti mereka nggak nganggep keberadaan Leon." jujur Leon kecewa tapi mau bagaimana lagi, toh gitu faktanya, Zein itu selalu berada dibawah bayang-bayang kedua orang tuanya jadi jangan aneh kalau Zein mau saja menuruti permintaan orang tuanya, sekalinya pun akan mengusir Leon dari rumahnya.

-------

Jam 12 malam Leon berjalan menyusuri koridor rumah sakit, kalau bukan karena rasa bersalah yang menjalar di hatinya, Leon tidak mau menemui Radit.

"Gimana keadaan  Radit?" semua orang mendongak saat suara Leon menyapa mereka.

"Pake tanya segala lagi, ini semua gara-gara kamu! Kamu yang bikin Radit jadi sakit!" bentakan Rina membuat nyali Leon ciut, apalagi semua orang kini tengah menatap mereka sama seolah-olah menyalahkan Leon semua.

"Maaf," ujar Leon pelan, sekuat mungkin Leon akan menahan semua rasa sakit yang neneknya torehkan padanya.

"Maaf kamu nggak berguna, sekarang semua sudah terjadi, kamu nggak bisa bikin Radit sehat lagi." Zein hanya diam saja melihat Leon dimarahi, tidak ada niat sedikitpun untuk membela Leon, Zein sepertinya sibuk dengan lamunannya.

"Sekarang anda mau apa? Saya kesini untuk meminta maaf, tapi kenapa Anda marah-marah! Disini yang cucu anda itu saya bukan mereka." Leon menunjuk Bryan  kesal.

"Saya nggak sudi punya cucu seperti kamu!" ucap Rina sinis.

"Saya juga nggak akan sudi punya nenek seperti, Anda!"

Plakkk!

Zein menampar Leon dengan keras. Membuat cetakan merah itu kini membekas di pipinya. Mata Leon berkaca-kaca saat Zein tega menampar nya.

"Kau ini memang anakkurang ajar, Leon!" marah Zein.

Leon tersenyum kecut. "Leon kurang ajar itu semua karena kalian, ternyata ucapan maaf Leon tidak berguna sama sekali, jadi buat apa Leon minta maaf, saya permisi!" Leon beranjak pergi, kenapa juga ia harus kesini kalau penolakan dan bentakan yang ia terima.

"Bryan, kejar Leon. Entah apa yang akan anak itu lakukan sekarang, dan kau Zein. Kau benar-benar keterlaluan," marah Bima tak terima kalau Zein menampar cucunya.

"Baik Kek." dengan cepat Bryan mengejar Leon, sebenarnya Bryan tidak marah sedikit pun pada Leon. Ia hanya tak tahu apa yang harus ia lakukan, dia bukan Radit yang berani membela Leon.

------

"Leon pulang!" Bryan menarik tangan Leon menjauh dari jalanan. Karena pemuda itu berjalan sedikit menengah ke jalan, apa pemuda itu mau bunuh diri?

"Lepasin gue! Kenapa lo kesini? Sana pergi temui keluarga lo, bukankah ini yang lo mau, 'kan? Merebut semua milik gue terutama Papa."

"Leon, nggak seperti itu, Abang sayang sama kamu," jawab Bryan lirih, haruskah Leon percaya tatapan sendu dari kakak tirinya itu.

"Bohong! Gue nggak akan percaya sama lo!"

Leon berusaha melepaskan tangan Bryan untuk pergi tapi Bryan dengan kekeh tetap mempertahankan Leon.

"Pulang Leon, Abang nggak mau kamu kenapa-napa."

"Nggak mau! Gue nggak mau!" Leon berhasil melepaskan cekalan Bryan dengan cepat ia pergi, menyebrang jalan tanpa melihat-lihat terlebih dahulu.

Tinn!

Tinn!

Brakkk!

L E O N ZAKA DIJAYA (PROSES REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang