24

410 52 1
                                    

Jangan lupa vote, comment ya 🥰

"Ra."

"Hm?"

"Apa gak sebaiknya lo ralat perkataan lo tadi?"

Tanya Sunghoon pada Ara. Yang di tanya hanya diam saja sambil menatap keluar jendela café.

Setelah meng iya kan soal perjodohan, Sunghoon mengajak Ara keluar sebentar untuk membahas masalah itu. Dan disini lah mereka sekarang.

"Aku serius kok sama perkataan aku."

Jawab Ara setelah menatap Sunghoon beberapa saat. Ara tidak tahu apa yang sebenarnya ada di pikiran Sunghoon. Ekspresi laki-laki itu sangat sulit untuk dibaca.

"Atau sebenernya kamu keberatan aku nerima perjodohan kita?"

Tanya Ara pada Sunghoon. Yang di tanya hanya bisa menggeleng. Tak bisa ia pungkiri, ia senang di jodohkan dengan Ara, gadis yang notabene ia suka.

"Gue suka sama lo, Ra. Sejak awal pertemuan kita."

Ara menatap Sunghoon.

"Karena aku mirip Areum? Iya?"

Ara tersenyum masam. Lagi-lagi Sunghoon menggeleng.

"Lo beda, Ra. Lo sama Areum beda."

"Maksud kamu?"

"Lo Ara. Bukan Areum. Ada hal yang nge beda in lo sama Areum, tapi hal itu gak bisa di jelasin pake kata-kata. Gue semakin yakin gue suka sama Ara dan bukannya Areum sejak lo berontak dan marah dengan segala kebohongan Jay. Areum gak mungkin bisa lakuin itu."

"Memangnya kenapa?"

"Dia gak sekuat lo, Ra."

Ara tersenyum kecil.

"Meski gitu, gue tau kalo ini salah. Gak seharusnya elo nerima perjodohan kita."

Ara menatap Sunghoon seakan meminta penjelasan laki-laki itu.

"Kenapa? Kamu pasti seneng kan, di jodohin sama cewek yang kamu suka?"

"Bukan hal yang tepat kalo elo memutuskan sesuatu di saat emosi. Yang ada, elo malah bakalan nyesel karena udah buat keputusan itu. Karena di saat emosi, seseorang cenderung lebih gegabah."

Ara mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Jay tulus, Ra. Waktu lo hilang selama 2 minggu, dia adalah orang yang paling stres. Buat masalah Kak Eun Seok juga itu bukan salah Jay. Sebelum meninggal, Kak Eun Seok bilang sama gue, dia mau kita bilang dia meninggal karena kecelakaan. Karena itu keluarganya gak ada yang tau."

Sunghoon menarik nafasnya dalam. Setelahnya, ia menarik rambutnya ke belakang dan membuang nafasnya.

"Gue cinta sama lo, Ra. Tapi, balik lagi sama hukum alam. Perasaan gak bisa di paksain. Lo gak bisa kabur dari masalah lo gitu aja dan nerima perjodohan ini. Kalo lo milih itu, lo salah. Lo malah jadiin gue sebagai pelampiasan. Lo gak bisa bohong in perasaan lo sendiri. Jay butuh lo dan elo pun butuh dia. Bahkan dari awal pun Areum ditakdirkan sama Jay bukan sama gue. Tapi dengan egoisnya Areum melawan kenyataan itu cuman demi bahagia in orang yang udah rawat dia dan semua berakhir kayak gini."

Ara menatap Sunghoon dengan mata yang mulai berair.

"Percaya sama gue kali ini aja. Jay tulus. Dia butuh lo sekarang."

🌠🌠🌠

Untuk kesekian kalinya Ara mengetuk pintu rumah Jay. Tetapi tidak ada yang membukakan pintu itu.

"Gak diangkat, Ra."

Kata Sunghoon yang sejak tadi mencoba untuk menelepon Jay.

"Minggir, Ra. Biar aku dobrak aja."

Ara langsung minggir dari posisinya. Sedangkan Sunghoon, ia bersiap-siap untuk mendobrak pintu rumah Jay.

Brakk

Pintu rumah Jay berhasil terbuka. Ara dan Sunghoon sama-sama mematung sekarang. Rumah Jay terlihat begitu berantakan, terasa sangat sepi dan suram.

"Orang tua Jay kemana?"

"Orang tuanya ada di Amerika 2 minggu ini. Kakek Jay sakit."

"Pembantunya?"

"Cuti. Pembantunya pulang ke Busan. Anak nya mau nikah."

Ara segera berlari menuju kamar Jay. Sesampainya di kamar Jay, Ara dibuat lebih kaget lagi. Kamar Jay yang biasanya bersih, harum, dan rapi terlihat seperti kapal pecah. Botol minuman keras ada dimana-mana. Begitu pula dengan pecahan kaca yang Ara yakini dari cermin di kamar Jay. Semua barang Jay juga berserakan.

"Jay!"

Seru Ara. Jay tergeletak tak sadarkan diri di lantai kamarnya. Sunghoon yang menunggu di luar rumah Jay langsung menghampiri Ara begitu mendengar perempuan itu berseru.

"Jay! Sadar Jay!"

Ara meletakkan kepala Jay dipangkuannya. Ia menepuk pelan pipi Jay.

"Ra, kita harus bawa Jay ke rumah sakit."

Ara menatap Sunghoon yang ada di ambang pintu dengan mata yang mulai berair. Ia mengangguk setelahnya. Tangan Ara gemetar dan tubuhnya terasa lemas seketika. Apa yang sudah ia lakukan?

Seharusnya Ara bisa menjauhkan Jay dari segala macam bahaya yang bisa saja menimpa laki-laki itu. Tapi tanpa sadar, Ara malah semakin mendekatkan Jay dengan bahaya. Bayangkan jika Sunghoon tidak membujuknya. Entah bagaimana keadaan Jay sekarang.

"Ra! Kok malah diem? Ayo, Jay udah di mobil gue."

Ara gelagapan mendengar seruan Sunghoon barusan. Setelah beberapa saat, ia tersadar dan segera berlari keluar rumah. Ia memasuki mobil Sunghoon.

"Ra, jangan duduk depan. Lo di belakang aja. Jaga in Jay."

Setelah menimbang sedikit lama, akhirnya Ara mengangguk patuh. Ia duduk di kursi belakan dan ia gunakan kedua pahanya sebagai tumpuan kepala Jay.

Tangannya tak henti-hentinya menggenggam tangan Jay dan juga mengelus pelan pipi Jay yang terlihat lebih tirus. Seakan dengan berhenti melakukan itu, Jay bisa mati.

Ara ingin sekali menangis. Tapi ia tidak bisa. Ia tidak mampu lagi menangis karena Jay. Bahkan di saat Jay sekarat seperti sekarang.

Sebenarnya, tanpa Ara tahu, Jay sering sekali mengkonsumsi minuman keras di saat ia tertekan. Terlihat saat Ara menghilang selama 2 minggu. Minuman keras selalu menjadi teman Jay.

Laki-laki itu juga sering menyakiti dirinya sendiri. Ara bisa melihat bekas luka yang sangat banyak di tangan Jay. Saat itu Jay berpikiran, bahwa dengan terus melakukan hal itu, ia juga akan bisa merasakan sakit yang Ara rasakan.

Ara merutuki dirinya sendiri. Ia sudah keterlaluan. Gadis itu menyesal. Sejak awal ia sudah salah langkah ternyata. Seharusnya ia mau mendengarkan cerita dari sisi Jay dan tidak mengabaikan laki-laki itu.

Jay sudah kesepian bahkan semakin terlihat kesepian karena Ara yang pergi secara tiba-tiba. Ara tidak tahu apa lagi yang harus ia perbuat. Jika sampai sesuatu yang buruk menimpa Jay, Ara tak akan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri.

"Jangan salah in diri lo, Ra. Ini bukan salah lo."

Seakan tahu apa yang Ara pikirkan, Sunghoon membuka suara masih dengan fokusnya yang tertuju pada jalanan.

"Kalo aja aku gak kasar sama Jay, mau dengerin dia, semua gak bakal kayak gini."

Suara Ara terdengar bergetar karena ia menahan isakannya.

"Ini bukan salah lo. Jangan salah in diri sendiri. Ini keputusan yang Jay buat sendiri. Oke?"

Ara mengangguk ragu. Ia hanya bisa berdoa semoga Jay baik-baik saja sekarang.

🌠🌠🌠

Hope you like it guys 💙🥺🦅

Before The Happy Ending || Jay EnhypenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang