62. Heartbeat

1.7K 190 2
                                    

"Kau selalu berhasil membuatku jatuh cinta dengan senyuman itu." jawab Rachel dengan mengedipkan sebelah matanya.

Astaga! Jantungku kembali berdegup, dan wajahku terasa panas.

"Hey, sweety! Apakah kau akan mengijinkan kami untuk ikut masuk?"

Aku menoleh ke arah mobil.

Laura melongokkan kepalanya dan melambai padaku.

Aku tersenyum dan mengangguk.

"I miss you..." ujarku kemudian.

.

.

.

Aku tidak henti-hentinya memandang Mama, Papa, dan Rachel secara bergantian di dalam ruangan yang mulai terasa hangat di kulitku ini. Di sini, aku duduk dengan keadaan seolah tengah dalam penghakiman atas kasus kejahatan yang telah kulakukan.

Mama dan Papa menatap Rachel dari ujung rambutnya hingga ujung kaki. Seolah tengah menganalisis sebuah barang bukti kejahatan dengan teliti. Rachel yang duduk tepat di depan kedua orang tuaku bersikap seolah semuanya baik-baik saja. Pandangannya justru tertuju pada wajah Papa dan Mama, bahkan sesekali diselingi dengan senyuman. Aku tidak mengerti, apakah dia sedang menarik simpati Papa dan Mama, atau dia memang merasa tidak ada yang salah.

Astaga! Aku rasa, jika aku yang ada di posisi itu, bahkan untuk sekedar mengangkat wajah saja aku tidak mampu, sungguh.

"So, you're Rachel." Ujar Papa setelah cukup lama memperhatikan Rachel.

"Yes, Sir." Jawab Rachel dengan mantap dan sedikit tersenyum.

Astaga! Anak ini benar-benar bermental keras.

"Julia, Papa mau bicara dengan teman kamu ini." ujar Papa kemudian padaku.

Aku mengerti maksud Papa, itu artinya Papa hanya ingin bicara secara pribadi dengan Rachel.

Aku bangkit, lalu memandang Mikky dan Laura.

"Kalian ingin minum sesuatu?" ujarku berusaha mengurangi rasa canggung yang sedari tadi menyelimutiku. It's really awkward and weird, dude!

"Julia, let me help you."

Aku memandang Laura.

"Uh—yeah.. Sure..." jawabku dengan mengembangkan senyum yang sesungguhnya sangat tidak perlu, karena aku yakin pasti ekspresiku menjadi sangat aneh.

.

.

.

"Apakah setiap Ayah di Asia memang seperti itu?" tanya Laura setelah kami mendaratkan kaki di dapur.

Aku memandangnya.

"Tidak. Hanya saja, orang tuaku menjagaku lebih dari yang kau tahu." Jawabku datar.

Laura diam dan memandangku.

"Apakah Rikky membuatnya marah?" ujar Laura pelan.

Aku memandang wajahnya dengan kulit putih yang memerah pada bagian pipinya.

"Entahlah. Aku hanya berharap semua ini cepat selesai." Jawabku dengan tertunduk dan memainkan sendok yang tidak bersalah di tanganku.

Aku merasa seperti tidak bisa mengeluarkan suaraku lebih tinggi dari ini. Kurasa Laura justru mendengarnya seperti sebuah bisikan.

Aku terkejut karena tiba-tiba saja Laura memegang pundakku.

My Sweet LotusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang