Julia's POV
3 years later
"Hallo? Julia here, can I help you?"
"Good morning, Ms. Julia. I'm Quinn from the Koala Foster Home Association. We want to publish a documentary for this season. I wonder that your company will sign the contract." Ujar seorang wanita dari ujung telepon yang baru saja tersambung.
"Is it about the Koala's life?" tanyaku memastikan tentang tawaran project yang dimaksud olehnya.
"Yes. Apakah Anda tertarik? Kami akan menyediakan segala hal yang Anda butuhkan dalam project ini." jawabnya lagi.
Baiklah, tentu saja aku akan menerima project ini. Koala? You must be kidding me! Aku sangat suka si tukang tidur itu.
"Okay. Just send your delegation to my office."
"Alright. Thank you for your time, Ms. Julia."
Panggilan berakhir dan aku kembali menyandarkan punggungku pada sebuah kursi dengan sandaran yang cukup empuk.
Oh, well... Ini sudah cukup lama sejak aku kembali lagi dari Indonesia. Aku melanjutkan kuliahku yang sempat kutinggalkan selama beberapa bulan kala itu. Uhm, I lost my scholarship, btw. Aku tidak punya pilihan selain membiayai kuliahku secara mandiri. Baiklah, Rachel yang menanggulangi segalanya. Aku merasa seperti anaknya saja. LOL.
Rachel membiayai kuliahku, memenuhi kebutuhan dan keinginanku, dan memanjakanku dengan berlibur ke alam, memberikan seekor rakun untuk kupelihara, and take me for shopping every 2 weeks. Ah, satu hal lagi, dia juga memasak makanan enak untukku setiap hari. Perfect. Bahkan saat di rumah orang tuaku dulu, aku tidak diperlakukan seistimewa ini. Maksudku, sepertinya aku diperlakukan secara berlebihan di sini. Aku tidak tahu alasan apa yang melatar belakangi Rachel melakukan hal itu. But one thing, she's still with her 'rough' habit that tortured me in bed, also in the bathroom—even at every corner of the home that we live in. Alright, that's cool. Aku bahkan sudah terbiasa dengan hal itu. Meskipun Rachel semakin menaikkan level 'kekejaman'-nya setiap saat.
Aku melirik ke sudut meja kerjaku. Foto Papa dan Mama dalam sebuah bingkai dan menjadi penghuni tetap meja berwarna hitam yang selalu menemaniku di saat aku menjalankan bisnis yang kubangun bersama Rachel. Ah, bukan—bisnis yang didirikan oleh Rachel untukku. >,<
Baiklah, Rachel memiliki beberapa bisnis. Dua di antara bisnis miliknya masih tetap sama, band yang dulu membesarkan namanya—sekarang Rachel adalah manager band itu. Lalu cafe Dandelion yang masih terus bertambah besar dengan menu utama yang baru ditambahkan Rachel setahun belakangan—Lotus Pasta with Asian spices. Baiklah, jangan tanyakan padaku kenapa namanya terdengar aneh begitu. Itu sepenuhnya adalah ide miliknya.
Dan bisnis yang kukelola? Ini lebih seperti wadah bagi Rachel untuk menyalurkan passion-nya saat kuliah jenjang Master dulu. Baiklah, jika kalian menanyakan apa yang kulakukan dan bagaimana tugasku? Aku hanya bermain dengan sebuah pena untuk menggores kertas tanda persetujuan kontrak. She made me as the CEO! Ya benar, Rachel memang gila.
Hell! Aku tidak suka bekerja seperti ini. Jadi aku meminta Rachel agar mengijinkanku turun ke lapangan sebagai sutradara. Dan bisa ditebak responnya akan seperti apa. Rachel menolak mentah-mentah keinginanku. Sebagai gantinya, dia menawarkan sebuah project film yang bisa kukelola dengan kekuasaan mutlak, aku juga bisa berperan sebagai kameramen, sutradara—apapun yang kumau. Dan project ini memang menggambarkan sifat sintingnya yang maniak. Project ini mengambil tema kehidupan ranjang kami, and our daily life.
Baiklah, Rachel tetaplah Rachel. Dia tidak akan suka jika aku menyamai posisinya. Dan aku harus tetap patuh pada aturannya. Apapun itu. Baiklah, makhluk seksi ini sudah mengambil semua yang kumiliki. My heart, and all of my body—for sure.
Aku mengambil bingkai foto orang tuaku. Menatap senyuman Papa dan Mama. Aku merindukan mereka. Padahal ini baru sebulan. Orang tuaku datang ke sini karena Rachel mengadakan pesta hari jadi Cafe Dandelion.
Ah, bicara soal orang tuaku, aku jadi teringat soal lamaran Rachel padaku saat dia datang ke Indonesia tiga tahun lalu. Aku tersenyum geli mengingat hal itu. Rachel menanyakan perihal pernikahan itu padaku beberapa kali ketika kami baru kembali ke Sydney setelah dia menjemputku. Aku menolak lamarannya. Menurutku, pernikahan bukanlah sebuah tanda ketulusan akan kasih sayang seseorang. Aku mengenal Rachel, aku memahaminya, dna aku tahu bagaimana perasaannya padaku. Jadi, menikah atau tidak, bagiku tidak akan ada yang berubah.
Because for me, perfect love is not the grand wedding, but spending a lifetime together in the holy loyalty.
Rachel tidak mau sepenuhnya menerima pendapatku. Akhirnya aku harus mengalah dan mengambil jalan tengah. Rachel memintaku memakai cincin yang sudah dia siapkan untuk pernikahan kami.Dan dia tidak mengijinkanku untuk melepas cincin itu. I think that it's really sweet. Fine, I'll accept that.
Aku kembali terbayang angan-anganku di masa lalu ketika aku baru saja tiba di kampusku. "Cowok imut dan ganteng?" LOL. Kurasa yang ingin kucari adalah cewek keren dan bisa melindungiku.
Ah, aku juga terbayang tentang waktu-waktu di mana aku memulai semua ini bersama Rachel. "Aku tidak pernah menyangka bahwa takdir akan membawaku padanya. Entah bagaimana nanti akhir dari perjalanan kami, tapi aku dapat memastikan bahwa aku akan berusaha menjadi yang terbaik untuknya."
Sekarang aku sudah tahu bagaimana akhir dari perjuangankuwaktu itu. Rachel memang dikirimkan dalam kehidupanku. And still, I will keep myself stay the best for her, in any case—any situation... Because Ilove her—Rachel—My Sweet Lotus~
~THE END~
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweet Lotus
Romance°°° ••• COMPLETED ••• °°° "Your daughter belongs with me, Sir." ======================================= Apa jadinya jika seorang gadis straight jatuh hati dan menjadi seorang lesbian karena sikap manis, nakal, dan misterius teman sekamarnya yang ter...