💧Six💧

97 33 16
                                    

Rasanya ingin mati saja,,

Venout memejamkan matanya, lututnya bahkan kini benar benar sudah lemas. Entah sampai mana ia kini berhenti, menjatuhkan diri di tepi aspal basah. Jalan yang hanya dilewati beberapa kendaraan. Ia terduduk, menangis memilukan. Di 16 tahun gadis itu hidup, ia belum pernah merasakan ketentraman, dalam hatinya ia ingin bebas tertawa seperti teman temannya lakukan.

Ia kini memukul mukul dadanya yang bertambah sesak, bukan karena ia memiliki asma atau penyakit pernafasan lainnya. Ia hanya mencoba menetralisir rasa sakit yang semakin mendesak di dadanya, rasa sesak yang sering datang.

Ia rindu pelukan hangat ibunya yang tidak bisa selalu ia rasakan, seorang ibu yang jarang merengkuhnya dengan kasih sayang. Seorang ibu yang bisa merubah sifatnya dengan mudah, tak jarang pula ibu gadis itu memukulinya tanpa sebab.

Sungguh, rasanya ingin menyudahinya saja..

Ia menggigil, rasa dingin ini terasa semakin menusuknya bahkan sampai ke tulangnya. Dan tiba tiba rasa benci pada ayahnya muncul, bagaimana bisa orang tua itu mengatakan itu hanya sebuah kecelakaan, dan bersikap biasa saja setelah itu terjadi?

Cukup, aku.... Lelah, sangat lelahh..

Dan tak berselang lama, gadis itu memejamkan matanya karena silau oleh lampu depan mobil itu berhasil mengusiknya. Memang tak begitu jauh dri tempatnya, namun gadis itu paham jika mobil itu berkecepatan di atas rata rata.
sudut Bibirnya tertarik, ia langsung berdiri dan berlari ke tengah jalan menunggu mobil itu menghantam tubuhnya yang mungil.

Sudah saatnya,,

Ia memejamkan matanya sembari tersenyum kecil, bahkan sampai lampu mobil itu benar benar menyilaukan matanya membuat ia harus merapatkan lagi matanya. Badannya jatuh terhuyung ke belakang bersamaan dengan bunyi decitan nyaring dari rem mobil di depannya.

"Shiit !!"

Seseorang di dalam mobil itu mendengus kasar, tapi tunggu, Venout bisa mendengar umpatan seseorang itu.
Apa dia sudah terpisah dari jasadnya?

Gadis itu perlahan membuka matanya dan masih sama, air hujan itu masih mengguyurnya. Membuat wajahnya tergenangi air hujan. Yang berbeda hanyalah rasa sakit di sekitar punggungnya dan perih di kedua telapak tanggannya. Venout mendudukkan dirinya, ia mendecak, tabrakan ini belum cukup untuk membuatnya mati. Air mata gadis itu kembali tumpah, bahkan gadis itu menangis kencang, meratapi bahwa ia masih merasakan pahitnya dunianya.

Sedetik kemudian ia menahan isakannya saat ia melihat sepasang sepatu berhenti tepat di sampingnya. Ia mendongak menatap seorang laki-laki mengenakan hoodi putih tengah menatapnya tajam.

Xavier, ?

Laki laki itu Xavier yang tak sengaja melewati jalan ini untuk pulang. Badan laki laki itu kini bahkan sudah basah kuyup karena kehujanan.

"Berdiri,,"

Suruhnya dengan nada dinginnya, sedangkan Venout kini mengalihkan pandangannya. Kenapa harus Xavier pemilik mobil itu,

"Lo pergi aja, gue ngga papa. Gue juga ngga bakalan nuntut lo kok, semua ini salah gue."

venout bisa mendengar laki laki itu mendecak,

"Gue bilang berdiri, berdiri !"

Air mata Venout kembali tumpah, bukan karena apapun gadis itu tak mau berdiri, dia hanya binggung caranya berdiri, seluruh tubuhnya sakit. Bahkan untuk dudukpun ia menahan rasa sakit di punggungnya.
Sedetik kemudian Venout menatap sesuatu yang baru saja dilempar oleh Xavier tepat di depannya, setelah mengamatinya sebentar ia tahu kalau itu sebuah pisau lipat. Gadis itu mengernyitkan matanya,

Rain | ArleaVenoutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang