Venout masih saja bungkam, ia belum mau mengatakan sepatah katapun. Sedangkan 3 pasang mata masih dengan sabar menanti Venout untuk bercerita.
"Kak Queen, Zey mau ganti baju dulu ya. Kak Queen nggak boleh nangis lagi loh.."
Venout mendongak menatap adiknya yang kini berdiri di depannya, sedetik kemudian Venout mengangguk lalu tersenyum tipis, sangat tipis. Lalu dengan langkah riang seperti tidak ada yang terjadi, Zeyra melangkahkan kaki kecilnya menuju lantai dua kamarnya.
"Kalo lo nggak siap cerita ke kita nggak papa Ven, mungkin itu prifasi lo."
Ujar Sheyla yang dibalas tatapan sayu dari Venout.
"Gue nggak tahu, gue nggak pernah cerita apapun ke orang lain. Rasanya,,,"
Venout menghembuskan nafasnya kasar.
Ia kini menatap ujung sneakers putihnya.
"Orang tua gue nikah karena suatu kesalahan, tanpa cinta, yang akhirnya berimbas sampai sekarang. Mereka sering berantem, dan bokap gue seakan cuma jadiin nyokap pemuas,"
Venout semakin memperdalam tundukannya berusaha menyembunyikan matanya yang kini memanas. Jujur saja, gadis itu sangat sensitif dengan pembahasan keluarga. Atta beranjak mendekat ke Venout lalu mengelus punggung gadis itu.
"Kenapa lo nyimpulin kalo nyokap lo cuma dibuat pemuas?"
Pertanyaan Sheyla langsung mendapat sikutan dari Arnantha yang tepat di sampingnya.
"Nyokap gue hamil diluar nikah karena suatu kesalahan, dan itu membuat gue dan Zeyra juga terkena imbasnya. Ayah mana yang bahkan anaknya sendiri dilecehin,"
Bersamaan dengan melirihnya suara Venout, 3 pasang mata itu membelalak lebar.
"Jadi lo,,"
"Belum, tapi itu berhasil bikin gue trauma,"
Venout menekuk lututnya lalu memeluknya, dia tak memperdulikan sepatu yang bahkan belum ia lepas itu mengenai sofa putih yang didudukinya.
Dan tanpa disadari 3 otak sedang berpikir keras, berpikir kemungkinan dari imbas sifat yang dimiliki Venout sekarang.
"Gue berhasil lari waktu itu, dan akhirnya gue kecelakaan yang sialnya gue nggak berhasil mati waktu itu juga.."
Penjelasan Venout membuat lainnya hanya bisa saling menatap miris, Venout menahan mati-matian isakan tangisnya. Tidak, ia tidak ingin menangis di depan orang lain lagi.
"Terus, dimana kakak lo Ven,?"
"Dia kuliah di inggris, orang tua gue nggak ngijinin kita komunikasi, karena bahkan nyokap bokap nganggep kakak gue anak pembawa sial."
Venout semakin memperdalam tundukannya pada kedua lututnya. Sedangkan lainnya terlihat kehabisan kata kata. Tak tahu apa yang harus mereka katakan,
"Kalian boleh pergi, gue sadar diri gue siapa."
Lirih Venout lagi, membuat tiga temannya semakin merapatkan duduk mereka.
"Ven, temenan itu nggak ada penyelisihannya. Mau lo anak pidana atau anak apa lah, temenan nggak liat materi. Ven, jangan segan segan sama kita. Nggak semua orang sempurna."
Ujar Atta yang diangguki 2 lainnya, perlahan Venout mendongakkan kepalanya, memperlihatkan mata sembabnya.
"Thanks,"
________________
Pukul 08.30,
Venout menghela nafas, lalu sedetik kemudian ia menguap untuk kesekian kalinya. Matanya panas padahal pelajaran pertama baru saja selesai. Venout sudah menduga kalau akhirnya ia akan mengantuk di kelas, tadi malam ia baru saja tidur pukul satu. Sungguh, Venout kesal saat mempersiapkan buku untuk hari ini, ternyata tugas biologi yang harus dikerjakan kelompok itu dikumpulkan pertemuan yang akan datang, dan pertemuan itu hari ini.
Dan mau tidak mau, Venout mengerjakan tugas itu sendirian, sebenarnya tidak susah untuk mengerjakannya, tapi karena pola tugasnya cukup rumit, ia harus bolak balik menelpon Atta untuk memberinya petunjuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain | ArleaVenout
Storie d'amore'Kita ke dokter ya Ven,' 'Lo butuh penanganan Ven.' 'Trauma lo juga belum sembuh, kita ke dokter ya. Gue temenin sampe selesai.' Kalimat itu terus terngiang-ngiang di pikirannya, membuat ia merasa bahwa beban pikirannya sudah melebihi batas wajar...
