1: BUKAN GADIS KUAT (REVISI)

394 43 52
                                    

Warning!!!

Banyak kata kasar, tidak baik untuk ditiru.

...


Sial sial sial!

Nisa nampak menendang batu kerikil yang berada di tempat ia berpijak. Kini ia tengah berada di taman belakang sekolahnya. Di sana hanya ada beberapa murid yang tengah beristirahat atau bahkan makan bersama temannya.

"Gue benci lo, Daffi anjing!"

Hai, gue Daffi.

Eh? Hai, Daffi. Gue Nasa.

"Sialan! Enyah lo dari pikiran gue!" Pekik Nisa sambil memukul-mukul kepalanya sendiri dengan kedua tangannya. "Gue benci lo!" Sambungnya lagi masih dengan tangan yang setia memukuli kepalanya sendiri.

"Sa! Nisa!"

Tersadar dengan apa yang tengah ia lakukan, Nisa lantas menoleh ke sumber suara yang memanggilnya barusan. "Alpi?" Nisa berhamburan memeluk Alpi dengan erat, bahunya mulai bergetar menandakan bahwa kini ia tengah menangis.

"Hei, jangan nangis." Pinta Alpi dengan suara berat nan lembutnya. "Jangan nyakitin diri lo sendiri, Sa. Gue gak suka lo kaya barusan." Sambungnya lagi.

Enggan menjawab, Nisa semakin mempererat pelukannya. Ia sendiri bingung bagian mana yang kini tengah ia tangisi, air matanya turun begitu saja tanpa dikomando. Tak banyak yang memperhatikan mereka, namun ada segelintir orang yang memandang mereka penuh rasa ingin tahu. Mengapa primadona SMA Kala Mardja ini menangis? Dan ada hubungan apa antara sang primadona sekolah dengan Alpi yang pamornya di Sekolah ialah sang most wanted boy.

"Lo liat gue berantem sama Daffi, kan?" Tanya Alpi.

Nisa melepaskan pelukannya dengan kepala yang menunduk. Ia berpikir bahwa tidak seharusnya ia memperlihatkan sisi lemahnya di tempat ini. Tidak boleh ada yang tahu bahwa ia adalah sosok yang lemah.

Kepala Nisa menengadah untuk menatap Alpi yang berdiri tinggi menjulang dihadapannya. "Kenapa berantem lagi?" Tanya Nisa pada akhirnya.

"Nyerah aja, Sa." Ujar Alpi spontan. Nisa lantas menatap Alpi dengan tajam. "Gue gak mau lo semakin rapuh, Nisa. Please, dengerin gue kali ini." Lirih Alpi menatap dalam mata Nisa.

Nisa menundukan kepalanya dalam-dalam, menahan setiap rasa sesak yang ia pendam kuat-kuat. Berharap buliran air mata tak jatuh lagi. Ia tak mau terlihat lemah dihadapan orang lain, cukup hanya dia yang tahu sudah seberapa banyak air mata yang ia keluarkan tiap malam.

Menanggung rasa sesak seorang diri dengan dekapan sepi atmosfer rumah megahnya. Ya, Nisa sebatang kara. Hidup sebatang kara dalam pahit pedihnya dunia. Untuk tidur pun ia harus mengkonsumsi obat tidur dulu.

"Nisa, please."

Bukannya menanggapi ucapan Alpi barusan, ia malah menghindarinya. "Lo kenapa berantem sama Daffi lagi? Apalagi penyebab lo berdua berantem?" Tanyanya.

"Itu karena-

"Woy!"

"Ya ampun kalian dicariin malah beduaan disini! Bagus-bagus, udah jadian belom?!" Dengan muka tanpa dosanya, Yunita dan Ayu menghampiri dua manusia yang tengah berada dalam mode serius. "Ih, kalian berdua natep kitanya begitu amat dah." Sambung Yunita.

"Tau nih, pada kenapa sih? Jadi kepo gue. Lo nangis, Sa?" Timpal Ayu bertanya diujung kalimat.

Nisa memejamkan matanya kuat-kuat menahan rasa kesal yang hampir tumpah ruah. Entah mengapa di saat pikirannya seperti ini, emosinya begitu naik turun. Jika saja ia tidak dapat mengendalikan emosinya dengan baik, bisa dipastikan kehadiran Yunita juga Ayu dan suara berisiknya akan membuat mereka berdua sakit hati karena ucapan pedas dari luapan emosi seorang Nisa.

Alpi pun menggelengkan kepalanya frustasi dengan tingkah cewek-cewek gila ini. "Lo berdua bisa pergi dulu gak? Gue mau ngomong penting sama dia, anjing." Kata Alpi ikut kesal.

"Lo ngusir gue?! Heh, emang ini tempat punya nenek moyang lo?!" Sungut Yunita yang mulai sebal dengan nada bicara pria dihadapannya ini.

"Yang lain nungguin kalian berdua buat makan bareng di kantin, makanya kita berdua nyari lo pada." Ucap Ayu dengan serius lalu melenggang pergi menarik Yunita yang masih mencak-mencak karena sikap Alpi yang sekarang ini tengah menyebalkan di matanya.

Ayu merasa situasi antara Nisa dan Alpi kini memang benar-benar serius ada yang sedang mereka bicarakan. Maka dari itu, ia langsung melenggang pergi setelah mengatakan hal tadi.

"Jadi karena apa?"

"Gue berantem sama Daffi karena dia ngincer elo, Sa." Kata Alpi. "Si brengsek itu! Parahnya lagi, dia tau rahasia besar tentang lo." Sambungnya lagi.

Nisa menegang seketika. Jantungnya berdetak dengan sangat kencang. Tidak. Cukup hanya Alpi yang boleh mengetahui rahasia tentangnya. Tak boleh sampai orang lain tau.

"Alpi." Lirih Nisa.

Sudah cukup! Pertahanannya kembali runtuh, air matanya sudah luruh. Luka yang selama ini Nisa coba untuk sembuhkan, namun nyatanya sampai saat ini pun masih menghujamnya begitu sakit.

"Al-Alpi, gue takut." Ujarnya lagi sambil menahan isakannya.

Alpi lantas membawa Nisa ke dalam dekapannya. "Nangis aja, Nis. Gue tau lo gak sekuat itu." Katanya.

"Kenapa Tuhan ngasih rasa sakit kaya gini, Pi? Gue capek, rasanya gue pengen mati aja!" Nisa terus memukul dadanya dengan kuat, berharap rasa sesaknya sedikit berkurang.

Tuhan, hamba lelah.

"Jangan ngomong gitu! Gue yakin lo bisa sembuhin semua rasa sakit elo, Nisa."

Sebenernya ada satu fakta lagi yang mungkin bakal buat lo makin hancur, Nis.

Alpi menatap sendu Nisa. Gadis periang yang mampu menutup semua rasa sakitnya dengan senyuman manis dan hangatnya. Tanpa pernah sekali pun menampakan rasa sakitnya di depan orang lain.

...

NISATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang