Sudah 3 bulan lamanya Nisa enggan untuk membuka matanya. Alat pendeteksi detak jantung menjadi teman berbicara El dikeheningan ruang rawat Nisa. Masih dengan setia ia berharap Nisa akan segera membuka kelopak matanya itu.
"Sa, bangun yuk. Kita liat senja lagi." Ucap El pelan sambil mengusap rambut Nisa. "Diluar senjanya indah lo, Sa." Sambungnya lagi.
"Kapan kamu mau bangun, Sa?" El mengecup punggung tangan Nisa. Tangan yang dingin dan pucat. "Banyak yang nunggu kamu bangun, Nisa. Terutama Nenek."
"Nenek sangat sayang sama kamu, Nenek pengen kamu pulang ke rumahnya, Nisa."
"Aku, temen-temen kamu, kita semua nungguin kamu bangun."
"Aku gak kuat liat kamu kaya gini, Sa. Andai aja aku bisa gantiin kamu. Biar aku aja yang sakit, kamu bangun ya. Kamu harus sembuh."
"Aku rela mati, asalkan kamu tetap hidup dan bahagia."
Lagi-lagi El harus tetap bersabar menantikan tangan Nisa bergerak dengan sendirinya, menantikan kelopak mata Nisa terbuka secara perlahan dengan sendirinya. Ia sangat menunggu waktu itu tiba, waktu ketika Nisa bisa terbangun dan melewati masa komanya.
Ceklek
"Ngab, lo makan dulu mending." Ucap Daniel dengan santainya sambil memasuki ruangan tersebut diikuti Ethan.
El hanya melirik sekilas Daniel dan Ethan yang duduk di sofa. Matanya kembali terfokus pada wajah pucat Nisa. Jika saja ia bisa bertukar posisi dengan Nisa, ia rela, asalkan Nisa tidak sakit seperti ini.
Daniel dan Ethan pun dapat merasakan betapa besar dan tulusnya rasa cinta El untuk Nisa. Tatapan mata El yang menggambarkan semuanya. Ada sorot terluka di sana ketika dengan sabarnya ia menanti pacarnya itu terbangun.
"Mau kemana lo?" Tanya Daniel pada Ethan yang bangkit dari duduknya.
"Toilet. Ikut?"
"Idih, ogah. Ngapain juga gue liatin elu boker!"
"Serah."
"Galak amat mas." Ethan pun tanpa mengindahkan ucapan Daniel langsung keluar ruangan. "Sarap tu bocah." Umpat Daniel.
"Niel, gue titip Nisa."
"Oke siap. Mau kemana lo?"
"Rumah Nenek."
"Balik ke sini lagi sekalian gue titip seblak yak."
"Gilak lo."
"Cowok makan seblak emang gila bukan?" Tanya Daniel dengan mengangkat sebelah alisnya.
El pun memutar bola matanya dengan malas. "Oke, kalo gak lupa."
"Jangan lupa nyet, pedes ye. Puseng pala gue." Kata Daniel sambil memegangi kepalanya bergaya bak orang sedang pusing kepala. El pun hanya melirik sekilas dan langsung melenggang pergi.
"Ye ilah, orang-orang pada kenapa dah?" Tanya Daniel pada dirinya sendiri. "Ninis, woy! Lu kaga mau bangun apa? Orang-orang makin pada sableng kalo lu ngebo terus gini anjing." Celoteh Daniel sambil menghampiri Nisa dan duduk di kursi yang tadi diduduki oleh El.
"Lu kaga mau bangun apa woy! Si El udah kek mayat idup tau, masa lu tetep kaga mau bangun. Kebo banget jadi orang. Gue tau lu tu denger omongan gue ini, makanya mending lu bangun dah nyet. Gak kesian apa ke temen-temen elu, apalagi gue yang ganteng ini. Rajin-rajin gue jengukin lu nih sama si setan, gak kesian apa woylah."
"Nis, elah. Mau sampe kapan? Cupang-cupang lu di rumah Nenek bisa mati gara-gara gak lu kasih makan, udah 3 bulan tau! Bangun buruan elah, maksa nih. Kita nyeblak bareng lagi su! Woy!" Daniel mencak-mencak sambil mengusap air matanya yang terus mendobrak untuk mengalir di pipinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
NISA
Teen Fiction[Sudah tamat & Part lengkap] ✔️ "Gue bakal bantu lo." Daffi tersenyum lebar. Bukan. Bukan senyum bersahabat atau rasa iba, melainkan senyum tampan yang menakutkan si mata Nisa. "Tapi-" "Tapi apa, Daf?!" "Tapi lo harus jadi pacar gue." 'Yang bener aj...