38 - Navillera

570 126 23
                                    

Beberapa hari ini, hujan mengguyur setiap sore. Angin bertiup kencang bahkan dinginnya merambat ke dalam ruangan. Adel duduk di depan jendela kamar, penampilannya acak-acakan, bekas air mata masih membekas di pipinya. Netranya mengamati bagaimana air hujan jatuh menggenangi halaman rumahnya.

Jari-jemarinya terangkat dan mendarat tepat ke permukaan kaca. Embun yang menempel disana menarik perhatiannya. Namun, tangannya tak dapat menyentuhnya. Ingin rasanya dia berlari ke luar rumah untuk merasakan betapa dingin tubuhnya saat ditimpa air hujan.

Namun, itu sebatas keinginannya.

Karena, semua orang dirumah ini melarangnya untuk sekedar keluar. Mereka semua seolah beranggapan bahwa dia ... depresi.

Sudah lewat satu minggu sejak Adrian meninggal. Namun, Adel masih saja meracau tak jelas. Bahkan, dia sempat melakukan bunuh diri.

Rasa kehangatan dalam keluarga ini, seakan terenggut paksa oleh keadaan. Tak ada lagi celotehan-celotahan ramai yang dilontarkan. Tak ada lagi tawa nyaring yang diperdengarkan.

"Adel udah makan??" suara lembut itu memasuki indera pendengarannya.

Adel terdiam. Tak menjawab sama sekali.

Ardan menggigit bibir bawahnya. Hatinya ikut terluka melihat keadaan saudara kembarnya seperti ini. Dia sudah menyerahkan waktunya untuk Adel. Karena dia tahu, jika dia meninggalkan saudarinya sendiri, kehilangan yang akan dia dapatkan.

Seperti tiga hari lalu, saat dia menemukan Adel mengiris nadinya dengan cutter.

"Kakak jangan kayak gini, nggak kasihan sama abang?"

"Adrian. Adrian mana?" gumam Adel. Dia memandang kosong ke arah halaman dengan sesekali air mata mengalir.

Ardan menghela nafas, dia memeluk saudarinya erat. Tak akan dia biarkan Adel jatuh ke dalam lubang kegelapan sendirian. Dia harus bisa menggapai dan membawanya kembali.

"Dia sudah pergi, lepaskan dan ikhlaskan, ya?"

Adel melepaskan pelukannya kasar. Manik hazel-nya menatap tajam Ardan. "NGGAK! KALIAN MEMANG NGGAK PUNYA HATI! ADRIAN NGGAK AKAN PERGI!" bentaknya. Kemudian dia melempar benda-benda yang berada di dekatnya.

prangg

prang

bugghhh

Ardan memegangi kepalanya yang terkena lemparan vas bunga. Darah mulai merembes dari pelipisnya diiringi dengan rasa pusing yang mendera.

"Kalian jahat! Kalian adalah orang paling egois di dunia ini! Kalian yang bunuh Adrian! Kayak kalian yang hampir bunuh aku waktu itu!" teriak Adel.

pukk

Jean memeluk Adel erat. Laki-laki itu menahan sepupunya untuk tak bertindak lebih jauh. Yuan menangis keras melihat kekacauan yang memang sering terjadi belakangan ini. Hatinya semakin sakit, andaikan saja waktu bisa diulang dia ingin memperbaikinya.

"Sudah, Del kamu nggak kasihan sama Mama? Mama sedih melihat kamu kayak gini," ucap Sean.

"Gue nggak peduli, seperti kalian yang nggak peduli sama Adrian. Lagian, apa Mama sama Papa pernah ngertiin aku? Nggak! Papa sama Mama itu sama-sama egois! Kalau nggak ada Ardan di dunia ini ..." Adel menatap tepat ke arah manik sang ibu.

"... aku lebih baik mati," lanjutnya.

PLAKKK

Sean menampar keras pipi sang anak sampai sudut bibirnya terluka mengeluarkan cairan berbau anyir.

"Ad—"

"Kamu diam di situ. Nggak usah ikut campur. Papa cuma ingin Adel menyadari kesalahannya," ucap Sean tegas.

Lots Öf love (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang