Kaki Ariel duduk dikursi urutan pertama ruang kelas. Gadis berlencana Rank C itu melirik sekeliling, melihat beberapa murid Rank A dan Rank B yang bergabung dalam satu ruangan, membentuk kelompoknya sendiri.
Keesokan hari setelah kekacauan yang diperbuat para pemeran utama di kantin keadaan kembali normal, Alardo dan yang lain sama sekali tidak mendapat hukuman meski mereka membuat hampir seluruh penghuni kantin gemetar ketakutan. Malangnya Vivian yang nyaris pingsan berdiri dibawah aura membunuh mereka.
Alardo dan yang lain juga tidak pernah membahas alasan kemarahan mereka setelah kekacauan reda, tapi Ariel tau apapun yang menjadi alasan kemarahan mereka, Vivian sudah melewati batas. Dan esok harinya, mereka bersikap selayaknya tidak pernah terjadi apapun. Seolah tindakan mereka saat itu tidak berpengaruh apapun.
Meski Ariel sudah beberapa kali memperingatkan mereka agar tidak lepas amarah lagi, tetap saja, kemarahan yang meradang para pemeran utama sekaligus membuatnya penasaran. Jangan-jangan Vivian Hariet menyinggung sesuatu yang buruk tentang Isabella dan menarik kemarahan mereka?
Ariel berpikir logis. Masuk akal. Dia kan protagonis wanitanya.
Meski Ariel tetap geleng-geleng kepala mengingat kekacauan yang mereka perbuat dan aura tidak enak yang luar biasa mengancam.
"Apa yang kau lamunkan?"
Ariel sontak menoleh, maniknya berkedip melihat Xhavier duduk di kursi belakangnya.
"Apa yang kau lakukan disini?"
Xhavier mengangkat alis. "Duduk."
Ariel mengernyitkan dahi.
"Aku tau, Xhavier. Maksudku, kau seharusnya berada dikelompokmu," kepala Ariel mencari keberadaan sekelompok murid Rank A yang sedang berbincang. Dia menoleh sekilas. "bersama mereka."
Xhavier terdiam. Dia menyorot gadis itu dalam dengan ekspresi yang sulit Ariel artikan. Wajahnya mencondong beberapa senti sontak membuat Ariel tersentak mundur.
"Apa ada seseorang yang mengganggumu akhir-akhir ini?"
"Eh?" Ariel berkedip tidak mengerti."apa yang kau bicarakan?"
"Jauhkan wajahmu dari adikku, penyihir kurang ajar." Xhavier meringis, Kenneth mencengkeram pundak lelaki itu tidak berperasaan, menjauhkannya dari sang adik.
Xhavier mendengkus. Teman-temannya yang lain berdatangan, mereka seperti tamu tidak diundang yang mendadak mengelilingi dirinya sekarang. Nathael mengambil tempat duduk disamping urutan kedua, menatapnya menelisik dari atas hingga bawah. "Sepertinya tidak ada yang berani berbuat macam-macam padamu."
Alis Ariel terangkat. "Kau bicara apa?"
"Bukan apa-apa."
Nathael meletakkan tangannya diatas kepala gadis itu, menepuknya dua kali membuat dahi Ariel kian berkerut. Nathael kemudian menjauhkan tangannya lebih dulu saat melihat picingan mata Kenneth padanya, sebelum lelaki itu menghempaskan tangannya seperti yang dia lakukan kepada Xhavier.
"Ariel, kau mau puding?" Natasha mengeluarkan puding berkilau rasa coklat dari dalam tas-nya. Ariel mendadak tergiur, sebelum tangannya mengambil alih makanan favorit dari tangan Natasha, Evelyn sudah lebih dulu merebutnya, memasukkannya ke dalam tas dan mencebik.
"Kita berada ditengah kelas, Natasha."
Ariel memberenggut. Alardo yang memperhatikan menoleh pada Evelyn, mengulurkan tangan menuntut. "Kurasa tidak masalah memakan satu puding, Eve. Belum ada Profesor yang datang ke kelas."
Evelyn memutar bola mata. Ariel tersenyum kecil, menerima puding pemberian gadis itu sukacita. Pelajaran kali ini adalah pengendalian elemen sihir, sayangnya Profesor yang akan mengajar belum kunjung datang. Maniknya berkeliaran, menemukan sosok Isabella yang berdiri disudut ruangan, memisahkan diri. Meski sedang diam pun gadis satu itu tetap bersinar terang. Memang kekuatan protagonis wanita itu tidak bisa diremehkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Who Made Me a Villain
Fantasy[SEBAGIAN CHAPTER DI PRIVATE, HARAP FOLLOW SEBELUM MEMBACA] [SUDAH TERBIT] Ariel Marshwan. Antagonis wanita dalam novel percintaan berjudul Love Revolusion yang berujung menjemput ajal karena dosa-dosanya. Dosanya yang pertama, mengganggu protagoni...