Aku kangen kalian heeeii!!! Help!! Kangen banget kicauan kalian di wattpad. Aku berharap banget kalian baca ini. Jangan sepi2 please. Aku suka keributan. Wkwk Btw sebelum baca jangan lupa vote dan komen ya. ♡
2011, SMP Gwaneum, Daegu.
Sinar matahari menembus jendela kaca ruang kelas, menyilaukan namun lelaki salju itu berterima kasih pada semesta sebab cahaya masih bisa menembus bahkan menyentuh permukaan kulitnya.
Setiap hari ia berharap ada kehangatan yang sedikit saja menyentuh hidupnya. Terlalu dingin jika dirasakan sendiri, rumah yang ia pikir menjadi tempat paling nyaman juga hangat, nyatanya malah sebaliknya. Ia bahkan nyaris mati membeku.
Menyenangkan jika masih bisa hidup di bawah sinar yang hangat. Setidaknya tubuh yang membeku itu tidak sedingin kelihatannya jika ia masih bisa bertemu sinar matahari serta merasakan kehangatan.
Hari itu adalah jam pelajaran Seni Rupa. Namun beliau guru seni rupa ingin menghibur para murid kelas delapan. Tepatnya siswa-siswi tahun kedua dibangku sekolah menengah pertama.
Lelaki salju yang masih melayang akan pikirannya sendiri menghela nafas bosan, tidak ada hiburan yang benar-benar menghiburnya sekalipun itu di sekolah. Ia hanya perlu belajar sebagaimana mestinya, bukan mendengar ataupun menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang membuat ia sendiri kesulitan.
"Sa Yoongi,"
Satu kali.
"Yoongi?"
Dua kali.
"Ehm! Sa Yoongi?"
"Ya Bu guru." Sontak anak yang dipanggil berulang kali itu menoleh.
"Baiklah, apa yang ingin kau lakukan ketika dewasa?"
Dapat Yoongi dengar beberapa murid memilih untuk menjawab tanpa memedulikan guru yang lebih fokus pada Yoongi.
Yoongi sendiri memilih untuk melempar pandangannya keluar jendela yang terbuka. Matanya seperti menerawang jauh keluar sana. Ia tidak memiliki jawaban yang tepat di dalam kepalanya dan hanya memilih diam.
Aku tidak ingin melakukan apa pun. Aku hanya ingin ayahku kembali pada kami.
Di waktu yang bersamaan, salah seorang murid laki-laki menyahut acak tanpa memikirkan perasaan orang yang ia sebutkan. "Bu guru, Yoongi akan menjadi pesumo dengan tubuh gendutnya!"
Seluruh siswa dan siswi yang ada di dalam kelas pun menertawakan lelucon konyol tersebut. Namun Yoongi hanya diam dan tak bereaksi apa-apa sama seperti guru mereka.
___
"Oh? Kenapa kau pulang lebih awal? Bukankah kau bekerja sampai larut malam?"
"Ibu lupa?" Wanita yang berusia 43 tahun itu baru saja masuk melepas sepatu di ambang pintu rumah lalu melangkah masuk setelah memakai sandal rumahan.
"Tentang?"
"Hari ini ulang tahun Yoongi. Aku harus menjemputnya sepulang sekolah seperti tahun lalu."
"Oh astaga, Ibu hampir lupa."
"Ibu baru saja melupakannya." Sahut ibu Yoongi.
Wanita 43 tahun tersebut melangkah menuju dapur mengambil segelas air dingin dari dalam lemari es untuk melegakan tenggorokan yang terasa kering.
"Aku tidak memiliki hadiah apa pun untuk diberikan pada Yoongi. Aku hanya berharap dia senang jika aku datang menjemputnya."
"Ibu pikir kau membenci Yoongi." Sahut wanita tua yang kini berada di hadapannya.
Wanita yang dipanggil nenek oleh Yoongi menghampiri putrinya yang telah menjadi seorang ibu tunggal menuju meja makan. Kini mereka duduk berhadapan.
"Tidak benci, hanya ingin melampiaskan kekesalanku karena ayahnya. Karena lelaki itu aku kesulitan membesarkan Yoongi seorang diri." Jelas ibu Yoongi sembari menatap datar permukaan gelas yang ia genggam sedari tadi.
"Tapi Yoongi tidak melakukan kesalahan apa pun. Tolong lebih lembutlah padanya."
___
Angin musim semi bertiup menyapa rambut hingga tubuh Yoongi, pun udara dari musim dingin masih terasa sampai ke permukaan kulit.
Yoongi menarik nafas lalu membuangnya perlahan merasakan ketenangan absolut pada dirinya. Tidak peduli bagaimana teman-temannya berkata buruk tentang bobot tubuhnya. Yoongi hanya perlu diam dan tak melawan karena ia tak ingin meremukkan tubuh teman sekelasnya bila ia meladeni mereka dengan bobot tubuhnya tersebut.
Yoongi tidak memiliki ayah untuk menyelesaikan segala macam perkara, sementara ibu Yoongi harus bekerja sebagai pencari nafkah. Kalau nenek, beliau sudah tua. Perlahan Yoongi menjadi lebih dewasa karena masalah yang menimpa orang tuanya hingga menyebabkan mereka berpisah.
Tak pernah sekalipun ia merespon apa pun yang dikatakan teman-temannya. Hanya saja kali ini, Yoongi ingin melawan dengan tenang.
"Hei gendut!" Panggil salah seorang teman sekelasnya, "Coba kalian bayangkan jika Yoongi memakai celana dalam dan menjadi pesumo, lemaknya pasti akan terlihat dimana-mana." Lima orang teman sekelas Yoongi menertawakannya di pintu gerbang sekolah yang semuanya laki-laki.
Yoongi ingin menikmati angin dan udara musim semi dengan tenang. Biasanya ia masa bodoh tapi kali ini Yoongi merasa terusik.
Apa tidak ada hal yang lebih baik untuk dilakukan selain merisak teman sendiri? Pikir Yoongi.
"Apa yang kau lihat? Kau ingin memukul kami?" Sahut salah satu perisak.
"Tidak."
"Lalu apa? Kau ingin berlagak dengan tubuh gendutmu?"
Mereka kembali tertawa kecuali Yoongi.
"Tentu saja. Aku harus berlagak karena aku orang kaya, aku bisa memakan semua makanan yang tidak bisa kau makan. Tidak sepertimu, tubuhmu kecil karena kau miskin. Sayang sekali, pasti makanmu sedikit karena tidak punya uang."
Kelima anak tadi termangu sembari memandangi punggung Yoongi yang semakin menjauh dari mereka.
Sementara itu seseorang yang berjarak tak jauh dari Yoongi dan lima perisak tadi melihat mereka semua dengan wajah serta mata yang memerah karena menahan diri untuk tidak meledakkan amarahnya detik itu juga.
Anak tidak tahu diri.
___
"Oh? Ibu? Kenapa Ibu di sini? Kenapa Ibu tidak menjemputku? Hari ini aku—"
Ibu Yoongi menoleh dengan tatapan mengintimidasi setelah meneguk segelas soju di tangan kirinya.
Lalu berjalan mendekat ke arah Yoongi yang berdiri stagnan di ambang pintu. Dengan tatapan murka mengintimidasi putranya sendiri, jantung Yoongi nyaris berhenti berdetak saat gelas kaca sebagai penampung alkohol sang ibu, melayang tepat di samping kanan tubuhnya, hancur bertabrakan dengan dinding rumah. Hingga membuat sang nenek yang baru saja tiba sontak terkejut saat itu juga.
"ASTAGA! APA YANG KAU LAKUKAN?!" Nenek dengan air muka panik sekaligus khawatir takut cucu satu-satunya terluka langsung memeriksa tubuh sang cucu, lantas memeluk Yoongi yang hampir menangis. Anak malang itu syok bukan main atas apa yang dilakukan ibunya.
"Anak tidak tahu diri! Berani sekali kau menyombongkan dirimu yang miskin itu!" Baek Eunjung benar-benar di luar batas, beliau tidak bisa menahan gejolak amarah yang menguasai seisi dirinya yang semakin menua termakan penderitaan juga umur yang semakin bertambah. Lalu menampar Yoongi yang terdiam stagnan ketika nenek telah berdiri di samping Yoongi, hingga membuat kulitnya yang seputih salju itu memerah dan panas.
Yoongi menatap ibunya dengan tatapan kecewa serta air mata yang tertampung pada kedua kantung matanya, lalu cairan dengan rasa seperti besi berkarat baru saja menginvasi seisi mulutnya yang kering, sudut bibirnya berdarah.
Saat ini ia tidak bisa mencerna apa pun karena ia sedang merekam dengan baik kejadian tersebut yang selanjutnya akan tertanam rapi di dalam kotak memorinya. Ia merekam kejadian demi kejadian hingga membuat ia berpikir bahwa mungkin ia tidak akan pernah melupakan kejadian hari ini.
"Apa yang kau katakan Baek Eunjung?!" Nenek tidak habis pikir pada apa yang telah merasuki putrinya ini sehingga bersikap kasar pada putranya sendiri, dan main tangan seperti ini.
"Cucu ibu.. cucu ibu yang merepotkan dan tidak tahu diri ini.." Eunjung menunjuk-nunjuk Yoongi yang masih dalam rangkulan sang nenek dengan telunjuk kirinya, "berlagak kepada seluruh teman-temannya bahwa tubuhnya berlemak karena dia bisa makan enak sebab memiliki uang yang banyak. ANAK SIALAN!" Umpat Eunjung seraya berkacak pinggang. Eunjung merasa kesal setengah mati karena berpikir bisa-bisanya Yoongi menyombongkan diri padahal ia banting tulang hanya untuk membesarkan tubuh gendut tak berguna anak itu.
"JAGA UCAPANMU BAEK EUNJUNG!" Sang nenek lantas dengan sigap mengambil vas bunga yang ada di dekatnya lalu beliau lemparkan kepada Eunjung ibu Yoongi hingga membuat wanita itu bergerak untuk melindungi kepalanya. Lalu merasakan nyeri pada lengan kanannya ketika vas bunga itu mengenai tubuhnya.
"KENAPA IBU MELEMPARIKU?!” Protes Eunjung tak terima.
"Sekarang kau berani berteriak pada ibumu?!"
"Nenek..." Yoongi berujar lirih dari belakang tubuh sang nenek agar mereka berhenti bertengkar. Sebab Yoongi sudah merasakan pening hebat menginvasi seluruh isi kepalanya.
"AARGH! Kalian berdua, cucu dan nenek sama-sama tidak tahu diri. Apa kalian lupa bahwa selama ini akulah yang menjadi tulang punggung keluarga?! Sementara kalian berdua bersenang-senang di sini dengan uangku?!" Eunjung tidak bisa menerima semua ini, ia merasa kedua orang yang ada di hadapannya saat ini begitu tidak tahu terima kasih padahal tubuhnya sendiri hampir remuk karena bekerja banting tulang untuk menghidupi mereka.
Merasa terpojokkan nenek lantas meraih kesadarannya dengan menurunkan emosi serta amarah yang juga sama meledaknya dengan putri semata wayangnya tersebut.
Beliau enggan membalas ucapan Eunjung karena memang benar, sejak suaminya tiada dan Eunjung bercerai dengan suaminya. Eunjung-lah yang menjadi tulang punggung keluarga.
Lama terdiam dengan pikiran masing-masing, Eunjung lantas mengutarakan apa yang selama ini ia pendam. Ia telah menahannya sejak Yoongi duduk di bangku sekolah dasar. Tepatnya 4 tahun lalu setelah beliau dan suaminya bercerai. Ia sudah sangat lelah. Ia lelah terus-terusan menjadi tulang punggung keluarga. Ia juga ingin hidup bebas tanpa beban dan bahagia. "Aku muak hidup bersama kalian." Lalu Eunjung melangkah pergi dari tempat ia berdiri.
"Ibu!" Yoongi pun mengejar ibunya yang bergegas masuk ke dalam kamar mengemas beberapa pakaian untuk dimasukkan ke dalam koper.
Yoongi tidak berani mendekat ketika sang ibu memasukkan seluruh pakaian miliknya ke dalam koper sembari berlinang air mata. Dapat Yoongi lihat ibunya begitu menderita dan terluka, ia merasa bersalah karena selalu menjadi beban untuk sang ibu.
"I-ibu, a-apa yang akan ibu lakukan?" Yoongi bertanya dengan sisa keberanian yang ia punya meski hanya berdiri di ambang pintu.
Sang ibu hanya bergeming seolah tak ada satu pun orang yang mengajaknya bicara. Lalu melangkah keluar dengan terburu-buru namun sebelum beliau benar-benar pergi Yoongi sudah merentangkan kedua tangannya untuk menghalangi Eunjung pergi detik itu juga. "Ibu.. jangan pergi.. Maafkan aku.." Ucapnya lirih.
Bagai diciptakan dari batu yang takkan pernah melunak, Eunjung hanya menatap Yoongi sinis lalu mendorong tubuh anak itu tanpa rasa kasih sayang seorang ibu, beliau sudah sangat muak. "Minggir kau anak sialan!" Hingga membuat Yoongi tersungkur lalu kepalanya menghantam permukaan lantai.
Kemudian Eunjung berlari tanpa penyesalan bergegas keluar dari neraka ini.
"IBU!!" Yoongi bangkit setengah pening dengan tubuh berisinya yang terasa nyeri.
"Eunjung-ah... Kumohon jangan tinggalkan kami." Pinta sang ibunda yang berusaha keras menahan putrinya agar tidak pergi.
"Dengar Bu, aku bersumpah tidak akan pernah menemui kalian lagi!" Ucap Eunjung dengan tekad yang kuat sembari berusaha lepas dari cengkeraman ibunya.
"Tidak! Jangan!" Nenek menggelengkan kepala dengan air mata yang mengenang.
Yoongi menyaksikan sendiri bagaimana hidupnya hancur di hari ulang tahunnya. Seharusnya ia tidak perlu dilahirkan jika hanya menjadi beban orang tua dan neneknya.
Nenek pun berlutut memohon agar Eunjung tidak pergi meninggalkan ia dan cucunya. Namun Eunjung sudah dilalap api kemarahan atas hidupnya yang tidak adil dan menderita. Lalu melangkah pergi seolah-olah ini adalah keputusan terbaik.
Yoongi termangu, memori dari kejadian lampau yang membuat ia harus hidup seperti ini terputar jelas di ingatannya seperti film lawas yang diputar ulang saat ayah juga meninggalkan mereka karena berhasil bertemu cinta pertamanya yang membawa beliau beserta seluruh kenangan indah yang mereka miliki bersama menghilang, menyisakan luka mendalam yang hanya bisa Yoongi simpan sendirian. Hidup tanpa ayah itu sulit, dan sekarang menjadi lebih sulit ketika sang ibu juga meninggalkannya seolah ia adalah beban yang amat berat bagi orang tuanya. Hingga Yoongi akhirnya menyadari sebuah fakta bahwa,
Aku ditinggalkan lagi.
___
Seoul, 2017
"Sena-ya!"
"Sena-ya!"
Tidak ada sahutan dari si pemilik nama.
"Shin Sena!"
Merasa dirinya terpanggil, Sena lantas keluar dengan sedikit murka mengaliri setiap sendi dan sekujur tubuhnya. "Wae?! Mwo?!" Ia menghampiri Jungkook yang sedang berdiri tepat di depan lemari pendingin dengan tangan terlipat rapi di depan dada menatap Sena penuh selidik.
"Ke mana susu pisangku?"
"Tidak tahu."
"Apa Ibu tidak memberimu uang saku?!"
"Kau kenapa sih?!"
"Jika kau yang meminumnya akui saja!" Jungkook balik berteriak.
Sena lantas mendengus kesal, "IYA AKU YANG MINUM. Kenapa? Kau mau aku mengeluarkannya lagi? Sini tanganmu." Lalu sena menarik kedua tangan Jungkook seperti hendak memuntahkan sesuatu dari mulutnya.
"Aiissh! YAK! Dasar perempuan jorok!" Jungkook lantas mendorong kepala sena agar menjauh darinya. Ia merasa jijik bukan karena Sena yang jarang keramas melainkan fantasinya mengenai isi perut yang keluar dari dalam mulut.
"OPPA! Shin Jungkook memukul kepalaku. Hikss-" Rengek Sena berakting lalu pergi mengadu pada saudara sekaligus kakak tertuanya.
Jungkook pun gelagapan tak terima merasa difitnah oleh gadis SMA berusia 18 tahun. Ia lantas mengejar Sena yang berlari menuju pria yang baru saja ia panggil Oppa.
Sementara pria yang di panggil Oppa barusan, mendengus tak percaya lantas menggeleng pelan karena mendengar pertengkaran kecil kedua adiknya tersebut dari dalam ruang kerjanya.
"HYUNG! Sumpah aku tidak memukul kepalanya." Jungkook ikut masuk untuk membela diri setelah Sena yang datang lebih dulu menghampiri sang kakak.
Sena lantas berlindung dibalik tubuh Seokjin yang masih duduk di kursi kerjanya dengan kacamata yang bertengger di batang hidungnya yang mancung. Diam-diam Sena meledek Jungkook yang takut dimarahi oleh Seokjin karena dikira memukul adik perempuan mereka.
"Hyung, hyung.. Lihat dia baru saja meledekku." Jungkook membela diri ketika Sena terus menjulurkan lidahnya.
"Sena-ya,"
"Ya?" Sena meletakkan wajahnya tepat di samping wajah tampan Seokjin. Menyahut dengan wajah menggemaskan yang dibuat-buat seperti anak baru lahir.
"Bukankah di rumah kita ada aturan untuk tidak mengambil ataupun memakan makanan yang bukan milik kita sendiri? Apa kau lupa?" Tanya Seokjin yang lantas membuat Sena menoleh ke arah Jungkook yang masih setia berdiri di depan mereka.
"I-ingat." Jawab Sena tergagap takut dimarahi. Meskipun sebenarnya Seokjin bukanlah kakak yang pemarah.
"Lalu kenapa kau mengambil susu pisang milik Jungkook?" Tanya Seokjin tanpa menoleh ke arah Sena yang berdiri tepat di belakang kursi kerjanya.
"I-iya, itu karena Shin Jungkook tidak pernah mau membelikanku susu pisang. Dia selalu membeli untuk dirinya sendiri. Oppa kan tahu, aku cuma anak SMA dengan uang saku terbatas."
Benar, ini didikan ayah. Meski mereka memiliki jumlah kekayaan yang banyak, ayah tidak akan membiarkan anak-anaknya yang masih sekolah memegang uang saku dalam nominal yang besar atau tidak wajar. Anak-anak seusia mereka cenderung labil dan sulit untuk mengatur keuangan bahkan mereka belum sepenuhnya mampu menghargai uang yang harus didapat dengan jerih payah.
Seokjin lantas melirik Jungkook.
Gurat wajah Jungkook pun memperlihatkan keterkejutan karena tatapan Seokjin, membuat pria itu yakin bahwa kakaknya itu sedang bertanya melalui celah matanya 'kenapa kau tidak membelikan adikmu?'
"Y-ya, tapi Hyung Si Jelek ini kan bisa minta padaku. Jangan main ambil saja." Protes Jungkook.
"Memangnya kalau aku minta, kau akan kasih? Kau itu pelit!" Sahut Sena tak terima.
Seokjin lantas menghela nafas, selalu saja mereka bertengkar kecil seperti ini karena masalah sepele. Namun Seokjin selalu berhasil menengahi keduanya dengan jiwa seorang kakak.
"Sudah cukup. Sena-ya, lain kali jika kau ingin sesuatu kau harus mengatakannya padaku atau Jungkook. Nanti Oppa belikan susu pisang untuk kalian. Jadi jangan bertengkar."
"Benarkah??" Tanya Sena antusias dengan netra merekah seperti bulan purnama yang bersinar terang.
"Iya, asal kalian tidak bertengkar lagi. Dan untukmu Koo, jangan menyimpan makanan untuk dimakan sendiri. Ubah kebiasaanmu itu."
Jungkook lantas mengangguk patuh dengan kedua netra yang menatap kosong ke permukaan lantai.
"Tapi Sena-ya kapan kau akan memanggil Koo dengan sebutan Oppa? Jangan durhaka pada Oppa-mu, kau sudah 18 tahun. Sebentar lagi kau akan kuliah."
Benar, Shin Sena dan Jungkook seperti Tom & Jerry. Gadis bersurai pendek yang dikenal tomboy itu enggan untuk memanggil Jungkook dengan sebutan Oppa karena saat mereka masih muda Sena lah yang lebih sering melindungi Jungkook. Sena meyakini sebuah fakta bahwa kakak bisa melindungi adiknya. Namun Jungkook malah sebaliknya, ia tidak bisa melindungi Sena tapi Sena lah yang selalu melindungi Jungkook.
Dalam keheningan yang cukup menyita waktu berharga Seokjin yang seharusnya bisa pria itu gunakan untuk menyelesaikan pekerjaannya, Sena berujar pelan dan tanpa ragu hingga membuat kedua kakak laki-lakinya menatapnya tak percaya pada kalimat yang baru saja Sena ucapkan yaitu "Aku tidak akan kuliah." []
KAMU SEDANG MEMBACA
dare amore ; min yoongi
FanfictionSena menyukai Yoongi jauh sebelum Yoongi mengenal Sena. Sebab masa lalu telah mempertemukan keduanya disatu kejadian yang tidak terduga. Sena banyak berubah karena jatuh cinta pada Yoongi. Namun sayang Sena harus merelakan upayanya sebab Yoongi mem...