Friday Evening (1.5) : Mengambang

35 13 27
                                    

Bgm : Arriety's song by Cecile Corbel

Silakan putar bgm untuk pengalaman membaca yang paling baik~

"Kok bisa Kak Ino? Kenapa Kak Ino punya kesimpulan begitu?" Naya masih menerka jauh kata-kata menjuntai Minho, meski sebagian kalimat itu sukses menerobos kalbunya, tetapi bagian lainnya juga mental.

Menghasilkan beberapa blokade pikiran maupun kesadarannya. Kendati demikian, ia bersyukur dengan wawasan Minho yang cukup menuang pengertian diri.

Jemari Minho bergerak mengabaikan garpu di piring, menghampiri potongan pizza margherita yang tersisa dua potong. Lantas ia menjunjung sepotong pizza itu, melahapnya sejenak, meninggalkan Naya yang diliputi hening.

Naya sabar menanti jawab sang lawan bicara yang tampak menikmati hidangan malam dengan penuh kuasa lapar, membawa persepsi yakni seorang Minho menemukan harta bahagia yang telah lama ia nanti sedari ufuk timur menjunjung sang mentari.

Minho menatap jendela lebar restoran, lebih tepatnya pada hiruk-pikuk para kuda besi yang melintas. Terlebih, saat ini rintikan petra telah jatuh lembut membasahi bumi.

"Aku cuma berkaca, dari banyaknya momen diri dan teman yang berbagi cerita. Kandas, meski bilangnya cinta waktu masih bersama." Minho mematri senyum, kepalanya memutar kilasan adegan bak kaleidoskop. Sudah lama sekali ia menikmati oksigen, tetapi egonya beberapa kesempatan masih menampik anugerah yang telah Semesta berikan padanya.

Banyak yang terjadi, tetapi ia masih saja mengejar hal yang memuncak. Minho mengakui, bahwasanya ia gila akan semua itu. Perjalanan panjang sembari menapaki makna tersirat yang baru disadarinya sekarang, ia tak cukup bersyukur dengan wawasan yang telah digenggam.

Tekadnya kini bulat, enggan baginya untuk jatuh ke lubang yang sama. Hanya bisa berharap, seyogianya hati dapat memimpinnya lebih dominan ketimbang ego dan otaknya.

"Kak Ino masih suka hujan rupanya," itu ungkapan Naya, memancing dokter tampan itu berbalik padanya lagi.

"Tentu, hujan itu damai. Tapi aku ga nilai terang itu ga bikin damai juga. Keduanya aku suka, tetapi hujan punya makna dalem banget buat aku." Minho menyesap habis negroni, mengelap labiumnya dengan serbet makan menandakan ia menyudahi acara santapannya.

"Dari dulu aku penasaran, kenapa hujan? Tapi, aku ga pernah ada jawaban gegara kita berjauhan." Naya demikian meneguk air mineralnya, mengusap lembut bibirnya dengan serbet—ikut merampungkan makan.

"Aku nemu evaluasi tiap liat hujan. Aku sadar beberapa hal walaupun ga semuanya aku lakuin, tapi cukup buat aku tau aku punya kurang ini dan itu." Minho menopang dagu. "Kalau kamu gimana?"

"Aku?" Naya memastikan diri.

"Iya, kamu suka cuaca apa?" Minho menegaskan kalimat tanya.

Cuaca?

Naya termangu, kendati akalnya spontan memberi jawaban, tetapi Naya gamang. Opsinya tak lagi cocok dengan situasi, walaupun ia masih memberi interpretasi baik.

Akalnya berseru opsi 'berawan' diikuti sebab dersik angin selalu menerbangkan emosinya kala mega-mega bergumul menghalagi mentari. 

Tetapi hatinya memunculkan gelombang yang berbeda, ia lebih mengajukan 'cerah' sebagai opsi yang paling sesuai.

Alasannya? Riang. Secara tak disadari Naya merasa bungah menatap langit biru nan adiwarna. Selain itu, dadanya terasa ringan dan bebas. Seolah bernapas ialah hal paling nikmat yang pernah ia lakukan dalam hidup.

7 Days with ChangbinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang