16. Sixteenth

183 28 0
                                    

"Jadi besok kau mau pergi ke Hawai untuk bulan madu pernikahanmu?" Tanya Jarvin. Pemuda itu menatap Belle yang tengah tersenyum malu. Ia sadar jika gadis ini lebih terbuka pada dirinya karena pertemuan mereka dulu. Ia ingat jelas waktu dimana Arash sahabatnya memohon agar dia mau merawat adik kesayangan pemuda itu.

Pertama kali bertemu Belle yang hanya duduk di kursi roda. Ia terpaku, gadis itu seperti mayat hidup. Seolah ia memang menunggu kematiannya datang. Wajah datar yang tidak menunjukkan ekspresi apapun, tatapan kosong kedepan seolah menerawang sesuatu. Jarvin tidak bodoh untuk mengetahui bahwa gadis ini tengah depresi.

Sangat sulit mendapatkan atensi dari Belle yang hanya diam seolah patung di pameran. Jarvin hampir menyerah untuk merawat Belle saat itu. Jika saja bukan karena diary yang ia temukan tengah tergeletak dilantai kamar si manis, mungkin Jarvin akan meminta maaf pada Arash karena berhenti merawat Belle. Ia mengambil buku itu diam-diam dan membacanya di dapur. Melihat Belle yang sedang menutup mata menghadap langit, itu kesempatan bagus untuk mencari tahu masa lalu dari pasien kesayangannya. Begitu banyak hari-hari indah yang Belle tulis di buku biru itu.

"Dia memiliki wajah bodoh, tapi tampan. Dia bilang dia akan selalu bersamaku tapi dia berbohong. Aku ingin bertemu, sangat. Kak Arash, kenapa selalu memarahiku jika ingin bertemu?" Batinnya membaca setiap kata 'dia' di buku diary Belle. Ia Bertanya-tanya siapakah sosok 'dia' yang dimaksud Belle didalam bukunya. Jarvin memilih bertanya pada Arash mengenai sosok 'dia' di buku sang adik, apa yang terjadu dan seberapa besar gadis manis itu mencintai sosok itu hingga mengalami depresi seperti ini.

Jarvin menemui Belle di halaman belakang setelah mendengar penjelasan Arash. Dimana keduanya mengalami kecelakaan menyebabkan Vantae menderita amnesia hingga melupakan Belle. "Belle, kau merindukan Vantae?" Tanyanya saat itu. Ia merasa sedikit senang ketika gadis itu mengangguk pelan. "Mau menemuinya secara diam-diam?" Tanyanya lagi. Ia tahu dari Arash jika Rayan Sagara, kakak dari Vantae melarang Belle untuk menemui adiknya. Mungkin semua dilakukan Rayan untuk menjaga ingatan Vantae agar tidak rusak karena terlalu memaksa untuk mengingat sesuatu.

"Apa bisa? Kak Arash bilang dia sudah melupakanku" balas Belle, gadis itu menahan tangisannya.

Jarvin tersenyum dan menelpon Rayan menggunakan handphone Arash yang ia pinjam. Sangat sulit membujuk Rayan agar mau mempertenukan Belle dengan Vantae. Tapi ancaman tipu-tipu yang ia buat jelas membuat Rayan nau tidak mau menyetujui permintaannya. Jarvin hanya mengatakan jika Arash akan mencabut saham di GVR Corporate kalau Rayan tidak mau menuruti dirinya.

Belle duduk dikursi roda ketika Jarvin mengajaknya bersantai menikmati hari di cafe dekat rumahnya. Jarvin terlihat senang ketika Belle mau mengikuti ajakannya, mengingat gadis itu yang selalu saja acuh pada Arash. Belle duduk menghadap ke timur berhadapan dengan Jarvin. Berselang 5 menit pintu cafe terbuka memperlihatkan 2 sosok pemuda tampan yang memesan menu dan duduk tepat di meja yang berada didepannya.

Melihat mata Belle yang membulat sempurna, Jarvin tau jika yang baru masuk adalah Rayan dan Vantae. Gadis itu tersenyum untuk pertama kalinya. "Kau puas?" Tanya Jarvin menahan senyumannya. "Setelah ini jangan mengacuhkan diriku lagi" Lanjutnya mendapat anggukan semangat dari Belle.

Jarvin tersenyum kala tahu gadis didepannya ini tidak egois untuk meminta lebih. Dari keadaannya, Belle hanya ingin tahu kabar Vantae setelah kecelakaan itu terjadi. "Dia barusan melihatku kakak" gumam Belle memanggil Jarvin kakak karena perintah pemuda itu sendiri. Ia tersenyum menunduk membuat Jarvin gemas.

Menaikkan sebelah alisnya, Jarvin membalik tubuh memukul bahu Rayan yang nampaknya masih belum sadar. "Eh? Rayan! Hai!" Seru Jarvin membuat sosok dibelakangnya kaget.

"Kau sia-"

"Aish, aku sahabat Arash. Kau tidak tau?" Tanya Jarvin. Ia bisa melihat pemuda yang disapanya itu terkejut kala melihat Belle yang duduk sembari menunduk. "Bergabunglah dengan kami" seru Jarvin. Tatapan yang ia berikan untuk Rayan mungkin sedikit memberi ancaman hingga pemuda itu mengangguk kaku. Dengan senyuman manis yang memberikan kesan ingin membunuh jika ucapannya tak dituruti, Jarvin mencengkram pundak yang lebih muda.

Memories [REVISI END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang