19. Nineteenth

246 28 0
                                    

Usai kegiatan yang cukup melelahkan, Vantae memilih memesan agar makan malamnya dikirim ke kamar. Ruangan itu pun kembali rapi setelah ia meminta pelayanan kamar bertepatan saat Belle berendam di bath up. Kini posisi Vantae bersandar di kepala ranjang hotel dan memangku Belle didepannya yang tengah memakan pizza. Keduanya memilih bersantai sembari menonton film yang ada di laptop milik Belle dengan alasan tidak ada acara yang cukup menarik di televisi.

"Apa kau marah kalau aku menyembunyikan sesuatu darimu?" Tanya Belle.
Ia baru saja ingat jika dia harus memberitahu sang suami mengenai kesehatan tubuhnya.

"Tergantung baby, sesuatu seperti apa yang kau sembunyikan?" Balas Vantae membelai kepala Belle dan memeluk gadis itu dari belakang.

"Aku menyembunyikan hal ini dari semua orang kecuali kak Jarvin" gumam Belle. "Kumohon jangan marah" lanjutnya.

"Aku tidak akan marah padamu sayang" balas Vantae penasaran dengan sesuatu yang ingin Belle ceritakan padanya sejak beberapa hari lalu.

Ragu, Belle mengambil nafas panjang sebelum menghembuskannya perlahan. "Van, aku memiliki tumor otak tingkat 2".

Vantae yang mendengar pengakuan sang istri terkejut bukan main. Tak ingin menambah runyam perasaan kalut sang istri, Vantae lebih memilih diam dan mendengarkan apa yang akan dijelaskan oleh istrinya itu. "Sejak kapan?" Tanyanya pelan, tak lupa ia senantiasa membelai lembut kepala Belle.

"Ketika aku kecelakaan, kak Jarvin yang merawatku. Ketika kami mulai akrab, dia memeriksaku kembali. Aku mengeluh padanya karena sering pusing tanpa sebab. Dan kak Jarvin mengatakan kalau aku menderita tumor otak" jelas Belle.

"Kenapa tidak melakukan operasi hm?" Tanya Vantae lembut. Ia mulai kembali memeluk Belle agar gadis itu tenang.

"Aku berfikir hidupku tidak akan kembali sempurna Van. Aku menolaknya berkali-kali untuk operasi dan menyuruhnya untuk tidak memberitahu kak Arash. Aku juga tidak ingin kau tau karena kita akan berpisah" jelas Belle. Gadis itu menunduk kala sang suami menyandarkan kepalanya pada bahunya. "Aku akan segera bertemu ayah dan ibu setelah mendnegar penjelasan kak Jarvin mengenai tumor yang kuderita. Aku juga berpikir kau tidak akan mencintaiku seperti saat ini hingga kita berpisah dan aku menunggu penyakit itu semakin parah. Aku berpikir kau akan bahagia menikah dengan Aleah, namun kau melupakannya dalam waktu yang cukup cepat dan memperhatikan diriku. Aku tidak tahu harus jujur atau tidak, tapi kak Jarvin benar, aku tidak boleh egois."

"Apa seberat itu hidupmu hm? Kau memilih mati dan meninggalkanku?" Gumam Vantae. Ia mengecup leher Belle lembut dan singkat membiarkan sang istri tersenyum dan melanjutkan ceritanya.

"Kalau kau lupa, kita pernah bertemu di cafe dekat rumahku Van. Aku bersama Jarvin oppa saat itu. Saat itu aku sudah mulai merasa pusing, hanya saja kurasa itu normal" kekeh Belle mengingat masa lalunya. "Aku akan melakukan operasi itu jika kau mau. Hanya saja kau harus berjanji satu hal padaku" lanjut Belle.

"Katakan padaku, apa yang kau inginkan?" Tanya Vantae.

"Selalu bersamaku dan jangan menyerah dengan hidupmu kalau aku pergi lebih dulu" balas Belle.

Vantae memeluk Belle erat membuat gadis itu merasa nyaman dan menutup matanya. "Aku berjanji akan selalu bersamamu, mencintaimu, dan menjagamu" balas Vantae.

Belle terkekeh, memukul pelan lengan Vantae yang daritadi setia memeluknya. "Bukan janji itu yang aku inginkan, dasar" balas Belle.

"Kau tidak bisa menyuruhku untuk tidak menyerah dengan hidup jika kau meninggalkanku lebih dulu. Itu mustahil" balas Vantae.

"Lalu kalau aku pergi saat anak kita masih kecil bagaimana?" Tanya Belle.

"Ada Arash yang bisa merawatnya sayang" keluh Vantae.

Memories [REVISI END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang