"Gue mau es krim itu," ujar Rere.
Jam masih menunjukkan pukul 10 pagi. Tak jauh dari danau tempat mereka tadi bercengkrama, ada taman yang tidak terlalu luas namun banyak orang bermain di sana, terutama anak kecil.
"Masih pagi, Re," balas Atlas saat Rere terus merengek meminta es krim.
"Gue bukan anak kecil lagi, gue mau es krim." Rere masih tak mau mengalah.
"Bukan anak kecil tapi kok masih ngerengek minta es krim." Atlas berjalan meninggalkan Rere. Bergerak menuju penjual es krim itu.
"Atlas, ih!" Rere menyentakkan kakinya ke tanah dengan kesal sebelum berlari menyusul Atlas.
Atlas berbalik. "Apa? Ini es krimnya." Ia menyerahkan cone berisi es krim penuh.
Rere menerimanya dengan mata berbinar. "Makasih, Atlas," ujarnya.
"Sama-sama, Sayang." Atlas tertawa melihat wajah Rere yang berubah saat ia memanggilnya 'sayang'. Atlas berjalan menuntun Rere untuk duduk.
"Lo sayang-sayangan mulu, nanti anak orang baper," cerocos Rere sambil terus berjalan mengekor pada Atlas. Dan tentu saja, dengan mulut penuh es krim.
"Kakak!"
Langkah Atlas dan Rere terhenti saat seorang gadis kecil menarik sweater yang Atlas gunakan.
Atlas berjongkok di depan gadis kecil itu. "Iya, ada apa? Ada yang bisa Kakak bantu?"
Rere sedikit memiringkan kepalanya melihat interaksi Atlas dengan gadis kecil itu. Bibirnya membentuk senyum tipis tak terlihat di sana.
"Bolaku naik ke atas pohon telus ndak bisa tulun," ujar gadis kecil itu sembari menunjuk pohon yang tidak terlalu besar di sisi lain taman.
"Gimana bisa bolanya naik ke atas sana?" Atlas menarik gadis kecil itu dalam pelukannya-menggendongnya.
"Kulempal. Kakak ambilin, boleh?"
Wajah menggemaskan gadis kecil itu membuat Atlas tertawa ringan. "Boleh dong," jawab Atlas.
Atlas berbalik menatap Rere yang masih tak bisa mengedipkan matanya melihat sosok Atlas. "Re, aku bantuin adik ini dulu," ujar Atlas kemudian berjalan menuju tempat yang ditunjukkan gadis itu.
"Itu bolanya." Gadis kecil itu menunjuk bola berwarna pink yang menyangkut di salah satu ranting pohon mangga kecil yang belum berbuah.
"Adik turun dulu, biar Kakak ambilkan." Atlas menurunkan gadis kecil itu.
Atlas meraih bola kecil berwarna pink itu dan menyerahkannya pada sang empu. "Ibumu ke mana? Kamu sendiri?" tanya Atlas.
Gadis itu mengangguk sembari menerima bolanya kembali. "Mama di lumah, di situ." Gadis itu menunjuk rumah kecil di pinggir taman.
"Main sama Kakak, yuk! Namamu siapa?" tanya Atlas.
"Lia." Gadis itu tersenyum. "Celellia," sambungnya.
"Cerellia?" Atlas memastikan. Gadis kecil dengan sapaan Lia itu mengangguk.
"Cantik 'kan, namaku?" Lia tersenyum dengan meletakkan dua telunjuknya menusuk pipi kiri dan kanannya.
Atlas tertawa kecil. "Iya, pemilik nama Cerellia emang selalu cantik," jawab Atlas.
"Nama Kakak?" Lia balik bertanya.
"Dam-" Ucapan Atlas terhenti.
"Dam?" Lia mengulangi.
"Salah, nama Kakak Atlas," ralat Atlas kemudian tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Damian [Selesai]
FantasyMasa lalu yang kelam membuat gadis berambut panjang lengkap dengan kacamata hitam yang bertengger di hidungnya selalu menyendiri. Cerellia Agisna Mosse. Gadis yang selalu diam meski kerap kali menjadi bahan perundungan teman-teman di sekolahnya. Yes...