Rere menuruni tangga dengan langkah gontai. Tak ada senyum ceria seperti yang biasa ia tunjukan pada Ayah dan Bundanya.
Perlahan, langkahnya membawanya menuju meja makan. Matanya melebar melihat siapa yang sedang duduk bersama kedua orang tuanya.
"Ditambah makannya, Atlas," ujar Bunda sembari memasukkan nasi goreng ke piring yang ada di depannya.
"Enggak, Bunda. Terima kasih, ini udah cukup, nanti kekenyangan." Atlas tersenyum.
Bunda ikut tersenyum dan mengangguk. Sementara Ayah, fokus pada laptopnya mengerjakan pekerjaannya.
Rere duduk di samping Atlas. Dengan wajah tertekuk, Rere membalik piring yang ada di depannya. Mengambil secentong nasi goreng, dan mulai memakannya.
Tak ada suara yang dikeluarkan Rere. Hanya bunyi sendok dan garpu yang menyentuh piring. Berbeda dengan Bundanya yang terlihat antusias dengan kehadiran Atlas, dan Ayahnya yang selalu sibuk setiap hari namun masih tetap menanggapi obrolan anggota keluarganya.
"Bunda, aku mau airnya," pinta Rere menyodorkan gelas kosongnya.
Bunda mendorong teko berisi air pada putrinya. Kemudian kembali bercengkrama dengan Atlas.
Rere menghela napas sabar. Menuangkan air ke dalam gelasnya, dan melanjutkan yang tertunda.
"Kenapa sih Bunda suka banget sama Atlas dan mengesampingkan gue sebagai anaknya."
Mendengar suara Rere, Atlas sontak menoleh. Memperhatikan Rere yang makan dengan wajah tertekuk.
Atlas menundukkan kepalanya. Menarik napas, dan memejamkan matanya perlahan. Tak lama, Atlas kembali menghabiskan makanan di depannya.
•••
Atlas dan Rere duduk bersama di atas motor yang dikendarai Atlas. Tatapan Rere kosong, menatap lurus jalanan yang ramai.
Atlas menoleh sebentar pada Rere yang duduk di belakangnya. "Re?"
"Diem atau gue turun di sini." Suara dingin Rere mau tak mau membuat Atlas bungkam.
Atlas kembali fokus ke depan. Membawa motor dengan tenang. Membiarkan Rere larut dalam lamunannya.
Kini, Atlas dan Rere memasuki parkiran sekolah. Banyak pasang mata menatap mereka dengan tatapan yang berbeda-beda. Suka, jijik, atau yang lainnya.
Rere menyerahkan helm yang dipakainya pada Atlas. Menggendong ranselnya, dan berjalan cepat menuju kelasnya.
Atlas hanya memperhatikan, dan menyusul Rere dengan berjalan tenang.
Plak!
Rere mematung. Pipi kirinya terasa panas. Puluhan pasang mata melihat kejadian itu dengan terkejut.
Rere mengangkat kepalanya. Menatap orang yang menampar pipinya dengan keras, tadi.
"Udah gue bilang, jauhin Atlas!" bentak Lalita tepat di depan wajah Rere yang memerah.
"Maksud lo?" Rere menatap bingung Lalita.
"Gak usah sok gak tau deh lo," ujar Yesica yang berdiri di samping kanan Lalita. "Ke mana-mana sama Atlas, masih aja sok gak tau."
"Gue peringatin lo sekali lagi." Lalita menunjuk wajah Rere dengan telunjuknya. "Sekali lagi gue liat lo deket sama Atlas, maka gue gak akan segan-segan buat nyakitin lo lebih dari ini. Camkan itu!"
Lalita, Yesica, dan Vandra kompak berbalik. Berjalan menuju kantin. Kerumunan yang tadi menonton, spontan membelah memberi ketiga gadis itu jalan.
Atlas menghampiri Rere yang masih terdiam. "Re, kamu gak papa? Maaf aku telat datang. Kamu gak papa, 'kan?" tanya Atlas khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Damian [Selesai]
FantasyMasa lalu yang kelam membuat gadis berambut panjang lengkap dengan kacamata hitam yang bertengger di hidungnya selalu menyendiri. Cerellia Agisna Mosse. Gadis yang selalu diam meski kerap kali menjadi bahan perundungan teman-teman di sekolahnya. Yes...