7 : Mimpi Nyata

54 8 3
                                    

Rere berjalan gontai menuju ruangan gelap yang penuh dengan debu. Ada-ada saja, Bundanya kini menyuruh gadis tersebut untuk mencari buku resep kue yang entah ada di mana.

Gadis itu membuka pintu dan menyalakan lampu kuning yang sedikit memberikan keterangan di ruangan tersebut. Syukurlah, Rere masih bisa mencari buku resep tersebut walaupun dengan sedikit keterangan.

Matanya menoleh ke kanan dan ke kiri, jari-jarinya mulai mencari dan menepikan beberapa buku yang menumpuk di hadapannya.

Namun, tiba-tiba saja ia melihat sebuah kotak di sana. Tampaknya ia pernah melihat kotak tersebut.

“Aduh, di mana ya, gue liat kotak itu?” gumam Rere yang tampak sedang mengingat sesuatu.

Rere berjalan maju, gadis itu mencoba untuk mendekat ke arah kotak berwarna cokelat tersebut. “Ini 'kan kotak yang pernah gue liat di mimpi. Kok bisa sama banget, sih?”

Tanpa berpikir panjang, Rere membuka kotak yang sebelumnya terkunci rapat. Ia benar-benar seperti sedang melakukan peristiwa ulang yang sesuai dengan mimpinya.

Setelah itu, Rere membuka lembar demi lembar kertas kuni tersebut. Hanya ada kalimat dua kalimat yang bisa Rere baca di sana.

Cerellia Mosse
Damian


Rere menutup mulutnya. Mimpinya kali ini benar-benar menjadi kenyataan. “Nama gue? Damian? Ini bener-bener mirip banget sama apa yang gue mimpiin waktu itu, gak sih?”

Jantung Rere berdegup dengan kencang, keringat kini membasahi kening dan pipinya. Mengapa semuanya menjadi berubah? Mengapa Rere seakan merasa ada yang aneh dengan semua ini?

Rere mencoba untuk membaca lembar demi lembar dari buku tersebut. Namun, ia hanya mendapati aksara kuno yang sama sekali tak ia mengerti. Rere semakin yakin bahwa ada sesuatu yang terjadi dalam hidupnya. Ia berpikir bahwa setiap mimpinya menjadi kenyataan.

“Waktu itu gue mimpi ketemu sama orang yang wajahnya mirip banget sama Atlas. Terus, sekarang gue mimpi dapet buku kuno yang di dalemnya ada nama gue, Damian. Dua mimpi itu jadi kenyataan, apa buku ini dengan hal-hal yang terjadi semuanya berhubungan?” gumam Rere.

"Rere!"

Gadis itu tersadar dari lamunannya ketika ia mendengar teriakan Bundanya. Dengan cepat ia menaruh buku itu di dalam kotak berwarna cokelat dan bergegas mencari buku resep untuk Bundanya.

“Bunda nyimpen bukunya di mana ya,” ucap Rere yang masih mencari buku resep tersebut.

Sudut matanya melihat ke arah tumpukan buku di atas kardus lama. Dengan cepat Rere menghampiri tumpukan buku tersebut dan mengambil beberapa buku dengan judul resep kue.

“Ah, udahlah.” Rere menutup pintu ruangan tersebut. Awalnya gadis itu ragu untuk membiarkan buku kuno itu tergeletak di sana. Namun, ia juga tak berani jika membawa buku tersebut dari tempat asalnya.

•••

Atlas tersenyum kecil ketika melihat sosok Rere dari kejauhan. Atlas kini tepat berada di belakang rumah Rere. Mencoba memerhatikan gadis yang tengah bercanda ria bersama Bundanya.

Perlahan, Atlas mengembuskan napasnya. Apa yang ia rasakan saat ini hanya satu. Yaitu, bahagia di atas kebahagiaan Rere, meskipun ia tau bahwa Rere sangat mencintai kekasihnya itu. Bagaimanapun juga, Atlas harus bicara kepada Rere demi keselamatannya.

Atlas menyadari bahwa buku kuno yang Rere temukan kini sudah berada di dalam kamar Rere. Sosok itu berhasil memindahkan buku berharga tersebut kepada pemiliknya, tak lain dan tak bukan adalah Rere. Atlas sengaja memindahkan buku tersebut secara diam-diam. Karena ia tahu, jika ia memberikannya kepada Rere secara langsung, Rere pasti tidak akan menerima buku tersebut. Dan ia semakin senang karena jika buku itu terus berada di dekat Rere maka dirinya pun akan terus berdekatan dengan Rere.

“Andai kamu tau yang sebenarnya, aku mencoba untuk terus melindungi kamu dari mereka yang selalu jahat padamu. Tapi, sayangnya kamu masih belum menerima aku,” ucap Atlas seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

“Cepat atau lambat kamu pasti akan tau semuanya, Re. Sayangnya aku gak bisa kasih tau kamu sekarang, karena kamu lebih percaya Diran dibandingkan aku, lagi pula kamu belum terlalu mengenal aku di dunia ini. Mungkin dulu kamu sempat melihatku, meski hanya sesaat,” sambung Atlas yang masih berdiri memandangi Rere.

Atlas mencoba untuk mengalihkan pandangan Rere kepada dirinya. Usaha itu berhasil, kini Rere berjalan menuju jendela dan menyipitkan matanya. Mencoba untuk memperjelas siapa yang berdiri di sana dan memandanginya.

Di sisi lain. Rere masih menyipitkan matanya sampai objek yang ia lihat tampak jelas.

“Atlas? Ngapain dia?” tanyanya dalam hati.

Rere mengedipkan matanya. Mencoba untuk memastikan bahwa dirinya memang salah lihat.

“Lho, kok Atlas ilang?” Rere bertanya-tanya kepada dirinya.

“Kenapa, Re?” tanya Bundanya bingung.

Rere sedikit terkejut. “Bunda, kebiasaan deh. Bikin aku kaget.”

“Kamu kenapa? Kok ngeliat ke luar terus?”

“Hah? Enggak Bun, aku tadi cuma mau nyegerin mata,” jawab Rere sedikit gugup.

“Yakin, kamu gak papa?”

Rere mengangguk pelan. “Iya Bunda, aku gak papa. Cuma tadi mau liat-liat halaman kita aja. Aku jadi pengen dekorasi deh.” Alasan yang diberikan oleh Rere masih belum bisa meyakinkan Bundanya. Namun, Bundanya tak mau terus menerus menekan privasi anak semata wayangnya tersebut.

“Ah, masa sih?" Bunda menatap meledek Rere. "Oh iya, Atlas bilang sama Bunda sama Ayah. Kalo dia mau jadi sopir pribadi kamu,” ucap Bunda Rere seraya melanjutkan kembali membuat kue.

“SOPIR? BUNDA SERIUS?!” Rere membulatkan matanya. Gadis itu benar-benar tak tau harus berkata apa-apa.

“Tentu Bunda serius. Jadi dia yang antar jemput kamu ke mana aja. Cie ... keliatan banget bahagianya,” sindir Bunda Rere seraya tersenyum kecil.

Rere terdiam. Ia memikirkan apa maksud dari semua ini? Apa memang Atlas sengaja  menggunakan cara seperti ini agar ia bisa membuktikan bahwa dirinya akan menjaga Rere dari ancaman bahaya.

“Kenapa diem? Pasti udah ngebayangin gimana rasanya dikawal sama cowok seganteng Atlas, 'kan?”

Rere menatap wajah Bundanya dengan heran. “Kok Bunda tiba-tiba fokus sama Atlas, sih? Lagian aku uda punya pacar Bunda.”

“Hah? Kamu punya Pacar?”

Rere menutup mulutnya. Perkataan tadi memang benar-benar di luar kendalinya. “Eng—enggak, Bunda. Maksudnya aku tuh aku belum siap punya pacar.”

“Belum siap? Emangnya Bunda nanya kesiapan kamu untuk pacaran?” Bunda Rere terus mendesak Rere.

Rere menutup matanya. Alasan apa lagi yang harus ia lontarkan kepada Bundanya yang semakin lama semakin membuatnya terus keceplosan.

“Jadi, Atlas diterima gak nih?” Bunda Rere kembali menyadarkan Rere dari lamunannya.

Rere mengembuskan napasnya secara perlahan. Jikalau ia menolak pun pasti Bundanya dan Ayahnya akan memaksa agar ia menerima Atlas menjadi sopir pribadinya.

“Emangnya kalo aku nolak, Bunda sama Ayah bakalan berhenti neror aku?” tanya Rere.

“Kamu pasti udah tau 'kan jawabannya?”

“Iya Bunda, makannya aku gak bisa nolak.” Jawaban Rere sontak membuat Bundanya itu tersenyum.

Wanita yang Rere panggil Bunda tersebut langsung menarik tangan Rere agar menjauh dari jendela. Ia kembali membawa Rere ke dapur dan melanjutkan kegiatan memasaknya.

“Yuk! Kita lanjut. Nanti Ayah keburu ngomel.”

Rere mengangguk. Gadis itu tak punya pilihan selain ia menerima Atlas menjadi sopir pribadinya. Namun, beberapa kekhawatiran kini menghampirinya. Entah itu cibiran Yesica, Lalita dan Vandra. Ataupun Diran yang mungkin saja bisa marah kepada dirinya karena ia berdekatan dengan Atlas.

•••


Salam sayang,
Riyana & Naylananay_

Damian [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang