Rere memantapkan langkahnya menuju meja dengan angka enam. Gadis itu semakin yakin bahwa yang ia dengar adalah suara kekasihnya. Bukan suara orang lain.
Rere menutup mulutnya ketika mendapati sosok Diran sedang bermesraan dengan gadis lain di kafe tersebut. Ia sama sekali tak mampu berkata apa-apa. Kini, matanya sudah berkaca-kaca dan tubuhnya benar-benar bergetar hebat.
“Diran?”
Kedua insan yang tengah bercanda tawa tersebut menoleh. Mereka melihat sosok Rere yang sudah menangis saat itu juga. Diran kebingungan dengan tindakan apa yang harus ia lakukan.
“Re, kok kamu ada di sini?” Diran bergegas menghampiri Rere.
“Aku yang harusnya nanya. Kamu ngapain di sini?” Rere berbalik tanya kepada Diran.
“A—aku ... aku lagi—“
“Lagi selingkuh?” potong Rere yang kini tak bisa menahan isak tangisnya lagi.
“Enggak, Re.” Diran mencoba meraih genggaman tangan Rere. Namun, ia gagal.
Rere menepis sentuhan tangan dari Diran. Rere masih berusaha untuk menghentikan isak tangisnya. Kantung matanya sudah tak bisa menahan air matanya tersebut.
“Re, ini gak seperti yang kamu bayangin,” ucap Diran terus mencoba menjelaskan.
Rere menggelengkan kepalanya. “Terus apa?”
“Aku sama dia cuma reuni, kita temen lama dan kita ketemu baru hari ini.” Diran mencoba menghentikan kegelisahan Rere.
“Temen kamu bilang? Kamu bercanda, mesra-mesraan, suap-suapan, dan itu yang kamu bilang temen? Kamu gak bilang sama aku hari ini kamu keluar sama temen cewek kamu!” Rere semakin marah. Gadis itu lebih memilih untuk meninggalkan Diran dari pada mempermalukan dirinya sendiri.
Diran mengejar Rere yang keluar kafe. “Re, tunggu!”
“Apa lagi? Kamu mau bilang apa lagi sama aku?” Rere menghentikan langkahnya. Gadis itu menjawab pernyataan Diran tanpa menoleh.
“Udah aku jelasin sama kamu, dia cuma temen aku. Terserah kalo kamu gak mau percaya sama aku!” Diran menaikan nada bicaranya.
Rere semakin sakit akan hal tersebut. Gadis itu tengah berusaha untuk tidak mengeluarkan air matanya lagi.
“Kenapa jadi kamu yang marah?” tanya Rere seraya berbalik menatap Diran.
Diran menatap Rere dengan malas. “Hal-hal yang sederhana gak perlu dibuat ribet, aku udah jelasin terserah mau percaya atau enggak. Aku capek sama kamu.”
Rere membulatkan matanya tak percaya, gadis itu tak habis pikir dengan perkataan Diran. Apa yang dimaksud oleh Diran? Apakah Diran benar-benar lelah bersamanya?
“Maksud kamu apa?” tanya Rere pelan.
“Kamu itu egois, aku gak bisa pacaran sama—“
“Gue harap lo bisa liat diri lo sendiri.” Seseorang memotong pembicaraan antara Rere dan Diran.
Diran menatap wajah Atlas garang. “Lo mau jadi pahlawan buat cewek cengeng kaya dia?”
“Ran, kok kamu berubah gini,” ujar Rere tak percaya.
“Gue tau apa yang bakal lo lakuin ke Rere, jadi gue minta sama lo. Mulai detik ini, lo jauhin Rere,” ucap Atlas kepada Diran.
Tanpa membuang waktunya lagi, Diran langsung berbalik, melangkah masuk kembali.
“Ran! Tunggu aku!” Rere mencoba mengejar Diran. Namun, Atlas tak membiarkan hal itu terjadi.
“Re! Udah, jangan kamu kejar lagi.”
Diran menghentikan langkahnya. Sosok itu hendak berbalik pada kekasihnya. Namun, tubuhnya enggan untuk kembali menoleh karena Atlas di sana. Diran memilih untuk meninggalkan kedua sosok itu.
Setelah memastikan bahwa Diran sudah kembali masuk, Atlas memeluk tubuh mungil Rere dengan erat.
“Kamu gak kenapa-kenapa ‘kan, Re?”
Rere menutup matanya. Balas memeluk lelaki jangkung itu. Entahlah, ia merasakan kenyamanan sekarang.
“Re?”
Rere tersentak, gadis itu cepat-cepat melepas pelukannya. “Anterin gue pulang.”
“Aku bakal anterin kamu pulang, tapi kamu janji sama aku, ya?”
“Apa?” tanya Rere.
“Jangan nangis lagi. Hapus air mata kamu, karena itu berharga,” jawab Atlas.
Rere terdiam sejenak. Gadis itu mengangguk pelan dan menghapus air matanya cepat. “Ayo.”
•••
“Udah ya, jangan kamu pikirin lagi.” Atlas tersenyum ke arah Rere yang tengah merapihkan rambutnya.
Rere memberikan helm yang ia pegang kepada Atlas. “Iya.”
“Ya udah aku pamit ya, salam sama Bunda dan Ayah,” ucap Atlas.
“Gak mampir?”
Atlas terdiam. Sosok itu baru saja mendengar kata-kata yang jarang dilontarkan oleh Rere kepada dirinya. Mengapa kali ini, ia merasa bahwa Rere akan jatuh cinta kepada dirinya? Ah, itu hanya angan semata. Lagi pula, Rere tak akan pernah bisa jatuh cinta kepada dirinya.
“Helo! Makan siang bareng, mau?” Rere menyadarkan lamunan Atlas.
“Boleh?” Atlas bertanya kepada Rere.
Rere tertawa pelan. “Sejak kapan sih, gue larang lo buat makan bareng sama keluarga gue,” jawabnya, "lagipula, gue larang pun lo tetap makan, 'kan?”
Atlas tertawa kecil. “Ya udah.”
Mereka berdua berjalan masuk menuju rumah. Setelah mengucapkan salam. Rere dan Atlas berjalan menuju ruang makan dan menemui Bunda Rere.
“Kamu bukannya mau me time?” tanya Bunda Rere ketika melihat Rere berjalan menghampirinya bersama Atlas.
“Gagal, Bun,” jawab Rere.
“Loh, kok bisa?”
“Atlas yang gangguin, jadi gagal deh.” Atlas tertawa kecil menjawab pertanyaan Bunda Rere.
Jawaban Atlas tentu membuat Rere terkejut, bukankah seharusnya Bunda Rere mengetahui apa yang sebenarnya terjadi?
“Bunda, Rere yang ajak Atlas buat makan bareng. Gak papa ‘kan, Bun?” tanya Rere.
Bunda Rere hanya bisa tersenyum. “Bunda gak salah denger, ‘kan?”
Rere menggelengkan kepalanya perlahan. “Kenapa, Bun?”
“Tumben banget kamu ajak Atlas,” jawab Bunda Rere seraya menyiapkan beberapa piring di atas meja makan. "Biasanya mati-matian buat usir dia dari sini," lanjut Bunda.
“Ya, aku gak enak aja. Atlas udah banyak bantuin aku, jadi aku mau ngajak dia makan, deh.” Rere tersenyum tipis kepada Bundanya.
“Udah jadi tugas aku buat bantuin kamu, Re,” ucap Atlas.
Rere mengalihkan pandangannya kepada Atlas. “Udah deh, gue bosen dengernya. Tugas lo itu menghidupi diri lo sendiri, bukan jagain gue. Lagian lo itu manusia biasa bukan malaikat yang diutus untuk ngejagain gue.”
“Secara gak langsung kamu tau siapa aku yang sebenarnya,” ucap Atlas pelan.
“Hah? Apa?” Rere memandang wajah Atlas.
“Kamu beneran gak denger?” tanya Atlas.
Rere mengembuskan napasnya pelan. “Kalo gue denger gak akan nanya lagi, Atlas.”
“Ya udah, kamu belum boleh tau apa yang aku bicarain,” ujar Atlas kepada Rere.
Rere semakin bingung dengan perkataan Atlas. Gadis itu hanya bisa menggelengkan kepalanya seraya tersenyum tipis.
•••
Salam sayang,
Riyana & Naylananay_
KAMU SEDANG MEMBACA
Damian [Selesai]
FantasyMasa lalu yang kelam membuat gadis berambut panjang lengkap dengan kacamata hitam yang bertengger di hidungnya selalu menyendiri. Cerellia Agisna Mosse. Gadis yang selalu diam meski kerap kali menjadi bahan perundungan teman-teman di sekolahnya. Yes...