"Re, bisa kita ngobrol sebentar?"
Sepulang sekolah, tepat saat Rere hendak naik ke motor yang Atlas kendarai, Lalita memanggilnya.
"Eh? Uhm ... sorry Lit, Bunda nyuruh gue balik cepet. Nanti kita ngobrol di telepon aja, atau besok pas ketemu lagi," ujar Rere menolak.
Lalita terlihat kecewa dengan jawaban yang ia dapatkan dari Rere. "Ya udah kalau gitu, hati-hati di jalan."
Rere mengangguk. Ia segera naik ke motor itu. "Duluan ya, Lit! Bye!" Rere melambaikan tangannya.
Lalita membalas lambaian itu seraya tersenyum. Setelah Rere menjauh, wajahnya berubah menjadi datar kembali.
"Lita! Ayo cepetan!"
Lalita menoleh—kemudian berbalik berjalan menuju mobil yang menunggunya itu.
Dalam perjalanan, Rere sibuk memperhatikan jalanan yang hari itu cukup lengang.
"Atlas," panggil Rere.
"Ya?" balas Atlas tanpa menoleh.
"Kenapa ya, kok Diran kayak ngejauh gitu dari gue? Dia bahkan gak nyapa gue pas ketemu tadi," ujar Rere mengeluarkan isi kepalanya.
"Kenapa tanya aku? Aku 'kan bukan Mamanya Diran," balas Atlas setengah bercanda.
"Atlas, ih!" Rere menepuk punggung Atlas dengan gemas. "Gue lagi serius, jangan bercanda terus," rengek Rere.
Atlas tertawa pelan. "Ya lagian, kamu ngapain nanyain Diran ke aku? Diran 'kan pacar kamu bukan pacar aku."
Rere diam. Benar juga yang Atlas katakan. Mengapa pula ia menanyakan perkara Diran pada Atlas.
"Mungkin, Re ...." Atlas menggantungkan ucapannya.
"Mungkin apa?" Rere tak bisa menahan rasa penasarannya.
"Diran lagi ada sesuatu," sambung Atlas.
"Sesuatu apa?" tanya Rere sembari semakin mendekatkan wajahnya pada kepala Atlas.
"Kalau aku kasih tau, emang kamu bakalan percaya?" Atlas balik bertanya.
Rere menarik wajahnya sedikit menjauh. "Ya belum tentu, sih. Tapi apa?"
Atlas tersenyum dari balik helm-nya. "Dia bukan lelaki baik, Re. Percaya sama aku," ujar Atlas.
Rere mengembuskan napasnya kasar. "Udah jutaan kali lo ngomong itu, Dam," ujar Rere tanpa sadar.
Atlas membulatkan matanya. Motornya berhenti tiba-tiba.
Tuk
"Aw! Sakit, bego!" Rere memukul keras bahu Atlas karena berhenti secara mendadak.
"Sorry-sorry. Tadi, kamu bilang apa?" Atlas berusaha memastikan apa yang didengarnya.
"Sakit," ulang Rere sembari terus mengusap dahinya yang sakit akibat membentur helm Atlas.
"Bukan itu, yang sebelum aku berhenti," Atlas masih gemas.
"Udah jutaan kali lo ngomong itu, Dam—" Rere menghentikan ucapannya. "Dam apa?" tanyanya.
"Kamu yang bilang kok nanya aku." Atlas tersenyum dari balik helm-nya kemudian kembali menjalankan motornya.
"Dam apa? Atlas, Dam apa?" Rere terasa seperti orang bodoh sekarang.
Atlas tertawa tanpa suara mendengar Rere yang terus bertanya perihal apa yang dirinya sendiri katakan.
"Atlas, Dam apa?" tanya Rere begitu motor yang ditumpanginya berhenti di depan pagar kediaman Mosse.
KAMU SEDANG MEMBACA
Damian [Selesai]
FantasyMasa lalu yang kelam membuat gadis berambut panjang lengkap dengan kacamata hitam yang bertengger di hidungnya selalu menyendiri. Cerellia Agisna Mosse. Gadis yang selalu diam meski kerap kali menjadi bahan perundungan teman-teman di sekolahnya. Yes...