20 : Kehangatan

38 6 0
                                    

Semenjak kejadian kemarin kini Rere semakin yakin bahwa Atlas memang bisa menjaga dirinya. Ia menerima Atlas sebagai orang yang mampu menjaganya kapanpun dan di manapun.

Rere tampak tersenyum ketika melihat spion motor yang menunjukan wajah Atlas. Ada perasaan aneh yang kini tengah menyelimuti dirinya. Ia belum tau apa perasaan tersebut, tapi yang jelas kali ini ia nyaman berada di dekat Atlas.

Setelah beberapa menit berlalu, mereka sampai di depan gerbang sekolah.

“Kamu turun di sini ya, aku ada urusan dulu.” Atlas menoleh ke belakang.

Rere mengerutkan dahinya. “Urusan apa? Penting banget?” tanya Rere penasaran.

“Gak ada yang lebih penting dari kamu, Re,” jawab Atlas seraya tersenyum.

Biasanya Rere akan marah mendengar gombalan dari Atlas. Tapi, entah kenapa kali ini Rere hanya bisa tersenyum seraya memukul pundak Atlas pelan.

“Ya udah, nih helm-nya. Makasih ya,” ucap Rere seraya menuruni motor milik Atlas.

Atlas meraih helm tersebut. Lalu menggantungkannya di lengan kanannya. “Sama-sama, Re. Kamu cepet ke kelas, ya.”

Mereka layaknya sepasang kekasih, banyak orang yang memerhatikan kedatangan kedua insan tersebut. Tanpa berlama-lama Rere melangkah masuk dan meninggalkan Atlas yang masih di depan gerbang sekolah.

Baru saja Rere hendak melangkahkan kakinya menuju kelas, lengannya sudah ditarik oleh Yesica dan Vandra. Rere tampak berusaha melepaskan cengkraman itu, namun Yesica tak membiarkannya.

“Apa, sih?” tanya Rere seraya merintih kesakitan.

“Puas lo ambil Diran dari gue? Terus lo sekarang ambil Lalita dari gue, puas lo?” tanya Yesica seraya menatap wajah Rere marah.

“Yes, jangan di sini. Nanti ketauan guru.” Vandra membawa Rere pergi dari sana menuju ruangan sepi. Tepatnya di bawah tangga dekat gudang sekolah.

“Gue gak pernah ngerebut apapun dari lo,” ucap Rere.

Yesica tersenyum licik. Gadis itu mencengkram kedua pipi Rere dengan keras. “Oh, sekarang lo udah berani ngejawab?”

“Berani lah, sekarang ‘kan ada pahlawan,” cibir Vandra seraya tertawa kecil.

“Kita liat, pahlawan lo bakal dateng apa enggak kali ini.” Yesica melepas cengkramannya. Alih-alih gadis itu mencekal kembali pergelangan tangan milik Rere.

Semakin lama cengkraman itu semakin menyakitkan. Perlahan lengan Rere berubah menjadi merah. Gadis itu pun sudah tak kuat menahan rasa sakit yang diberikan oleh Yesica kepada dirinya.

“Aw ... sakit Yes,” lirih Rere pelan.

“Ini belum seberapa kok, gue mau tau. Pahlawan lo itu bakal dateng nyelamatin lo apa enggak,” ucap Yesica seraya terkekeh.

Rere memejamkan matanya. Gadis itu benar-benar tidak kuat lagi menahan rasa sakit yang tak kunjung mereda di atas pergelangan tangannya.

•••

Sementara di sisi lain. Atlas turun dari motornya. Menatap marah sosok yang kini tengah ada di hadapannya.

“Mau lo apa?” tanya Atlas kepada Diran.

“Gue cuma dapet informasi kalo lo itu bukan manusia biasa, lo itu makhluk yang katanya punya kekuatan lebih,” jawab Diran seraya tersenyum sinis kepada Atlas.

Mereka berdua kini berada di taman belakang sekolah. Tempat yang cocok untuk memberikan pelajaran untuk cowok seperti Diran.

“Maksud lo apa?” tanya Atlas pura-pura tak mengerti.

Diran memutari Atlas. Sosok itu berjalan seraya menatap Atlas dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki.

“Gue juga tau, kalo lo itu suka ‘kan, sama cewek gue,” sindir Diran.

Atlas tahu apa yang akan Diran lakukan kepada dirinya. Bagaimanapun juga Atlas tidak boleh gegabah, Diran termasuk orang yang licik.

“Kalo iya, kenapa? Kalo nggak juga, kenapa?” tanya Atlas.

Diran tak membalas perkataan Atlas. Alih-alih Diran mencoba untuk menghajar Atlas menunggu akan lengannya. Berkali-kali, Namun Diran gagal membuat Atlas terluka.

Telinga Atlas kini bergetar keras. Ia merasa ada seseorang yang memanggilnya seraya menangis. Atlas tak bisa mengenali suara tersebut, tapi entah kenapa pikirannya kini beralih kepada sosok Rere.

“Cerellia.” Atlas menyebut nama tersebut seraya menutup matanya.

Kesempatan emas untuk Diran. Dengan cepat Diran menghajar Atlas dan membuat Atlas sedikit meringis kesakitan.

“Curang lo,” ucap Atlas seraya memegangi pipinya yang sedikit terluka.

Saat itu adalah saat yang membingungkan. Atlas tak akan pernah membiarkan Rere dalam bahaya. Namun, Diran juga tak membiarkan Atlas menyelamatkan Rere sekarang. Atlas benar-benar tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang.

“Cewek lo dalam bahaya! Lo harusnya tolongin dia!” teriak Atlas kepada Diran.

Diran hanya menggelengkan kepalanya. “Bagus deh dia cepet mati,” ucapnya pelan.

“Gue gak akan pernah ngebiarin siapapun nyakitin Rere. Termasuk lo.” Diran memang sudah kelewatan. Atlas tak bisa menahan amarahnya lagi. Perlahan ia mulai mendekati Diran dan membuat Diran meringis kesakitan karena pukulan Atlas yang begitu menyakitkan.

Setalah memastikan Diran tengah lengah. Atlas cepat-cepat melajukan motornya menuju sekolah dan mencari keberadaan Rere.

“Lepasin dia.” Suara tersebut tentu saja membuat Yesica dan Vandra mengerutkan dahi mereka. Bahkan mereka saling bertatapan satu sama lain.

“Kok lo ada di sini? Bukannya lo sam—“

“Sama Diran?” Atlas memotong pembicaraan Yesica. “Lepasin Rere sekarang.”

Rere masih terus berusaha untuk melepaskan cekalan Yesica. Setelah mendapatkan perintah Atlas, Yesica mendorong Rere ke tubuh Atlas.

Rere memeluk Atlas dengan kuat. Gadis itu masih belum berhenti menangis karena pergelangan tangannya yang sakit.

“Re, kamu gak papa? Apa yang sakit?” Atlas membalas pelukan Rere.

Sementara itu, Yesica dan Vandra memutuskan untuk pergi. Mereka takut kepada Atlas yang mungkin akan menyakiti mereka.

Rere menggelengkan kepalanya perlahan. “Ss ... sakit,” lirihnya.

Atlas melepas pelukan itu. Lalu, ia melihat pergelangan Rere yang membengkak merah karena cengkraman Yesica. Dengan cepat Atlas memegangi pergelangan tangan Rere, berusaha untuk mengobatinya.

“Tahan ya Re, ini sedikit sakit,” ucap Atlas.

Rere menahan rasa sakit tersebut. Selang beberapa menit, Rere merasa jauh lebih baik dari sebelumnya. Gadis itu sudah merasakan lengannya yang sudah tak membengkak lagi.

“Diran mana?” Rere menatap wajah Atlas.

Atlas mengembuskan napasnya perlahan. Membuang muka malas karena Rere masih saja menyebut nama Diran.

Rere menyadari betapa tidak nyamannya Atlas ketika ia menyebut nama Diran. Rere menutup mulutnya, ia merasa sangat bersalah karena sudah menyinggung perasaan Atlas.

“Gue minta maaf sama lo. Gue selalu ngerepotin lo.” Sekali lagi, Rere memeluk tubuh Atlas. 

Atlas tersenyum. “Udah, gak papa, Re.”

Rere merasakan kenyamanan saat memeluk Atlas. Bahkan ia tak mau melepas pelukan hangat tersebut. Entahlah, saat ini hanya Atlas yang mampu membuatnya senyaman ini. Bahkan Rere sempat berpikir bahwa jika dirinya berada di samping Atlas maka ia akan terhindar dari ancaman Yesica dan temannya, atau bahaya lainnya.

•••


Salam sayang,
Riyana & Naylananay_

Damian [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang