01:12 AM.
"Gimana Denis?" tanya Yuda. Menanyakan kabar keponakannya yang sedang dalam masa perawatan. Denis adalah anak dari kakaknya Melda, dan sebagai seorang psikiater dan juga tante, Melda memutuskan pergi ke Bandung untuk mengecek keponakannya tersebut. Denis mengalami trauma pasca kecelakaan sebulan lalu, yang mana berhasil membuatnya gegar otak, serta meregut dua orang temannya.
"Udah mendingan banget dari yang terakhir kali aku cek," jawab Melda.
"Terus, menurutmu gimana sama Niko?"
Melda tersenyum tipis. "Anaknya ganteng, manis. Kata kamu juga baik sama sopan kan?"
"Sempurna," lanjut Melda, tetapi senyumnya pun tiba-tiba luntur. "Tapi sayang, batinnya gak lagi baik-baik aja. Mata dia gak bisa bohong, Mas. Dia bener-bener capek."
Yuda menghela napas kecil. "Dia masih muda banget padahal."
Melda mengangguk setuju. Tiba-tiba dirinya sadar akan suatu hal. "Aku cek Niko dulu ya, Mas. Takut dia kebangun."
Yuda mengerutkan kening. "Emang obatnya gak bisa buat dia tidur sampek besok pagi?"
"Dosisnya aku kasih sedikit banget," jelas Melda. "Tapi sesuai kondisi tubuhnya dia juga. Makanya aku mau cek."
Yuda mengangguk.
"Kamu mendingan istirahat aja, besok kan harus kerja."
"Iya," sahut Yuda.
Sesudahnya, Melda bangkit dari kursi ruang tengah. Melangkahkan kaki menuju kamar yang tidak jauh dari sini. Dia terdiam sejenak saat sampai di depan pintu, tangannya pun terjulur untuk mengambil kunci yang ada di kantong piyama tidurnya.
Saat berhasil dibuka, bukan segera masuk, apa yang dilakukan oleh remaja bernama Niko berhasil membuatnya mematung di depan pintu.
Bangkit sesudah sujud keduanya. Bibir remaja tujuh belas tahun membaca pelan apa yang menjadi rukun salat tasyahud akhir. Salam pertama menoleh ke kanan, di lanjutkan dengan tolehan ke kiri sebagai penutup salat malamnya.
Niko memejamkan netra, diikuti dengan tangannya yang menengadah. Ya Allah, Ya Maha Pengampun. Hamba datang Ya Allah ... hamba yang kurang bersyukur atas ketetapan-Mu.
Ya Allah ... pulihkanlah hati hamba dengan segera. Berikanlah hamba kesabaran dan keikhlasan untuk menerima takdir yang telah ditetapkan.
Niko kembali membuka mata, mengusapkan kedua tangannya ke wajah. Aamiin.
"Aamiin."
Remaja tersebut sontak saja menoleh saat mendengar sahutan dari wanita yang kini berjalan ke arahnya. Wanita yang entah siapa namanya, pemilik dari rumah yang baru pertama kali didatangi olehnya.
"Kebangun?" tanya Melda.
Niko mengangguk.
"Maaf udah ngerepotin."
Melda menggeleng sebagai tanda bahwa remaja di depannya sama sekali tidak merepotkan. Namun, senyum tipisnya berubah menyendu ketika sadar betul, bahwa tidak ada yang berubah dari netra Niko. Anak laki-laki di hadapannya masih terluka dengan apa yang telah terjadi.
"Seharian kamu belum makan," peringat Melda. "Makan dulu, ya? Tante siapin makanan buat kamu dulu."
"Makasih," ujar Niko sembari tersenyum tipis.
Melda suka dengan senyum Niko. Terlihat dipaksa, tetapi sudah seindah ini. Bagaimana nantinya jika senyum itu ikhlas diberikan? Seindah apa kira-kira?
"Yaudah, tunggu sebentar ya?"
Ketika Melda telah ke luar dari kamar ini, Niko masih memandangi wanita tersebut. "Mirip Bunda," gumamnya kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARSENIK✔
Teen FictionArsenik, dikenal sebagai racun mematikan. Kini, aku akan menceritakan sebuah kisah dua orang remaja laki-laki bersaudara. Mereka adalah Arsen dan Niko. Nama yang jika disatukan, malah bermakna binasa. Keduanya tidak pernah saling melihat hadir, hing...