1

4.2K 376 23
                                    

Pria ini menghentikan langkah di depan pusara baru. Dia berjongkok, mengelus nisan seseorang yang sempat berbagi kamar dengannya. Seseorang yang ia pertahankan selama bertahun-tahun, tetapi malah meminta pisah darinya dua tahun lalu. Seseorang yang dulu di awal ikatan dalam hubungan serius juga pernah menyakitinya dengan begitu dalam.

...

"Aku hamil."

Fian, laki-laki tersebut dibuat langsung menoleh ke arah belakang di mana terdapat istrinya yang duduk di tepi kasur, tepat ketika ia baru saja melepas jas kantornya. Tidak ada rona kebahagiaan yang biasanya dipancarkan oleh laki-laki pada umumnya setelah mendapat kabar gembira. Kebalikannya, Fian malah merasakan sedang dibanting dari lantai lima gedung kantor.

"Maksud kamu apa Kaila?" Fian memandang nyalang ke arah istrinya, tetapi tetap berusaha setenang mungkin.

"Maaf."

"Sama siapa?"

Mereka menikah kurang dari tiga bulan lalu, selama itu pula Fian tidak menyentuh istrinya. Bukan apa-apa, ia sadar siapa dirinya. Fian sadar bahwa pernikahan mereka bukan dilandasi rasa cinta. Oleh karenanya ia bertekat tidak akan menyentuh Kaila sebelum mereka saling memberi hati. Jujur, dirinya belum siap. Fian juga tidak ingin memaksa Kaila.

"Sama siapa Kaila!"

Wanita di tepi kasur langsung menunduk semakin dalam ketika mendengar teriakan suaminya. Ini adalah kali pertama Kaila menyaksikan langsung amarah Fian. Sejauh ia mengenal pria itu, Fian adalah laki-laki yang begitu penyabar.

Kaila tidak menjawab, hal tersebut semakin menjadikan Fian serasa jatuh ke dalam sebuah jurang yang ketika ia menyentuh dasar, tubuhnya telah hancur tak tersisa. Laki-laki dua puluh enam tahun tersebut lantas mengusap wajahnya kasar. Sungguh, Fian sangat ingin menampar wanita yang berstatus istrinya itu.

Kaila bangkit, mendekat ke arah Fian. Setelahnya terdiam selama beberapa saat tepat setelah satu meter jarak mereka. Fian sedang menunduk, berusaha meredam amarahnya. Dan ketika Kaila memeluk, bukan ketenangan yang Fian dapatkan, tetapi rasa sakit yang semakin menyesakkan.

"Maafin aku." Kaila menangis. Ia menyesal, sangat menyesal. Dirinya pun marah kepada dirinya sendiri. Dia bodoh.

"Aku kecewa sama kamu." Fian lalu melepas paksa Kaila yang sedang memeluknya.

"Kamu mau ke mana?" Kaila bertanya ketika menyaksikan bahwa Fian akan keluar dari kamar mereka. "Aku mohon jangan aduin sama keluarga kita."

Fian tersenyum sinis. Lengkap sudah rasa perihnya. "Aku mau nenangin diri."

...

Fian, dia tersenyum tipis dengan tangan yang masih bertengger di nisan baru. "Semoga kamu tenang."

Beberapa saat setelahnya, pria 43 tahun ini dapat merasakan seseorang yang mengelus punggungnya lembut.

"Maaf baru ngasih tau kamu sekarang."

Fian mengangguk. "Gak pa-pa kok, Ma. Terus Niko sekarang di mana?"

***

Arsen menatap sinis ke arah seseorang yang turut ke luar dari ruangan di samping kamarnya.

"Pagi," sapa Niko sembari tersenyum. Mencoba tidak canggung kepada orang yang sekarang ini telah menjadi saudaranya. Namun, bukan sapaan balik yang Niko dapatkan, melainkan tatapan muak dari lawan bicaranya. Setelah itu, Arsen juga berlalu begitu saja tanpa mengeluarkan suara.

Arsen menuruni tangga secepat yang ia bisa untuk lekas menuju ruang makan. Sudah ada Andri di sana. Ketika biasanya Arsen duduk untuk menikmati sarapan bersama sang ayah walau tidak terlalu banyak percakapan, karena saat-saat seperti itulah yang begitu dirinya nantikan agar bisa tetap dekat dengan Andri, kali ini Arsen memilih untuk mengambil roti serta mengolesinya dengan selai secepat yang ia bisa.

ARSENIK✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang