Andri memijat pelipisnya erat. Percakapan tadi malam antara dia dan Fian lewat telepon berhasil mengacaukan dirinya sekarang ini. Di sini ia merawat Arsen, sedangkan di sana, anaknya yang lain juga mengalami luka tanpa sedikitpun ia coba obati.
Pejaman matanya pun terpaksa terbuka saat menyadari hadir orang lain di sini. Bergegas ia membuka mata. Fian dan Niko, mereka sudah sampai di sini.
Fian menoleh ke arah Niko, tersenyum tipis. Anaknya sendirilah yang datang ke sini, meminta tolong pada Fian agar menjelaskan bahwa dia harus pergi dari Jakarta. Sebab, tadi malam Fian hanya sekadar menjelaskan bahwa Niko sedang tidak baik-baik saja.
Niko balik tersenyum. Fian lantas menoleh pada Andri, "Kami mau bicara sama Anda."
Andri tertegun sejenak. Bicara? Apa yang hendak dibicarakan? Mengapa perasaannya tiba-tiba tak enak.
Namun, Andri tetap saja mengangguk. Dia lantas bangkit dari kursi ruang tunggu PICU, dan mengikuti ke mana Fian dan Niko mengajaknya bicara.
Ketiganya memutuskan berbincang di taman.
Cukup lama tidak ada yang memulai kata. Hingga Niko dengan berani berujar, "Aku pamit."
Andri mengerutkan dahi. "Maksud kamu?"
"Aku mau pergi."
"Mau ikut Ayah kamu?" tebak Andri spontan.
Niko menggeleng. "Sendirian, aku bakal balik ke Surabaya."
"Tapi Niko, Bunda kamu nitip kamu sama Ayah--"
"Aku mau ngobatin diri aku sendiri," sanggah Niko lekas. "Sekarang ini, aku lagi gak baik-baik aja, Pa."
Andri langsung terdiam.
"Aku gak baik-baik aja tinggal di rumah Papa," lanjut Niko. "Maaf."
Tidak ada sahutan sama sekali. Cukup lama mereka sama-sama diam, terutama Andri yang mencoba mencerna keadaan.
"Papa gak butuh aku," ungkap Niko. "Papa udah punya Arsen yang Papa jadiin dunia."
Andri dipaksa kembali membisu.
"Jangan maksa, Pa. Aku tau siapa yang paling berharga dan berpengaruh antara aku dan Arsen--"
"Kalian sama," potong Andri. "Kalian sama."
Niko menggeleng. "Papa bohong. Papa bohong sama aku. Papa bohong sama diri Papa sendiri."
Kali ini, Andri tidak lagi menyahut.
"Aku mau ngobatin diri, Pa. Boleh?"
"Tapi kamu bakalan balik?"
Niko tidak menjawab.
"Nak, kamu bakalan balik kan?" ulang Andri.
Niko tersenyum tipis, senyum yang berhasil membuat Andri 'berharap'. "Enggak, maaf."
Andri ingin menyela, tetapi Niko langsung saja berucap, "Aku mohon … aku pengen pergi. Aku pengen hidup sendiri dengan ketenangan. Itu cukup buat aku."
Andri menghela napas. Dia melirik ke arah Fian yang mengangguk, memberi isyarat bahwa pria ini harus menuruti apa yang Niko inginkan.
"Aku gak pernah minta apa-apa sama Papa, kali ini tolong kabulin," pinta Niko. "Aku gak sekuat itu buat ngelanjutin hidup di rumah Papa. Ini batasku, Pa. Aku gak sanggup lagi."
"Bener kata Tante Gina," lanjut Niko. "Semenjak aku datang ke kehidupan Papa, semenjak itu pula hidup Papa mulai hancur."
"Jangan ngomong gitu."
KAMU SEDANG MEMBACA
ARSENIK✔
Teen FictionArsenik, dikenal sebagai racun mematikan. Kini, aku akan menceritakan sebuah kisah dua orang remaja laki-laki bersaudara. Mereka adalah Arsen dan Niko. Nama yang jika disatukan, malah bermakna binasa. Keduanya tidak pernah saling melihat hadir, hing...