4

2.4K 294 26
                                    

Pasrah akan keadaan karena sadar diri akan kedudukan. Sungguh, perihnya memang membakar.

ARSENIK

Dua orang laki-laki sedang berada di salah satu tempat makan. Bukan makanan berat yang mereka nikmati, melainkan makanan ringan dengan masing-masing secangkir teh hangat. Tidak ada yang bicara lebih, mengeluarkan suara hanyalah seperlunya. Kecanggungan menerpa, dua tahun bukanlah waktu sesederhana itu sehingga tidak dapat merubah keadaan.

"Ayah?" panggil Niko, memberanikan diri. Rasanya begitu canggung sekarang, bahkan hanya sekadar menyebut panggilan pria di hadapannya, apalagi dengan kenyataan yang telah ia ketahui.

"Iya?"

"Aku mau nanya, tapi maaf kalo lancang," pinta Niko. "Dua tahun ini Ayah ke mana?"

Fian tersenyum tipis. Dia tidak mengerti bagaimana bisa Niko masih menghormatinya seperti sekarang. Di dalam pikirannya adalah mungkin saja Niko telah melupakan atau bahkan membenci dirinya, tetapi ternyata tidak. Niko tetap seperti dulu, Niko tetap anaknya yang memiliki hati seluas samudra untuk mencintai orang-orang. Bahkan orang seperti dirinya. Orang yang telah menyakiti hati anaknya sendiri.

"Ayah gak tau harus ngejelasin gimana." Fian takut, dia tidak mau jika Niko tahu kebenaran yang terjadi. Fian terlalu enggan untuk mengatakan bahwa dua tahun ini dirinya dipaksa untuk tidak mendatangi Niko, bahkan menjadikan Fian terpaksa pergi dari Surabaya dan tinggal kembali di Jakarta. "Ayah sibuk."

Dapat Fian lihat seperti apa perubahan ekspresi di wajah Niko.

Niko mengangguk. Mengapa rasanya sakit? Mengapa rasanya seperti ia memang tidak seberharga itu?

"Maaf," pinta Fian.

"Gak pa-pa, Yah," ujar Niko. Senyum tipis terpajang di saat dada nyatanya sedang merasa penuh. "Oh ya, kabar Kakek gimana?"

"Kakek baik," ucap Fian.

Baru saja Niko ingin menanggapi, seorang pria datang di tengah-tengah pembicaraan mereka, menjadikan Niko sontak saja bangkit dari duduknya, begitu juga dengan Fian. Remaja tujuh belas tahun tersenyum lembut sebagai tanda sapaan, dia ingin menyalimi pria paruh baya, tetapi orang tersebut malah memandangnya tanpa minat.

"Kalian ikut saya ke luar."

Kalimat tersebut terlontar. Bukan permintaan, melainkan perintah. Tanpa adanya basa-basi lagi, pria tersebut melangkah duluan untuk ke luar, meninggalkan Fian yang kini memandang sendu ke arah anaknya. Kepada Niko yang menundukkan kepala dalam.

Fian menggandeng lengan bawah Niko, menjadikan anaknya mendongak ke arah sang ayah. "Ayo."

Niko mengangguk. Dengan masih menggenggam lengan sang anak, Fian berjalan ke luar kafe. Mengikuti ke mana pria paruh baya berjas berada. Tepat di samping mobil hitam, ketiganya berkumpul.

"Ini masih jam kantor," peringat Adam. "Dan kamu malah keluyuran gak jelas."

Niko segera menunduk. Mungkin nada Adam, pria yang merupakan ayah dari Fian menuturkan kalimat tadi dengan tenang, tetapi entah bagaimana, Niko merasakan kesinisan dalam nada tersebut.

"Pa, ini Niko." Fian menanggapi dengan cara memperkenalkan siapakah orang yang menjadikannya ke luar dari kantor. Mungkin saja Adam lupa wajah cucunya bukan? Walau Fian tahu sendiri bahwa Adam pastinya masih mengenali Niko.

"Sekarang kamu balik ke kantor," suruh Adam.

"Pa ...," tegur Fian. "Dia Niko—"

"Papa tau," potong Adam. Dia melirik tak suka ke arah genggaman tangan Fian, dengan segera Adam melepaskan lengan Niko dari tangan anaknya. Seketika itu Fian ingin kembali menggandeng Niko, tetapi Agam langsung menahan lengannya, begitu juga dengan Niko yang menjauhkan diri. Tahu betul apa yang sekarang terjadi.

ARSENIK✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang