23

1.4K 211 25
                                    

Gerak kakinya melangkah masuk ke dalam kamar, mengunci benda tersebut. Tubuh disandarkan pada pintu. Lalu, perlahan-lahan didudukkan pada lantai.

Niko tadi masih mendengar. Dirinya mendengar apa yang diucapkan Gina dengan sangat jelas. Wanita itu bicara bukan dengan cara berbisik, tetapi nyaring dan tegas.

Netranya merah. Pandangannya juga mulai meremang. Bisa dipastikan, dalam satu kedipan air matanya bisa mengalir dengan mulus. Hal itu pun benar-benar terjadi. Menjadikan Niko memutuskan menenggelamkan kepalanya ke lutut yang dipeluk tangan.

Mengapa seperti ini?

Hidupnya benar-benar berubah dari sebelumnya.

Terlalu banyak masalah. Terlalu sering perdebatan.

Apa salah diamnya selama ini?

Mau Niko jujur? Ia ingin ikut menyahut saat Gina mencaci dirinya seharian ini. Dia ingin. Namun, tidak bisa. Wanita tersebut lebih tua dari pada dia. Lagi pula, memangnya pantas dia mengeluarkan suara di rumah ini? Bolehkah?

Niko tetap menganggap dirinya orang asing di rumah ini. Dia terlalu segan mengeluarkan suara demi membela diri.

Niko sejatinya tidak sesabar itu. Dia mungkin diam, tetapi hatinya ... tidak. Niko sakit. Dia jengkel. Dia ingin marah. Namun, apa boleh?

Dan lagi, memangnya apa yang ia lakukan sehingga dirinya pantas dicaci dan diusir seenaknya seperti tadi?

Selucu inikah hidup?

"Bunda," gumamnya dengan tangan kanan yang kini meremas dada. "Ini sakit banget."

Niko rasanya ingin kembali ke rumahnya di Surabaya. Ibu kota benar-benar keras. Namun, bagaimana dengan Andri? Bagaimana dengan Kakek dan Neneknya yang begitu berharap Niko bisa betah di sini? Bagaimana dengan mereka?

***

Fian terus mengetuk-ngetukkan jari kirinya ke sofa yang diduduki, sedangkan tangan yang satu sibuk menelepon nomor Niko sedari tadi. Mengapa tidak diangkat? Bagaimana keadaan anaknya itu?

Betapa terkejutnya pria ini ketika tiba-tiba benda canggih tersebut direbut oleh seseorang. Dia Adam, ayahnya itu langsung mengecek sendiri hal apakah yang menjadian Fian begitu sibuk hingga mengabaikan dirinya yang berkunjung.

"Anak ini lagi," kesal Adam.

Fian tidak menyahut, memilih diam. Rasanya tidak ada gunanya berdebat dengan pria di hadapannya. Sebanyak apapun ia memohon bantuan, Adam tidak akan pernah bersedia. Pria itu terlalu 'senang' menghukum Niko untuk kesalahan yang Kaila buat.

"Ada urusan apa, Pa?" tanya Fian. Sedikit malas nyatanya.

Adam menghela napas, memutuskan untuk mendudukkan diri di depan sang anak. "Besok kamu ke Ternate, ini tiketnya."

Fian mengerutkan dahi.

"Gantiin Papa, soalnya besok juga ada meeting penting--"

"Kenapa mendadak gini?" protes Fian tak terima.

"Turunin nada bicara kamu, Fian," peringat Adam.

Fian menggeleng. "Aku gak bisa," tolaknya. Urusannya mengenai Niko belum selesai, dan ini? Mengapa setiba-tiba ini? "Kenapa gak--"

"Papa maunya kamu," sanggah Adam. "Udahlah Fian, tiket udah Papa beli. Kamu tinggal berangkat."

"Pa!"

"Ada apa lagi? Masalah apa lagi yang nimpa anak itu sehingga ngebuat kamu sulit ninggalin Jakarta?"

Fian tidak menyahut.

ARSENIK✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang