22

1.5K 230 41
                                    

Arsen menghela napas. Perlahan dirinya mengangkat kepala untuk melihat semua orang yang berada di hadapannya. Tidak lama, sebab sesudahnya remaja ini membalikkan tubuh, dan langsung berlari kecil dalam menaiki tangga.

Niat hati ingin menyusul, tetapi langkah Andri dihalangi oleh Adi. Tidak berhenti di situ, Andri langsung menepis tangan pria yang bertengger di pundaknya. Lalu, berlari mengikuti gerak Arsen.

Sadar jika Andri mengikuti, Arsen yang sampai di depan kamar langsung masuk dan menguncinya. Saat itu pula ia mendengar ketukan berulang, serta permintaan sang ayah agar benda tersebut dibuka.

Namun, berisiknya yang Arsen dengar tiba-tiba berubah hening karena kepalanya yang seakan penuh akan sesuatu. Menjadikan Arsen tidak lagi fokus pada apa yang terjadi di sekitar.

Langkahnya pun tegas menuju ke arah meja belajar. Dan apa yang berada di atas sana dia buang secara asal.

"Kenapa?!" Arsen memukul kepalanya sendiri. "Kenapa harus gue? Kenapa gue lagi hah?!"

Sekali lagi. Apa yang tidak pernah ia mimpikan terlaksana tanpa sebuah keinginan. Mengapa begini?

Mengapa selalu dia?

Napas tak teratur, tangan milik Arsen pun menampar keras kursi meja belajar, lalu menggenggamnya erat. Tak berselang lama, kursi tersebut terbanting ke lantai.

"Kenapa?! Kenapa gue! Kenapa?!"

Arsen tiba-tiba terdiam, tepat ketika menyadari bahwa tetesan air mata membasahi wajahnya. Tanpa basa-basi ia pun mengusap kasar cairan tersebut.

"Arsen, buka pintunya!" teriak Andri dari luar saat mendengar jelas keributan yang terjadi di dalam.

"Gue siapa?" gumam Arsen, lirih. Kerutan di keningnya terlihat jelas.

Apa ibunya pernah menikah dengan pria lain?

Atau ... ibunya selingkuh?

Atau dia ... anak angkat?

Opsi manakah yang tepat?

Tiba-tiba, Arsen beralih fokus ke nakas samping tempat tidur. Di sana segelas air tersaji, menjadikan remaja tersebut mendekat dan segera meneguknya. Berusaha mengontrol emosi.

Namun, tidak bisa. Arsen malah ikut membanting gelas tersebut. Membuat benda tadi hancur berkeping-keping di lantai. Saat itu pula pintu kamarnya terbuka, menampilkan sosok Andri yang berhasil membuka pintu dengan kunci cadangan.

Tanpa banyak basa-basi Arsen melangkah tegas ke arah Andri. Mendorong pria tersebut untuk ke luar dari dalam kamarnya.

"Arsen, dengerin Papa--"

"Apa lagi?" potong Arsen. Kali ini terdengar lesu nada yang ia keluarkan. Dia lantas menghela napas, kembali mencoba menenangkan diri. "Oke. Kalo gitu silakan. Aku dengerin. Rahasia apalagi yang belom aku ketahui?"

Andri menggeleng, sebagai tanda bahwa apa yang dipikirkan anaknya salah. "Arsen ... kamu tau kan kalo keluarga bukan hanya tentang hubungan darah?"

Arsen terdiam.

"Oke, Papa gak bakalan nyangkal dengan bilang kalo apa yang Kakek kamu omongin itu bohong," aku Andri. "Dan Papa harap itu gak ngerubah apapun."

"Papa sayang sama kamu. Tujuh belas tahun kita sama-sama--"

"Dan ini alasan kenapa Papa sama sekali gak ngedengerin permintaan aku buat ngusir anak itu?" potong Arsen. "Ah, maaf. Aku gak sopan ya manggil anak Papa dengan sebutan 'anak itu'? Maksud aku, Niko."

Andri kembali menggeleng. "Bukan itu Arsen. Kalian berdua anak Papa, dan Papa itu ingin kalian bersama."

"Sedangkan kami gak bisa bersatu," jelas Arsen. "Papa sendiri udah tau aku gimana kan? Kenapa masih maksa?"

ARSENIK✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang