Berpisah

1.1K 45 1
                                    

Sebenarnya, ada dua hal yang selalu dipikirkan oleh Naila. Mengapa dan kenapa? Mengapa Zahra pergi meninggalkannya? Kenapa Zahra harus pergi tanpa pamit? Namun, seberusaha mungkin Naila untuk menerima kepergian Zahra. Naila selalu mendukung keputusan Zahra, apalagi perihal pendidikan.

Setelah dua hari lalu, Pak Dito tak pernah lagi bertegur sapa dengan Naila. Begitupun dengan sebaliknya, Naila yang sibuk dengan urusan di kampusnya membuat jarang berada di rumah. Pekerjaan rumah pun sudah selalu rapih ketika Naila pulang, kadang makanan selalu sudah siap tertata di meja makan, namun tak ada komunikasi antara dua orang berbeda generasi itu.

Tatapan Naila masih tertuju pada layar laptop, padahal siang telah berganti malam, hujan deras sudah menjadi rintik-rintik hujan kecil. Namun, dia masih betah berada di kantin kampus yang sudah terasa sepi. Hanya ada beberapa orang saja yang masih singgah, terutama mahasiswa dan mahasiswi yang mengikuti kelas karyawan atau kelas malam saja.

Tidak bermaksud apapun, Naila hanya masih sibuk dengan tugasnya yang harus segera dia selesaikan sebelum kepindahannya lusa. Ya, Naila tetap dengan keputusannya akan mengikuti beasiswa dan diterima di Surabaya. Bukan tanpa alasan juga Naila menerimanya, dia hanya tak ingin lagi merepotkan Pak Dito yang harus rela-rela mengeluarkan biaya banyak untuk kuliah Naila kalau akhirnya akan berpisah.

Naila sungguh tidak suka berbalas budi, apalagi terikat perjanjian konyol. Dia hanya ingin merasa terbebas menjalani kehidupan masa-masanya lagi, bukan terjebak dalam pernikahan yang menoton.

Dulu, Naila memang menginginkan pernikahan muda. Tetapi, dia hanya ingin menikah muda dengan orang yang dicintainya, bukan dengan Pak Dito yang tidak memiliki perasaan apapun. Dulu, Naila juga mengharapkan kehidupan rumah tangga yang bahagia, tetapi bukan pernikahan seperti sekarang ini. Sekarang, Naila hanya ingin mengakhiri ikatannya dengan Pak Dito. Cara satu-satunya agar dapat terlepas hanya dengan Naila yang pergi.

Orang tua mereka pun pasti tidak akan marah kalau Naila beralasan berpisah karena pendidikan. Orang tua mereka juga pasti tak akan kecewa terhadap Naila. Tetapi, bagaimana perasaan Pak Dito yang selama ini tak dapat diutarakannya? Bahkan dia lebih memilih diam dengan antusias Naila untuk mengikuti beasiswa.

Pak Dito berpikir kalau Naila memang benar-benar ingin melanjutkan pendidikan tinggi. Ternyata, ada alasan lain dengan keputusan Naila yang tidak diketahui oleh Pak Dito.

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, Naila masih sibuk berada di kampus. Bahkan teman-temannya sudah pamit pulang karena ingin istirahat, tidak dengan Naila yang masih berkutat dengan jarinya yang lincah mengetik di keyboard laptop.

Saat Naila tengah fokus dengan laptopnya, seketika dia tersadar dengan suara panggilan yang masuk.

"Tumben."

Setelah dengan kebingungannya, Naila langsung saja menerima panggilan itu.

"Assalamualaikum, Nai. Masih dimana?" tanya Pak Dito dengan nada khawatir, Naila merasakan dari suaranya itu.

"Waalaikumsalam, iya Pak. Ini masih di kampus," jawab Naila pelan, dia masih mencuri-curi agar bisa mengetik lagi.

"Oke."

Satu kata itu menjadi penutup panggilan, Naila langsung saja merapihkan barang-barangnya setelah mengesave dokumen yang telah dia buat.

Naila menghela napas sejenak karena merasakan lelah, sedikit meregangkan jari-jari tangan karena baru saja terasa pegal, setelah semuanya selesai Naila segera beranjak pergi ke arah gerbang kampus.

Lampu dari sebuah mobil sangat menganggu penglihatan Naila, dia berjalan agak pinggir agar tidak menghalangi mobil itu lewat, namun malah berhenti tepat di samping Naila.

Jodoh Terbaik (Tahap Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang