6. Rindu

1.2K 81 16
                                    

Happy Reading💜
*
*
*

"Assalamualaikum, bunda? Dito pulang," ucap Dito saat memasuki pintu rumah megah yang bertingkat dua itu.

"Kamu lupa bunda?" ucap bunda dari arah dapur, lantas aku langsung memeluknya.

"Mana mungkin Dito lupa bunda," ucapnya sambil mencium pipi sang bunda. Rindu itu sangat menyiksa Dito, apalagi Dewi sebagai seorang bunda.

"Kita makan dulu ya. Kamu pasti belum makan?"

Bunda membawa dua piring, aku menoleh ke arah bunda yang dengan semangat mempersiapkan makan malam untukku dengannya.

"Mbok Ayu ga ikut makan, bun?" tanyaku.

"Sudah, kalau lapar lagi nanti bisa ambil sendiri. Bunda kangen sama kamu, bang," ucap bunda dengan lirih.

Aku menarik napas, rasanya pun aku sangat merindukan bunda. Aku berpindah berdiri di samping bunda dengan memeluknya. Suasana seperti ini sangat jarang terlihat, apalagi setelah kepergian ayah.

"Dito juga kangen bunda," kata Dito.

"Kamu pulang, tapi sebentar lagi kamu bakal menikah," lirih bunda lagi.

"Lah? Bunda tidak senang kalau aku menikah? Itu kan pilihan bunda," kataku sambil menatap bunda.

"Tidak terasa, abang sudah besar. Abang jangan lupakan bunda, tentunya bunda senang kamu menikah, apalagi abang mendengarkan perintah bunda. Maafin bunda yah," kata bunda, aku tersenyum.

"Bunda tidak salah, kita lanjut makan yuk," ajakku dengan riang.

Setelah makan, bunda menyuruhku untuk mempersiapkan diri. Aku pergi ke kamar yang berada di lantai dua, di samping kanan kamarku ada sebuah kamar. Pintu itu selalu tertutup, dia seseorang yang sama sepertiku. Sejak kepergiannya, tidak ada yang berani membuka pintu itu. Kecuali Mbok Ayu yang setiap hari selalu membersihkannya dan bunda yang sering masuk jika sedang kangen kepada yang punya kamar itu.

Cukup lama aku memandang pintu kamar itu, aku langsung memasuki kamarku yang telah lama juga tak terisi. Mendadak aku merasa gugup mengingat hal yang akan kuucapkan. Apalagi saat mengetahui dia yang tidak menerima perjodohan ini. Aku harus yakin, aku harus bertekad agar tidak mengecewakan bunda.

Rasanya aku salah, aku sebenarnya juga tidak mencintai Naila. Kebahagiaan bunda yang menuntutku untuk menerima perjodohan ini. Apalagi tentang kejadian di masa lalu membuatku merasa menutup hatiku untuk mencintai perempuan lain.

Bagiku perempuan itu ribet, apalagi masalah perasaan. Terkadang aku juga bingung nasib setelah pernikahan itu terjadi.

"Abang, udah selesai?" teriak bunda dari bawah.

"Iya, bun," jawabku.

Dengan cepat aku keluar kamar sambil melipat kedua lengan kemejaku.

"Loh, kok ramai?" tanyaku dengan heran, pasalnya saudara-saudaraku berada di rumah ini.

"Ada acara penting, masa kita ga ikut sih bang," ucap Tante Ratna, dia adalah adik ayah.

"Abangggg, Lisa kangen tau ga sih, ish!" ucap gadis itu dengan langsung menubruk dengan memeluknya erat.

"Duhh, kamu udah besar juga sekarang, kelas berapa?" tanyaku, sedikit mencubit kedua pipinya yang gembul.

"Kelas 3 SMA dong," jawabnya dengan riang.

"Tidak boleh pacaran ya," kata Dito kepada sepupunya itu, yang telah ia anggap sebagai adiknya.

"Aishhh, abang masih aja begitu," kata Lisa, mereka berjalan beriringan keluar rumah.

Jodoh Terbaik (Tahap Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang